6

Oneshot: Another You

Entah kenapa lagi bernafsu bikin oneshot aja. Karena lagi malas bikin yang seri-seri hahaha.

Happy reading 🙂

 

another you

Liburan musim panas. Yah, seperti biasa aku dan teman-teman mengadakan acara camping untuk bersenang-senang. Padang rumput yang setiap tahun kami datangi ini mungkin sudah bosan dengan kedatangan kami.

Tahun ini ada suasana baru, Maverick membawa seorang temannya. Dia bilang itu adalah teman masa kecilnya yang sudah lama tidak ia temui.

“Callista!” panggil Maverick.

Aku yang sedang merapikan tenda langsung menghampiri sahabatku yang lebih akrab disapa Mack itu, “Ada apa?”

“Ini, kenalkan, Dylan O’ Brien. Teman masa kecilku dulu, sulit sekali menemukan orang Amerika ini,” Mack tertawa begitu juga Dylan.

Dylan mengulurkan tangannya padaku sambil tersenyum, “Dylan O’ Brien.”

Jujur, senyumnya sungguh menawan. Aku menyambut tangannya, “Callista Gabreel.”

***

Malam mulai tiba. Para lelaki mulai sibuk menyusun kayu bakar untuk menyalakan api unggun. Kami para wanita, menyiapkan bahan-bahan untuk barbeque.

“Dylan tampan, ya,” kata Bianca.

“Iya, dia manis sekali dan kelihatannya baik,” jawabku.

“Kau tertarik dengannya?” tanya Bianca.

“Mungkin, aku tidak tahu juga.”

“Kau belum pernah jatuh cinta, aku harap kali ini kau bisa jatuh pada Dylan.”

“Ah, aku ‘kan baru mengenalnya, aku bisa berharap apa?”

“Semua butuh proses, Lista,” kata Bianca sambil menepuk bahuku. “Ayo kita ke sana, mereka sudah siap.”

Aku dan Bianca duduk di sebuah batang kayu yang melintang dekat api unggun. Batang-batang kayu besar itu disusun mengelilingi api unggun agar kami bisa duduk di sana.

Alex, temanku yang gayanya bak seorang musisi itu mulai memetik gitarnya mengalunkan lagu-lagu santai. Ada yang berbincang-bincang, bercanda, ada juga yang memilih tetap di dalam tenda.

Saat aku sedang bernyanyi-nyanyi bersama Alex, aku merasa ada yang menatapku sedari tadi. Aku melihat ke seberang kananku, Dylan jelas sedang memerhatikan diriku.

Wajah menawannya tidak sedikit pun berkurang di saat kegelapan malam, bahkan malah terlihat lebih menarik hanya dengan pencahayaan dari api unggun. Bola matanya menatapku tajam, tapi tersirat kelembutan di dalamnya.

Karena haus, aku memutuskan mengambil minuman dekat tendaku. Saat ingin kembali, tak sengaja aku tersandung pasak tenda. Aku mungkin sudah tersungkur malu di tanah jika Dylan tidak sigap menangkapku.

“Kau harusnya membawa senter,” katanya.

“Tendanya ‘kan tidak begitu jauh,” kataku gugup.

“Tetap saja, pasak-pasak ini tidak dapat menyala dalam kegelapan, bukan?”

Aku tertunduk malu, “Iya, aku akan berhati-hati.”

“Mau cokelat panas?” tawarnya. “Sepertinya tanganmu kedinginan.”

Aku mengangguk pelan.

Selama satu malam itu kami mulai mengobrol dan bercanda satu sama lain. Kami bercerita tentang pengalaman yang pernah kami alami satu sama lain, mulai dari yang lucu hingga sedih.

“Kenapa kau dulu meninggalkan Mack?” tanyaku.

Continue reading

0

Oneshot: Find You

Hai hai!! Aku siap dicelotehin kalian karena ga nongol-nongol di blog xixixi sebagai pengobat rasa rindu *cieileh* ini ada oneshot. Biasa aja sih ceritanya. Alurnya juga pendek dan rada gajelas gitu dehhh. Mungkin aku baru akan ngelanjutin ff lainnya di bulan Desember alias hari libur yeyyy. Oke deh kalo begitu, happy reading ya!

find you

I believe that two people are connected at the heart, and it doesn’t matter what you do, or who you are or where you live; there are no boundaries or barriers if two people are destined to be together.” – Julia Roberts

Alex menatap Carol yang sedang fokus pada laptop-nya. Bukan dengan tatapan biasa, tetapi tatapan yang lekat dan tersirat penuh harap di dalamnya.

Caroline Bartra, gadis pujaan hati lelaki itu sedari kecil. Persahabatan mereka yang tumbuh seiring dengan dewasanya Alex dan Carol, membuat lelaki itu jatuh cinta pada sahabatnya sendiri. Entah sedari kapan, lelaki itu tak tahu. Waktu membiarkannya mencintai gadis itu, hingga tak terukur seberapa besar cintanya pada Carol.

Carol adalah gadis yang pintar, cantik, dan berhati lembut. Tak pernah ia membiarkan Alex kesepian. Aku akan selalu di sini untukmu, adalah kata-kata yang selalu Alex ingat dari Carol.

“Sampai kapan kau mau menatapku seperti itu, Alex?” tanya Carol yang masih belum berhenti menatap laptopnya.

“Aku tidak tahu, aku ingin membuatmu merasa kalau aku ada di sini,” jawab Alex.

“Kau selalu ada untukku, kapan aku pernah merasa kalau kau tidak bersamaku?” gadis itu menatap Alex sambil tersenyum.

Entah sudah berapa puluh ribu atau jutaan kali Alex melihat senyum itu, rasanya tak akan pernah bosan. Lelaki itu selalu mengagumi setiap senyum yang dibuat Carol padanya. Alex membalas senyuman Carol, “Aku sangat senang kalau kau berkata seperti itu.”

“Tentu saja kau harus senang, kau sahabatku yang paling aku sayangi, Alex.”

Sahabat. Sebuah kata yang menggambarkan bahwa hubungan mereka hanya sebatas sahabat. Sebenarnya hati Alex sakit mendengar kata itu. Tak pernahkah aku bisa menjadi lebih dari itu? batinnya.

Sesaat setelah Carol menutup laptopnya, seorang lelaki datang lalu memeluk gadis itu dari belakang.

“Hai, Cantik,” sapa lelaki itu lembut. “Hai, Lex,” lelaki itu menyapa Alex juga.

“Hai, Danny,” balas Carol.

Alex hanya melempar senyum kepada lelaki bernama Danny itu.

Sudah tiga bulan Carol berpacaran dengan Danny. Mereka jadian setelah pesta kelulusan SMA mereka selesai. Sedihnya, Alex adalah saksi peresmian hubungan itu.

Danny Kent adalah cowok terpopuler di SMA-nya waktu itu. Sebenarnya otak lelaki itu enggak pintar-pintar amat, tetapi memang wajahnya cukup membuat gadis-gadis di sekolah hampir pingsan ketika Danny lewat di koridor sekolah. Carol pun seperti tersihir akan pesona Danny. Tak hanya tampan, Danny juga terkenal baik dan berprestasi dalam hal olah raga. Semua jenis olah raga hampir semuanya dikuasai Danny; mulai dari basket, sepakbola, tennis, voli, bulu tangkis, dan sebagainya. Di rumahnya pun berjejer berbagai penghargaan seputar olah raga.

Berkebalikan dengan Danny, Alex mengoleksi berbagai penghargaan seputar science dan tetek bengeknya. Wajah Alex juga tampan, bahkan tak kalah dengan Danny. Tetapi, Alex lebih menutup dirinya ketimbang Danny yang suka menebar pesonanya ke mana-mana. Satu lagi kelebihan Alex adalah kemahirannya dalam bermusik. Padahal ia tidak terlahir dari keluarga bermusik. Ia menguasai piano, keyboard, gitar dan drum; sekarang ia sedang belajar saksofon yang ia beli dari hasil tabungan uang jajannya.

Keputusan Carol yang menerima Danny secara cuma-cuma cukup membuat Alex kecewa. Entah tak hanya karena cemburu, tapi Alex yakin ada hal buruk yang ditutupi oleh Danny; sisi buruk yang tak pernah dilihat semua orang saat sekolah dulu.

Sekarang mereka semua sudah menginjak bangku perkuliahan. Alex mengambil jurusan Arsitektur, Carol mengambil Kedokteran karena ia terlahir di keluarga dokter, sedangkan Danny mengambil beasiswa sekolah bulu tangkis. Alex dan Carol berada di universitas yang sama.

***

Alex melihat Carol yang duduk tertunduk di bangku taman kampus.

Kumohon jangan lagi, batin lelaki itu dalam hati. Lalu ia menyusul gadis itu.

Alex duduk di sebelah Carol, “Hey? Kau kenapa?”

Carol langsung memeluk sahabatnya itu dengan terisak, “Dia melakukannya lagi, dia jahat padaku.”

“Sudahlah, sampai kapan kau mau bertahan dengannya? Kurang banyak apa dia menyakitimu? Kau selalu melarangku untuk memperingatkan bajingan itu!”

“Tolong jangan lakukan apapun padanya, aku…”

“Carol!” bentak Alex. “Kau tak tahu sudah berapa lama kau seperti ini?”

Continue reading