4

FF: I Don’t Have to Choose #6

Happy reading ^^

idhc 6

This is a good sign, having a broken heart. It means we have tried for something.” 
― Elizabeth GilbertEat, Pray, Love

 

Ellen’s POV

“Kau mau jadi pacarku?” tanya Alex dengan hati-hati.

Sontak aku kaget mendengar ucapannya dan tentu berhasil membuatku tersedak saat aku sedang menyeruput es teh manisku.

“Eh… Kau tidak apa-apa? Maaf membuatmu kaget, aku tidak bermaksud…”

“Tidak, tidak apa-apa,” selaku. “Apa ini tidak terlalu cepat?”

“Aku tahu, tapi kita sudah terlalu sering bersama. Rasa sayangku semakin besar padamu dan aku tak mau menahannya dan aku minta maaf soal kejadian semalam. Aku tidak menyangka kau akan menyebut nama Marc di depanku.”

Aku berpikir dua kali. Mungkin jika aku berpacaran dengan Alex, perasaanku semakin mengikat pada Alex, pikirku.

“Baiklah, aku mau jadi pacarmu,” jawabku sambil tersenyum lebar pada Alex.

Alex langsung menarikku berdiri dan memelukku erat. Kemudian ia memegang pipiku dengan kedua telapak tangannya. “Terima kasih,” katanya lembut sambil menatapku lalu ia mencium keningku.

Ya, aku semakin nyaman bersama Alex.

Marc’s POV

Aku memutuskan untuk berenang pagi ini. Aku segera siap-siap membawa barang-barang yang aku butuhkan setelah berenang nanti.

“Lex?” panggilku. “Alex?” Masih tidak ada jawaban. Tumben sekali dia sudah bangun pagi begini.

Aku menaiki lift lalu menuju ke kolam renang. Aku tak sengaja melihat Alex dan Ellen. Tak sengaja kudengar perkataan Ellen.

“Baiklah, aku mau jadi pacarmu,” jawab Ellen sambil tersenyum lebar pada Alex.

Aku mengurungkan niatku untuk berenang. Rasanya hatiku tercabik-cabik mendengar jawaban Ellen yang begitu yakin. Timbullah penyesalan yang teramat dalam itu lagi di pikiranku. Andai waktu bisa kuputar…

Niatku ingin merenung sendiri di taman kuurungkan kembali karena ada Maverick yang duduk di sana. Tetapi aku memutuskan untuk menyapa Maverick.

“Hei, Mack!” seruku sambil menepuk pundaknya.

Maverick menatap tas yang kubawa. “Mau kemana?”

“Oh, tadi mau berenang…” aku terdiam sebentar, “… tapi tidak jadi.”

“Mengapa? Hei, coba liat mereka!” tiba-tiba Maverick mengarahkan pandangannya ke arah lobby hotel yang mempunyai jendela transparan itu. “Sudah pacaran sepertinya, iya bukan?”

“Aku tidak tahu, jangan tanya padaku,” jawabku dengan nada kesal.

“Kau ‘kan kakaknya, masa…”

Aku langsung berdiri lalu meninggalkan Maverick.

“Eh mau kemana? Marc!” seru Maverick dari kejauhan.

Aku langsung menuju kamarku dan langsung merebahkan diriku di kasur. Aku tak mempedulikan muka Alex yang bersinar-sinar itu.

“Terima kasih, Marc.”

“Buat apa?” tanyaku heran.

“Sudah membiarkanku bersama Ellen.”

Continue reading

6

FF: I Don’t Have to Choose #5

Maaf ya lama ga nge-post! Part 5 nya agak membosankan kelihatannya hehehe tapi keep enjoy ya bacanya 🙂

idhc 5

“Love is needing someone. Love is putting up with someone’s bad qualities because they somehow complete you.” Sarah Dessen, This Lullaby

Ellen’s POV

Aku terbangun dalam posisi sudah ada di kamar hotelku. Tentu saja aku tidak melupakan kejadian semalam. Aku mencoba bangun, tetapi kepalaku masih terasa pusing. Saat aku menatap lurus ke depan, aku melihat seorang lelaki tidur di atas sofa kamarku. Aku bangun dari kasurku lalu duduk di lantai lebih tepatnya di depan sofa itu.

“Terima kasih,” ucapku lembut pada lelaki itu. Lalu aku mengelus rambut lelaki itu sambil menatapnya dengan tatapan sayang.

Tentu saja kejadian semalam sudah merubah pandanganku 180 derajat terhadap Marc.

“Sama-sama,” tiba-tiba lelaki itu membuka matanya. Ia bangun lalu mengajakku duduk di atas sofa.

Lelaki itu menggenggam tanganku. “Kau tahu? Aku sudah jatuh cinta padamu semenjak kau tiba di depan rumahku. Aku ingin kau tidak jatuh hati pada Marc. Kau terlalu lugu untuknya.”

“Aku tahu, aku seharusnya mendengarkanmu dari awal. Aku hanya menyakiti diriku sendiri,” ucapku lirih.

“Tidak apa-apa,” ia mengelus rambutku. “Bagaimana kalau kau mencoba mencintaiku? Aku tidak memaksamu tapi… tidak ada salahnya mencoba ‘kan?”

***

Writer’s POV

Seminggu setelah kejadian malam itu, semua kru berangkat menuju Amerika untuk seri selanjutnya di Austin. Waktu seminggu itulah Alex dan Ellen semakin dekat. Bahkan Ellen mengobrol dengan Marc hanya seperlunya saja, menyapa pun tidak.

Marc pun juga semakin termakan api cemburu, ia terus menyesali perbuatannya. Tetapi semua sudah terlambat, Ellen sudah membencinya. Mungkin ini karma karena ia sering merebut semua hal yang seharusnya punya Alex, termasuk kasih sayang orang tuanya.

Sejak kecil memang selalu Marc yang dibanggakan oleh keluarganya. Prestasinya yang gemilang membuat Alex sempat terkucilkan. Itulah hal yang membuat Alex berambisi menjadi pebalap juga, agar bisa mengalahkan sang kakak. Tetapi sampai sekarang, Alex belum bisa mengalahkan Marc dalam hal apapun. Terutama masalah wanita.

Semua hal itu membuat Marc sedikit arogan karena ia mendapatkan apa yang ia inginkan. Sedangkan Alex, ia harus berusaha sendiri untuk itu. Tetapi sekarang Alex dan Marc sudah diperlakukan adil semenjak Alex masuk ke Moto 3. Prestasi Alex terbilang gemilang meskipun masih berstatus rookie pada waktu itu. Kepribadian Alex juga sedikit berubah karena Marc. Jika Alex menginginkan sesuatu, ia pasti berusaha walaupun harus melewati berbagai tantangan, bahkan yang berbahaya sekalipun. Talk less, do more, itulah seorang Alex Marquez.

Saat menaiki pesawat, Alex dan Ellen langsung mojok berdua-duaan yang membuat Marc semakin geram. Tetapi Marc selalu mengingat bahwa ia tidak mau merebut apa yang menjadi milik Alex lagi. Pemikiran itu datang setelah kejadian malam itu.

Aku memang tidak pantas untuknya, batin Marc.

***

Ellen’s POV    

Saat sampai di hotel, seperti biasa Alex mengambilkan kunci kamarku. Sambil menunggu, aku duduk di lobby sambil melihat keluar jendela hotel. Seketika seorang lelaki duduk di sebelahku.

“Hai!” sapanya.

“Hai juga!” balasku sambil tersenyum.

“Kau pingsan kenapa saat itu?” tanyanya.

“Hei, Maverick, kenapa kau bisa tahu?”aku kembali bertanya.

“Semua orang tahu, hanya kau tidak menyadarinya.”

“Oh…” aku tertunduk malu sambil menggaruk kepalaku yang tidak gatal.

“Cerita saja padaku, aku penyimpan rahasia kok,” kata Maverick sambil tersenyum manis padaku, sangat manis.

“Ya, aku penyebab Marc tersungkur di gravel dan…”

Tiba-tiba Alex menarikku berdiri, “Jangan mendekati dia, Mack,” lalu ia langsung menarikku lagi menuju lift. Raut muka Alex sangat cemberut.

“Nanti aku cerita lagi!” teriakku pada Maverick.

Maverick mengangkat ibu jarinya ke arahku lalu tersenyum sambil menggelengkan kepala.

“Kau kenapa, Lex?” tanyaku sesaat setelah memasuki lift.

“Tidak,” jawabnya singkat.

“Cemburu ya?” godaku sambil memiringkan wajahku ke depan wajahnya.

“Apaan sih? Nanti kucium kau,” katanya tanpa melihat ke wajahku.

“Coba saja,” tantangku.

Tak kusangka Alex langsung mengecup bibirku singkat. Aku terdiam lalu membetulkan posisi kepalaku kembali.

Continue reading

6

FF: I Don’t Have to Choose #4

Part 4! Nah buat part 5 ampe seterusnya di pending dulu  ya hehehe hope you guys like it!

idhc 4

If you’re betrayed, release disappointment at once. By that way, the bitterness has no time to take rootToba Beta, My Ancestor was an Ancient Astronaut.

 

Writer’s POV

Hari diadakan race akhirnya datang. Ellen menghadapi semua pekerjaannya dengan baik. Meskipun kebanyakan kerja bersama laptop, ia sering disanjung para kru lain karena kepintarannya, termasuk Marc. Maklumlah, sejak kecil kepintaran Ellen memang diatas rata-rata anak sepantarannya.

Selama free practice pun Ellen jarang sekali membuat kesalahan dalam bekerja, ia juga selalu memperhatikan kru yang lain ketika beberapa kru sedang memperbaiki motor. Pada free practice pertama Marc sempat crash karena chatter (getaran) yang mengganggu performa motornya. Dibalik kerja sama tim itu, Ellen juga masih sering beradu mulut dengan Marc. Biasanya sih tentang hal-hal yang sepele.

Dan selama itu juga, bulir-bulir cinta tumbuh dalam diri Ellen pada Marc…

1 Jam sebelum race…

            “Hei, Nona Valdez,” sapa Marc.

“Apa?” jawab Ellen singkat karena ia sedang berkutat dengan laptop kerjanya.

“Jadi umbrella girl-ku ya nanti?” tersirat nada penuh harap pada perkataan Marc.

“Tidak bisa, aku ‘kan bekerja. Aku harus mengontrol motormu saat di grid nanti.” Ellen tidak mengalihkan pandangannya pada Marc. Begitulah Ellen, fokus dalam bekerja.

Marc masih belum menyerah. “Ganti yang lain saja, ayolah, hanya kali ini saja.”

“Setiap kru punya pekerjaannya masing-masing,” Ellen akhirnya menatap Marc.

“Aku sudah minta izin ke mereka, salah satu dari mereka akan menggantikanmu,” Marc tetap gigih dengan keinginannya ini.

“Ellen! Ke sini sebentar! Bantu aku,” salah satu kru berteriak.

“Maafkan aku, Marc.” Ellen langsung bergegas. Sekilas terlintas di benaknya mengapa ia menjadi egois begini pada Marc.

Marc kembali ke box trailer-nya, “Argh!” teriaknya sambil menendang tas kopernya. “Mengapa dia tega?” gumamnya.

***

Beberapa menit lagi race akan dimulai, semua rider sudah siap di grid mereka masing-masing bersama dengan kru mereka. Marc menempati grid paling depan.

Ellen berada di sebelah Marc, masih sibuk mengontrol motor Marc dengan saksama dari laptopnya. Sesekali Ellen melirik raut muka Marc yang kusam akibat perbuatannya tadi.

“Aku minta maaf,” bisik Ellen lirih.

Marc hanya diam saja.

“Aku mau kau berkonsentrasi untuk ini, untuk kru…” Ellen menghela napas sebentar, “… dan untukku.”

Marc masih tidak menggubris Ellen. Yang membuat Ellen sangat takut Marc tidak akan menyelesaikan race dengan baik.

Para kru juga khawatir pada Marc. Mereka tahu mood anak mereka ini sedang tidak bagus. Terlihat jelas pada muka Nakamoto dan Suppo, mereka seperti orang yang putus harapan. Mereka duduk di paddock Marc sambil menopang dagu. Tak kalah Julia, ayah Marc, yang lebih takut sang anak tidak berkonsentrasi penuh. Tak ada keceriaan di paddock seperti biasanya.

Semua ini salahku… Aku terlalu egois dengan pekerjaanku, batin Ellen sambil menatap ke arah paddock.

Continue reading

0

FF: I Don’t Have to Choose #3

Sorry lagi nih telat nge-post nya! Tapi tenang aja, di laptopku udah sampai part 5 kok. So enjoy this!! 

idhc 3

Love is like the wind, you can’t see it but you can feel it. ─Nicholas Sparks, A Walk to Remember.

Ellen’s POV

Alarm handphone-ku berdering pada jam 6 tepat pagi hari waktu setempat. Aku terbiasa bangun pagi meskipun hari libur ataupun bukan. Tetapi karena ini hari pertamaku bertugas jadi aku sangat bersemangat kali ini. Aku bangun menuju ke arah balkon kamarku. Udara segar yang berbeda ini menyapu kulitku untuk pertama kalinya. Aku memutuskan berganti baju untuk ber-jogging sebentar di sekitar hotel yang ternyata memang ada jalur untuk jogging.

“Pagi!” seseorang menyambutku dari belakang.

“Kenapa kau selalu mengagetkanku?” omelku pada Marc.

“Hey, ini masih pagi. Jangan ngomel kenapa?” balasnya sambil memasang tampang cemberut yang menurutku sangat lucu.

“Mana Alex?”

“Alex siapa? Si tukang tidur itu?” jawab Marc dengan tampang tidak peduli. “Dia tidak akan bangun jam segini, percayalah.”

“Mengapa? Memangnya dia tidak suka berolahraga?” tanyaku heran.

“Kau tidak lihat sendiri? Aku lebih berotot darinya, dia kerempeng seperti anak tak berdaya,” celanya.

Aku mendengus pada Marc. “Setidaknya dia lebih tinggi darimu.”

“Tapi aku lebih tampan dari pada dia!” seru Marc sambil tertawa.

Aku hanya tersenyum. Benar juga sih, pikirku.

Setelah jogging aku kembali ke kamarku begitu juga Marc. Ia mengikutiku terus selama jogging tadi. Agak risih memang, dia seperti buntutku, tetapi ada perasaan senang yang menyelimuti hatiku. Aku bergegas mandi lalu bersiap-siap untuk sarapan bersama para kru.

Saat aku keluar dari kamar, Alex juga keluar dari kamarnya.

“Selamat pagi,” katanya sambil berjalan di sampingku.

“Pagi juga,” sapaku lembut. Tak menyangka memang, kakak-beradik yang aku kagumi menyapaku pagi ini. Dan apakah akan setiap hari?

“Kau terlihat segar sekali,” kata Alex santai.

“Iya, mungkin efek jogging tadi pagi.”

“Benarkah? Kenapa kau tidak mengajakku?” balasnya dengan nada suara pura-pura ngambek.

“Kata Marc kau ini si tukang tidur, jadi aku tidak tega mengajakmu bangun pagi,” kataku sambil tertawa kecil.

 

Alex’ POV

Apa? Ia jogging bersama Marc tadi pagi? Pantas saja bocah tengik itu terlihat sangat senang. Kurang ajar, apakah dia mau menantangku?

Continue reading

6

FF: I Don’t Have to Choose #2

Tadinya mau nge-post kemaren-kemaren tapi tiba-tiba gak enak badan nih. Hahaha. Ini part 2-nya, enjoy ya guys! ditunggu lagi komen-komennya. Makasih!! 😀

idhc 2

Love is the flower you’ve got to let grow. ─John Lennon, The Beatles.

 

“Wah, ternyata ini anak baru di timku? Kau cantik juga,” goda Marc.

“Dasar genit,” kata Alex sambil mendengus kepada Marc.

Marc tidak memedulikan dengusan adiknya itu, “Siapa namamu?” tanyanya. Ia mengulurkan tangannya kepadaku.

“Ellen Valdez,” kataku menyambut tangan Marc yang terulur. Setelah itu aku berusaha menyembunyikan tanganku yang bergetar akibat berjabat tangan dengan Marc. Tetapi Alex menyadarinya…

“Kau kenapa? Sakit?” Alex menempelkan telapak tangannya ke dahiku, “Tidak kenapa-kenapa, ah.”

Ada apa dengan dua bocah ini? Sepertinya mereka memang suka menggoda wanita.

Aku menyingkirkan tangan Alex dari dahiku, “Aku tidak apa-apa, kok.”

Alex terdiam sebentar, melihat Marc masuk ke kamarnya lagi lalu langsung berkata kepadaku, “Oh, aku tahu, kau terjerat pesona kakakku. Iya ‘kan?”

“Ah, ti─tidak,” kataku terbata-bata.

“Sudahlah, akui saja. Aku sarankan kau berhati-hati padanya.”

***

            “Barang-barangmu mana? Sini aku bawa, aku akan ke tempat check-in,” tawar Alex.

Aku langsung menyerahkan koperku pada Alex.

“Hanya ini?” tanya Alex heran.

“I─iya,” aku jadi ikutan heran. “Memang kenapa?”

“Kau yakin hanya bawa satu koper?”

“Iya, benar kok.”

“Hebat sekali, biasanya wanita keperluannya banyak,” lalu ia mengangkat koperku, “Bahkan sangat ringan, kau bawa apa saja, sih?”

“Aku mau bekerja Alex, bukan mau berpesta atau liburan. Sudahlah cepat check-in, beberapa kru sudah ada di ruang tunggu.”

Alex mengangguk lalu aku mencari-cari keberadaan Marc. “Dimana sih dia?” gumamku. Aku kesulitan mencarinya karena ia memakai snapback juga kacamata hitam agar dia tidak diserang oleh gadis-gadis yang menemuinya di bandara.

“Mau donat?” Marc muncul dari belakangku yang membuatku mengira dia pencopet atau sejenisnya.

Continue reading

6

FF: I Don’t Have to Choose #1

idhc 1

“We accept the love we think we deserve.”  Stephen ChboskyThe Perks of Being a Wallflower

Ellen’s  POV

Udara pagi di dalam lingkungan universitas ini sungguh asri dan menyenangkan. Betapa beruntungnya aku, seorang wanita, bisa masuk ke universitas yang didominasi oleh kaum adam ini. Ya, Repsol Academy, adalah universitas yang membina semua hal tentang teknik, terutama teknik untuk alat transportasi. Bagaimana bisa aku masuk? Ini perjuangan yang lumayan melelahkan setelah ditentang oleh ayahku yang katanya bukan kodratku untuk menjadi seorang mekanik. Melelahkan memang berdebat dengannya, tapi aku telah mengirim berkas-berkas prestasiku ke Repsol Academy secara diam-diam dan akhirnya, aku mendapat beasiswa berkuliah disini.

            Lebih menyenangkannya lagi adalah, aku diwisuda hari ini! Akhirnya aku bisa membuktikan kepada ayahku kalau inilah bidangku.

            “Selamat ya, Sayang, Papa minta maaf pernah meragukanmu,” kata Papa sembari memelukku erat.

            “Iya tidak apa-apa, Pa. Yang penting sekarang aku bisa lulus dan lihat nilaiku, Pa! Sempurna!” Kemudian aku mencium pipi Papa dengan penuh kegembiraan. “Lihat nih, Ma! Ellen bisa ‘kan?” aku berteriak sambil menengadah ke atas langit, berharap Mama ikut senang disana.

            Mamaku meninggal dua tahun lalu akibat leukemia, aku sangat sedih pada waktu itu dan nilaiku sempat menurun. Tetapi demi cita-cita aku berhasil bangkit.

            Tiba-tiba Kepala Repsol Academy kembali berdiri diatas panggung dengan tergesa-gesa, “Maaf saya mengganggu waktu selebrasi anda semua. Saya mempunyai satu pengumuman penting. Kepada Ellen Demetria Valdez, dimanakah anda?”

            Aku mengacungkan tangan sambil berteriak, “Disini, Pak!”

            Beliau mengarahkan pandangannya kepadaku sejenak lalu berkata, “Selamat, Nak! Kamu dipromosikan oleh Repsol Academy untuk bekerja bersama Racing Team MotoGP kami, yaitu Repsol Honda Team. Kamu akan berada di kandang Marc Marquez musim ini.”

Continue reading