5

Manhattan, You #1

Hello semua! Jangan pada marah ya kalau aku baru nongol! hahahah maaf nih tugas banyak banget dan bikin aku stress makanya ampe ga sanggup buat nulis. Ampe mau berjamur dan penuh sarang laba-laba di blog ini, jadi basi banget hahaha ini cerita aja juga ga sengaja kebikin dan ternyata keasikan bikinnya hahaha. Mengambil latar kota Manhattan kali ini. Kenapa ya? Hmm… Gak tahu juga deh ini inspirasi dari mana gak ngerti! 

Dan untuk the genius one, teriman kasih responnya karena kalian sangat luar biasa hahaha, semoga banget nih aku bisa ngelanjutin tapi ga janji. Soalnya udah buntu bgt sama cerita itu daaaannnnn kelanjutan ceritanya ternyata nge stuck di laptopku yang rusak wuahahahaha luarrrr biasa. 

Terus buat Pasteleria juga masih lanjut so don’t worry but ceritanya ada di laptop papiku! hahahaha entah deh nulisnya amburadul dan ada dimana mana hahahaha sekarang aku sudah punya laptop baru. Nanti akan kupindahin kelanjutan pasteleria ke laptopku kalau aku bertemu dengan laptop papiku hahahaha spoiler dikit deh biar seneng, pasteleria selanjutnya aku ambil kue Brownies si kue coklat favoritku hehehe gak fix sih, tapi semoga fix *plin plan bgt* 

Oke deh, tanpa berlama-lama curcolnya, happy reading! jangan lupa komen2 ya. Tapi jangan marah2 ya sama aku :p hahahaha lope lope buat kalian semua…………..

1

Seperti biasa, Julie, yang setiap pagi harus melintasi jalanan-jalanan Manhattan yang macet untuk pergi bekerja. Ia bersyukur selalu minum kopi karena jika tidak, mungkin ia sudah tertidur di mobil selama kemacetan berlangsung. Tak lupa ia selalu mengaktifkan mode silent pada ponselnya karena tak henti-hentinya nomor-nomor berbeda menelponnya setiap hari.

Julie menganggap dirinya adalah orang paling berantakan saat pergi bekerja. Ia selalu kesiangan dan tak sempat mendandani dirinya sendiri. Paling sempat yang ia lakukan biasanya hanya menyisir atau mengikat rambutnya dengan gaya pony tail. Tetapi Julie bingung kenapa semua orang masih sempat-sempatnya memanggilnya “Hai, Cantik” di tempat kerja.

Sesudah memarkirkan mobil Ford Fiesta merahnya di parkiran tempat kerjanya, Julie langsung berlari menuju toilet untuk benar-benar merapikan dirinya. Rambut cokelat gelapnya diikat pony tail, memakai kacamata minus-nya lalu merapikan kemeja dan blazernya. Tak lupa ia memoles wajahnya dengan bedak dan lipstik berwarna tak jauh dari warna asli bibirnya.

Julie menyusuri koridor tempat kerjanya menuju ruangannya yang terbagi-bagi dengan karyawan lainnya. Wanita itu menatap meja kerjanya yang penuh dengan kertas-kertas ujian yang berlogo “Juilliard School” di atasnya.

“Kau terlihat segar, Julie,” kata Edward.

“Kau sangat menghiburku…” Julie menatap name tag lelaki itu, “… Edward Sheeran.”

“Caramu menatap name tag-ku selalu garang, Julie. Sampai kapan kita akan selalu begini?”

“Ayolah, Ed, jadilah profesional. Aku tidak suka murid-murid mengetahui lebih tentang kehidupan kita. Kita tidak perlu menunjukkannya kepada mereka. Berhentilah bercerita kepada mereka seolah-olah kau sangat menginginkanku.”

“Baiklah, Miss Julissa Collins,” lalu Ed menatap meja kerja Julie, “Apa kau butuh bantuan untuk menyelesaikan itu?”

“Tidak usah, aku akan menyelesaikannya nanti,” tolak Julie.

“Oke. Aku hanya ingin bilang aku sangat merindukan kita yang dulu.” Ed langsung meninggalkan ruang kerja.

Julie masih terduduk diam memikirkan hubungannya dengan Ed. Ia putus dengan lelaki itu setelah pesta kelulusannya dari Juilliard School bergelar Bachelor of Music—sama seperti Ed—beberapa tahun lalu. Tetapi lelaki itu masih sangat mengharapkannya setelah ia mencium Clarissa, teman baik Julie. Setelah insiden ciuman itu, Clarissa menghilang entah kemana.

Julie mendapatkan tawaran menjadi dosen di Juilliard karena kemahirannya mengajar piano para juniornya pada masa itu. Tak hanya itu, Julie juga menciptakan beberapa lagu yang ia promosikan lewat Youtube. Beberapa ada yang ia nyanyikan sendiri, ada juga beberapa yang dinyanyikan oleh beberapa muridnya yang bersuara emas. Setahun setelah Julie menjadi dosen, Ed tiba-tiba menjadi dosen juga di Juilliard. Tak jauh berbeda dengan Julie, Edward mengandalkan gitar sebagai pendamping dirinya saat menciptakan lagu. Pria dan wanita ini pun menjadi dosen termuda di Juilliard.

Setelah makan siang, Julie menilai semua kertas ujian yang sudah menumpuk di atas meja kerjanya. Ia malas membawa kertas-kertas itu ke apartemennya karena berat dan tak ingin kertas-kertas itu menghambat dirinya saat menciptakan lagu.

Tiba-tiba seorang pria yang tak Julie kenal serta Pimpinan tertinggi Juilliard yaitu Mr. Joseph masuk ke dalam ruang kerja karyawan menuju sebuah ruang kerja kosong yang dulu ditempati Ma’am Perry karena mengundurkan diri.

“Selamat bekerja, Mr. Scott,” kata Mr. Joseph.

“Terima kasih,” kata lelaki itu.

Mungkin dosen baru, pikir Julie.

Karena ruang kerja sedang kosong, Julie memutuskan untuk menyapa lelaki tersebut.

“Permisi, kau dosen baru?” tanya Julie.

Lelaki itu terlihat sedang sibuk merapikan meja kerjanya lalu membalikkan badan, “Iya,” katanya sambil tersenyum tipis.

Dia masih muda dan tampan, batin Julie.

“Aku Scott Redding,” lelaki itu mengulurkan tangannya pada Julie.

Julie menyambutnya, “Aku Julissa Collins, senang bertemu denganmu.”

“Aku juga,” kata Scott. “Kau jadi dosen apa?”

“Aku memfokuskan dalam bidang piano. Bagaimana denganmu?” tanya Julie.

Well, aku mengajarkan dance di sini.”

“Pantas kau terlihat bugar dan atletis,” kata Julie sambil tertawa kecil.

“Ya, jika itu menurutmu, aku sangat berterima kasih,” balas Scott serta tersenyum lebar.

Oh, Tuhan. Tampan sekali dosen ini, puji Julie dalam hati. “Baiklah, aku mau menyelesaikan pekerjaanku dulu. Selamat datang di Juilliard.” Lalu Julie kembali ke meja kerjanya.

“Julissa!” panggil Scott.

“Ya?” Julie membalikkan badannya, “Kau bisa memanggilku Julie.”

“Hmm… Julie, kau ada di Youtube, ya?” tanya Scott ragu-ragu.

“Menurutmu?” Julie balik bertanya dengan muka jahil.

“Suara, lagu, dan permainan pianomu luar biasa,” puji lelaki itu.

“Jika itu menurutmu, aku sangat berterima kasih,” kata Julie sambil tersenyum lalu kembali melanjutkan perjalanannya menuju meja kerjanya.

Scott tersenyum kagum melihat Julie berjalan menuju meja kerjanya.

***

Setiap tahun Juilliard selalu mengadakan pentas drama musikal akbar yang menggabungkan murid-murid dari setiap peminatan, yaitu drama, musik dan tari. Semua scenario pun yang menyusun adalah para murid. Dosen memberikan saran jika diminta oleh para murid mereka, ikut membantu dan membimbing  proses mereka dalam membangun drama musikal ini. Meski terserah para murid, tetapi semua dalam drama ini dinilai ketat oleh para dosen bahkan beberapa sutradara atau produser secara diam-diam bisa duduk di suatu tempat saat pementasan berlangsung dan dapat menghubungi Mr. Joseph jika ada murid yang mereka minati.

“Tentu dulu kau selalu mengikuti pentas ini,” kata Scott pada Julie yang sedang memerhatikan murid-murid yang sedang bersiap-siap. “Tapi kenapa kau tidak ditawari oleh orang-orang misterius yang memakai kacamata hitam itu?” Yang dimaksud Scott adalah para sutradara dan produser itu.

Julie menatap Scott lalu menunjukkan ponselnya, layarnya menampilkan nomor tak dikenal sedang meneleponnya. “Kau lihat? Ini yang aku rasakan sejak pentas pertamaku di Juilliard hingga sekarang.”

“Itu sebabnya aku heran mengapa kau tidak ditawari kontrak oleh mereka. Sangat tidak mungkin. Kenapa kau tak menerima salah satunya?” tanya Scott.

“Aku hanya ingin menjadi orang biasa, Scott. Hobiku adalah bermusik, tetapi untuk menjadi seorang bintang, aku tidak siap menerima segala beban dan resiko. Tapi aku ingin murid-muridku bisa melebihi aku,” jelas Julie.

“Wow,” kata Scott singkat.

Julie tertawa kecil, “Tak perlu begitu kaget. Sebenarnya aku ini aneh, bukan? Tidak mau menjadi bintang setelah sekolah tinggi-tinggi dan mahal-mahal di Juilliard.”

“Kau tidak aneh. Aku menghargai keputusanmu itu. Menurutku itu hebat,” kata pria itu. “Bagaimana dengan Ed? Dia seangkatan denganmu juga, bukan? Apa prinsip hidupnya sama sepertimu?” Scott menyerbu Julie dengan pertanyaan-pertanyaannya.

“Tidak tahu, aku tidak mengerti. Dia menghilang selama setahun setelah lulus, lalu kembali lagi dan menjadi dosen. Aku tak tertarik dengan kehidupannya.”

Continue reading