Entah kenapa lagi bernafsu bikin oneshot aja. Karena lagi malas bikin yang seri-seri hahaha.
Happy reading 🙂
Liburan musim panas. Yah, seperti biasa aku dan teman-teman mengadakan acara camping untuk bersenang-senang. Padang rumput yang setiap tahun kami datangi ini mungkin sudah bosan dengan kedatangan kami.
Tahun ini ada suasana baru, Maverick membawa seorang temannya. Dia bilang itu adalah teman masa kecilnya yang sudah lama tidak ia temui.
“Callista!” panggil Maverick.
Aku yang sedang merapikan tenda langsung menghampiri sahabatku yang lebih akrab disapa Mack itu, “Ada apa?”
“Ini, kenalkan, Dylan O’ Brien. Teman masa kecilku dulu, sulit sekali menemukan orang Amerika ini,” Mack tertawa begitu juga Dylan.
Dylan mengulurkan tangannya padaku sambil tersenyum, “Dylan O’ Brien.”
Jujur, senyumnya sungguh menawan. Aku menyambut tangannya, “Callista Gabreel.”
***
Malam mulai tiba. Para lelaki mulai sibuk menyusun kayu bakar untuk menyalakan api unggun. Kami para wanita, menyiapkan bahan-bahan untuk barbeque.
“Dylan tampan, ya,” kata Bianca.
“Iya, dia manis sekali dan kelihatannya baik,” jawabku.
“Kau tertarik dengannya?” tanya Bianca.
“Mungkin, aku tidak tahu juga.”
“Kau belum pernah jatuh cinta, aku harap kali ini kau bisa jatuh pada Dylan.”
“Ah, aku ‘kan baru mengenalnya, aku bisa berharap apa?”
“Semua butuh proses, Lista,” kata Bianca sambil menepuk bahuku. “Ayo kita ke sana, mereka sudah siap.”
Aku dan Bianca duduk di sebuah batang kayu yang melintang dekat api unggun. Batang-batang kayu besar itu disusun mengelilingi api unggun agar kami bisa duduk di sana.
Alex, temanku yang gayanya bak seorang musisi itu mulai memetik gitarnya mengalunkan lagu-lagu santai. Ada yang berbincang-bincang, bercanda, ada juga yang memilih tetap di dalam tenda.
Saat aku sedang bernyanyi-nyanyi bersama Alex, aku merasa ada yang menatapku sedari tadi. Aku melihat ke seberang kananku, Dylan jelas sedang memerhatikan diriku.
Wajah menawannya tidak sedikit pun berkurang di saat kegelapan malam, bahkan malah terlihat lebih menarik hanya dengan pencahayaan dari api unggun. Bola matanya menatapku tajam, tapi tersirat kelembutan di dalamnya.
Karena haus, aku memutuskan mengambil minuman dekat tendaku. Saat ingin kembali, tak sengaja aku tersandung pasak tenda. Aku mungkin sudah tersungkur malu di tanah jika Dylan tidak sigap menangkapku.
“Kau harusnya membawa senter,” katanya.
“Tendanya ‘kan tidak begitu jauh,” kataku gugup.
“Tetap saja, pasak-pasak ini tidak dapat menyala dalam kegelapan, bukan?”
Aku tertunduk malu, “Iya, aku akan berhati-hati.”
“Mau cokelat panas?” tawarnya. “Sepertinya tanganmu kedinginan.”
Aku mengangguk pelan.
Selama satu malam itu kami mulai mengobrol dan bercanda satu sama lain. Kami bercerita tentang pengalaman yang pernah kami alami satu sama lain, mulai dari yang lucu hingga sedih.
“Kenapa kau dulu meninggalkan Mack?” tanyaku.