Manhattan, You #2

Part 2!! Enjoy yaaaaa hahaha sambil curhat dikit, gak curhat sih sbenernya, cuma lagi kesengsem aja nih ama novel Fifty Shades the series. Yak, memang itu novel agak-agak…. Hmm, yaaaa, kalo di bawah umur 18 jangan baca lah yaw wkwk but sbenernya novel itu jika tanpa adegan2 “begitu-begitu”-nya, actually it’s kinda good and soooooo romantic. Sekarang lagi baca buku yang kedua yaitu Fifty Shades Darker, buku pertama itu Fifty Shades of Grey, dan yang ketiga Fifty Shades Freed. Gak begitu suka sama buku pertama karena, as you know yang udah nonton filmnya, itu sama persis. Di buku kedua ini udah mulai luar biasa romantis si Christian Grey, dia si makhluk paling sempurna dalam novel ini hahaha karena bukunya ga keluar di indonesia, jadi aku berhasil nemuin pdf berbahasa indonesia di google. Aku tidak mau menjerumuskan kalian so aku gakmau naro linknya disini. Ask me if you wanna know lewat twitter aja: @felpercy karena ask.fm dan facebook ku udah ga begitu aktif dan jangan lupa konfirmasi umur. I will share anything but I know the limits. This is just my book recommendations. 

So, selamat membaca! —–> membaca yang di bawah ini maksudnya hahaha bukan fifty shades :p 

2

Clarissa menatap lembut buah hati kecilnya yang sedang tidur terlelap. Tak terasa begitu cepat anaknya tumbuh besar dan sudah menginjak umur 5 tahun.

“Aku berharap ayahmu mau mengakuimu, Nak,” bisik wanita itu lirih.

Memori lima tahun lalu selalu terngiang-ngiang dalam benaknya. Entah bagaimana ia begitu bodohnya memercayai Edward yang meninggalkannya begitu saja setelah tahu bahwa dirinya hamil. Ketika bagaimana Clarissa mencoba untuk membunuh janin dalam rahimnya, bingung ketika ia harus memberitahu kedua orang tuanya bahwa ia hamil.

“Belakangan ini makanmu banyak, Sayang,” kata Renee, ibu Clarissa.

Clarissa agak panik, “Tidak apa-apa, Mom. Aku hanya ingin makan banyak saja, kau tahu aku ini kurus, bukan?”

“Tapi kau juga mulai terlihat gemuk,” celetuk Wayne, ayah tiri Clarissa.

“Iyakah? Aku tidak yakin, Wayne,” jawab Clarissa ragu-ragu.

“Mungkin perasaanku saja,” kata Wayne sambil tertawa.

Tiba-tiba Clarissa merasa mual lalu langsung berlari ke toilet dengan sangat panik. Karena khawatir, Renee mengikuti anaknya itu.

“Kau ini kenapa? Kau bertingkah sangat aneh belakangan ini,” ucap Renee.

Clarissa menangis lalu memeluk ibunya.

“Aku minta maaf, Mom. Aku sangat minta maaf, aku tidak tahu mengapa ini bisa terjadi padaku. Aku minta maaf…” Clarissa kini memeluk kedua kaki ibunya.

Renee hanya bisa terdiam, terpaku mendengar pernyataan putri semata wayangnya itu.

“Aku mencoba membunuhnya, tapi aku tidak bisa, Mom.”

Renee terbangun dari lamunannya lalu mengangkat putrinya bangun, “Tidak, tidak, tidak. Kau tidak boleh membunuhnya, Sayang. Ingat, Tuhan tidak mengizinkan kita untuk membunuh,” Renee mengusap air mata Clarissa.

“Baiklah aku marah, aku kaget mendengar putriku seperti ini. Tapi tetap saja yang ada di rahimmu ini adalah hadiah dari Tuhan, kau mengerti?” lanjutnya.

“Baik, Mom. Aku akan menjaganya baik-baik.”

“Mom akan coba memberitahu Wayne, dia bukan tipe laki-laki pemarah, kau tahu?” kata Renee sambil tersenyum.

Enam bulan setelah insiden memberitahu ibunya itu, Clarissa melahirkan anak perempuannya yang ia beri nama Eleanor Young. Young adalah nama belakang ayah kandung Clarissa.

Seorang laki-laki masuk ke kamar Clarissa, “Dia sudah tidur?” tanya lelaki itu.

“Sudah, Scott,” kata Clarissa. “Kau pulang ke rumah hari ini?”

“Ya, besok aku tidak ada jadwal mengajar,” kata Scott sambil melepas dasinya. “Elle besok libur, ‘kan? Aku ingin mengajaknya jalan-jalan.”

“Kau baik sekali, padahal dulu kau membenciku dan Eleanor,” sindir Clarissa.

“Aku membencimu setelah menemukan test pack dalam tong sampah kamar mandimu, lalu kembali menyayangimu setelah kau melahirkan Elle.”

“Kenapa bisa begitu, Tuan Redding?”

“Melihat perjuanganmu merawat Elle saat masih dalam kandungan? Itu cukup membuatku tak benci padamu lagi.”

“Sebenci-bencinya kau padaku, kau tetap selalu di sampingku ketika aku butuh bantuan. Terutama saat aku mengidam.”

“Kau mengidam bunga mawar putih di malam hari, bagus sekali Clary. Aku ini kakakmu bukan suamimu,” kata Scott sambil tertawa.

“Hei, sekarang kau lihat sendiri betapa cantiknya Elle seperti mawar putih itu,” balas Clarissa.

“Ya sudah, kau tidurlah. Besok aku akan menjaga Elle. Selamat malam,” Scott langsung keluar dari kamar Clarissa.

Clarissa sangat senang mempunyai kakak tiri seperti Scott. Meskipun dulu dia membenci Clarissa, tetapi tak bisa dipungkiri kalau lelaki itu adalah tipe yang sangat penyayang. Terkadang Clarissa berharap Scott bisa menjadi suaminya, tetapi ya… Tuhan berkehendak lain.

***

Scott membawa Eleanor si gadis kecil kesayangan Clarissa ke Central Park. Meskipun hari Kamis, tetapi Central Park selalu dipenuhi orang-orang yang berpiknik, olah raga, bersantai, dan lain-lain.

“Uncle Scott, lihat ada cotton candy! Elle mau, Uncle…” rengek Eleanor.

“Baiklah, tapi kali ini saja, ya. Jangan bilang Mommy kalau kau membeli cotton candy, nanti dia marah. Okay?” kata Scott lembut.

Eleanor mengacungkan ibu jari mungilnya, “Okay, Uncle!” serunya.

Di sisi lain taman besar yang berada di tengah-tengah Manhattan itu, ternyata Julie sedang lari pagi di sana. Tubuhnya sudah dibanjiri keringat karena ia sudah berlari dari pagi-pagi sekali.

Saat hendak membeli minuman, Julie melihat seorang anak kecil duduk di bangku taman sendirian. Karena khawatir, Julie memutuskan untuk menghampiri anak itu.

“Hai, apa kau tersesat?” tanya Julie sambil tersenyum.

Anak itu agak terkejut karena Julie tiba-tiba duduk di sebelahnya lalu mengajaknya bicara. “Tidak, Auntie. Aku sedang menunggu Uncle-ku membelikanku cotton candy.”

Lucu sekali anak ini, pikir Julie. “Wah, kau berani sekali menunggu sendirian. Siapa namamu?”

“Namaku Eleanor Young,” kata Eleanor dengan muka polos khas anak-anak. Begitu menggemaskan.

Young? Julie sedikit tersentak mendengar nama keluarga Young. Wajah gadis kecil ini juga mengingatkannya pada Clarissa yang mempunyai nama keluarga yang sama dengan anak ini. Tetapi mungkinkah ini anak Clarissa? batinnya. Tetapi Julie langsung menepis jauh-jauh pikirannya itu. Di dunia ini yang mempunyai nama keluarga Young banyak, bukan?

“Bagus sekali namamu…”

“Nah ini dia,” Scott tiba-tiba datang lalu memberikan cotton candy pada keponakannya itu.

“Scott?” panggil Julie.

“Julie?” Scott terkejut lalu tersenyum, “Apa yang kau lakukan di sini?”

“Jadi kau Uncle-nya gadis kecil lucu ini?” tanya Julie yang gemas melihat Eleanor langsung melahap cotton candy-nya.

“Uncle kenal Auntie ini?” tanya Eleanor yang mulutnya belepotan gula.

“Iya, Sayang. Ini Auntie Julie. Dia adalah teman kerja Uncle,” kata Scott.

“Salam kenal ya, Auntie,” kata Eleanor sambil mengulurkan tangannya yang sedikit lengket karena cotton candy-nya.

“Salam kenal juga, Eleanor,” Julie menyambut tangan mungil Eleanor.

Karena Eleanor terus menempel pada Julie, wanita itu memutuskan mengajak anak kecil dan pamannya itu menemaninya berbelanja.

Julie sedang melihat-lihat sayuran lalu di sebelahnya ada seorang wanita bertanya, “Permisi, apa kau tahu di mana rak bumbu-bumbu dapur?”

Julie melihat wajah wanita itu lalu diam terpaku, begitu juga wanita itu.

“Cla—Clarissa?”

Eleanor menghampiri Julie, “Lihat, Auntie! Aku menemukan biskuit kesukaanku!” serunya lalu melihat ke arah Clarissa, “Mommy!!” Gadis kecil itu langsung memeluk Clarissa.

“Hai, Clary. Apa yang kau lakukan di sini?” tanya Scott.

“Ber—be—lanja, ten—tunya,” jawab Clarissa terbata-bata.

“Kalian saling mengenal?” tanya Scott lagi.

“Tidak!” jawab Clarissa dengan cepat. “Kami tidak mengenal, aku tadi hanya menanyakan di mana rak bumbu dapur. Baiklah selamat bersenang-senang, ya kalian. Senang mengenalmu,” kata Clarissa terburu-buru.

Julie hanya tersenyum getir melihat perlakuan Clarissa padanya. Entah apa yang harus ia ucapkan dari mulutnya. Gadis kecil itu memanggil Clarissa “mommy” yang berarti firasatnya benar, Eleanor adalah anak Clarissa.

***

“Dia pacarmu?” tanya Clarissa.

“Bukan, hanya teman dekat saja.”

“Kau yakin?” tanya Clarissa lagi sambil melahap sandwich-nya.

“Iya, Clary. Mengapa kau terlihat begitu khawatir? Dia hanya teman kerjaku saja,” jawab Scott.

“Apa akan menjadi pacar?”

“Clary, ada apa denganmu? Oh, ayolah, aku—”

“Kau suka padanya?”

Scott terdiam.

“Tentu, kau suka padanya,” kata Clarissa cuek lalu menggigit sandwich-nya kembali.

“Memang kenapa? Kau terlihat tidak menyukainya,” jawab Scott dengan heran.

“Di—dia terlihat seperti bukan perempuan yang… Hmm… baik-baik?” bohong Clarissa.

Lelaki itu agak sedikit tersinggung, “Kau bertemu dengannya di supermarket, bukan di club atau semacamnya, seburuk itukah kesan pertamamu tentangnya?”

“Ya… Hanya terlihat saja,” jawab Clarissa ragu-ragu. Akulah yang sebenarnya bukan perempuan baik-baik! seru Clarissa dalam hati.

“Umurku hampir menginjak kepala tiga, Clary. Aku harus berkeluarga,” Scott mengusap wajahnya, “Aku tidak bisa memikirkan kematian Jean terus.”

“Maaf, aku tidak bermaksud untuk melarangmu, Scott. Tapi kumohon jangan dia,” bujuk Clarissa.

“Aku tahu siapa yang terbaik untukku, aku mohon untuk kali ini ijinkan aku memilih sendiri? Hmm?” Scott memeluk Clarissa lalu mencium dahi adiknya itu.  “Aku ke kamar dulu.”

Clarissa menatap tubuh Scott yang menjauh menuju kamar tidurnya, “Tapi kumohon jangan dia,” gumam Clarissa.

***

“Mommy? Eleanor memanggil Clarissa… Mommy?” Julie mondar-mandir terus menerus di depan sofanya, sesekali ia duduk, tetapi bangun lagi.

“Apa Scott ayahnya? Oh… Tidak, tidak, Eleanor memanggilnya Uncle, dan Scott juga bilang kalau Elle adalah keponakannya. Jadi siapa?”

“Mengapa ia tak bilang padaku? Menghilang lalu tiba-tiba kembali dan mempunyai anak usia lima tahun?”

“Dia menghindariku? Atau membenciku? Seharusnya aku yang seperti itu.”

Julie terus mengomel sambil mondar-mandir sampai ocehannya terhenti setelah mendengar bunyi bel apartemennya.

“Pasta… dan Champagne?”

Senyum Julie langsung mengembang ketika melihat lelaki itu. Ya, Scott Redding. Lelaki itu terlihat seksi menggunakan kaus lengan panjang berwarna abu-abu polos serta celana jeans gelap dengan rambut tak tertata rapi, sangat kontras perbedaannya saat mengajar. Dia memegang Sebotol Champagne di tangan kirinya dan dua bungkus pasta di tangan kanannya.

“Kau selalu ingin membuat hasil jogging-ku sia-sia ya?” canda Julie.

“Asal itu membuatmu senang, mengapa tidak?” senyum lelaki itu.

Scott melahap pasta yang ia bawa dalam keheningan, begitu juga Julie. Tetapi tak satu suap pun Julie masukkan ke dalam mulutnya sedari tadi. “Kau terlihat tidak bersemangat,” ujar Scott.

“Aku hanya memikirkan sesuatu,” Julie mengaduk-aduk pastanya, “Tetapi… Sudahlah, hal yang tidak penting.”

“Baiklah. Hmm… Apa kau tak menyukai pastanya?” tanya Scott ragu-ragu.

“Oh, tidak Scott, aku sangat menyukai pasta ini. Aku hanya mengaduk-aduknya sebentar.”

“Ehm,” Scott berdeham kencang lalu Julie menatap Scott.

“Apa?” tanya Julie.

“Kau sudah mengaduknya hingga pastaku sudah mau habis.”

Julie tertawa pelan, akhirnya ia memasukkan satu suap pasta ke dalam mulutnya.

“Apa boleh aku bertanya tentang keluargamu?” tanya Julie.

“Tentu, tanyakan saja. Sepertinya aku tidak pernah menceritakan tentang mereka.”

Julie memulai kegiatan aduk-mengaduknya lagi, “Clarissa itu… Adikmu?”

“Ya, lebih tepatnya adik tiriku. Dia sekolah di Juiliard juga dan sepertinya seangkatan denganmu.”

“Aku hanya pernah melihatnya saja, tapi benar, dia seangkatan denganku.”

“Senang sekali mempunyai adik seperti dia, kupikir keputusan ayahku salah untuk menikah lagi,” Scott menyesap sedikit Champagne-nya, “Tapi ternyata tidak, aku senang punya ibu tiri dan adik yang baik.”

“Dan Eleanor? Apakah Clarissa sudah menikah?” tanya Julie.

Scott terdiam sebentar. “Clary hamil di luar nikah. Sampai sekarang aku tidak tahu siapa bajingan itu.”

Oh tidak, batin Julie. “Maaf mendengar itu. Aku tidak bermaksud—”

“Ah, tidak apa-apa. Banyak orang sudah mengetahui ini.”

Tetapi aku tidak tahu, kesal Julie dalam hati. Apakah si bajingan itu Edward? Mungkinkah malam itu mereka…, batin Julie,berbagai pertanyaan mulai membanjiri pikirannya lagi.

***

“Bagus sekali! Teruskan!” seru Julie. Ia sedang memandu sekelompok murid-murid koor yang menyanyikan lagu Whispering Hope. “Lebih semangat lagi!” serunya lagi.

Edward masuk ke ruangan itu lalu menyapa Julie, “Hai.”

Julie pura-pura tak mendengar Edward.

Lelaki itu meletakkan telapak tangannya di pundak Julie dan langsung ditepis oleh wanita itu. “Jangan menyentuhku, Bajingan,” bisiknya.

Edward sedikit tersentak dengan apa yang Julie katakan padanya, “Ada apa? Mengapa begitu ketus?”

“Pergi dari sini! Kau hanya laki-laki jalang yang merusak masa depan seorang wanita,” jawab Julie dengan suara sekecil mungkin agar para murid tak mendengarnya, tetapi dengan nada yang kasar.

“Bagus semuanya! Saya sangat bangga dengan kalian! Tentu saja kalian bisa memenangkan kompetisi besar ini,” Julie menatap Edward dengan wajah mengintimidasi, “Benar bukan, Mr. Sheeran?”

“Ya, tentu kalian bisa dalam bimbingan Miss Collins,” kata Edward gugup.

Julie kembali ke ruangan kerjanya yang hanya ada beberapa dosen yang sedang bersantai, ada juga yang sedang memilah-milah berkas-berkas. Wanita itu menuju meja Scott Redding untuk meletakkan buku absen murid-muridnya yang ditemukan cleaning service di studio menari. Ruangan bersekat tanpa pintu itu terlihat rapi untuk ukuran seorang laki-laki yang menempatinya.

Di salah satu tembok penyekat ruangan Scott, Julie melihat foto seorang wanita cantik. Rambutnya pendek sebahu berwarna cokelat gelap, matanya berwarna senada dengan rambutnya, kulitnya terlihat putih bersih tanpa cela, ia memakai baju wisuda lengkap dengan toga dan hand bouquet di tangannya, senyumnya sangat menawan dan terlihat amat bahagia.

“Maaf?”

Julie terkejut melihat Scott sudah berdiri di belakangnya, “Ma—maaf, a—aku hanya mau meletakkan buku absenmu, ta—di tertinggal di studio—”, Julie menelan ludahnya, “—menari.”

“Terima kasih,” kata Scott datar. Ekspresinya tak terbaca.

“Aku pergi dulu,” kata Julie yang langsung bergegas menuju ruangannya.

***

Julie menyesap Hot Greentea Latte yang ia pesan bersama Almond Croissant-nya. Yep, dengan pensil di tangan dan kertas di atas meja Starbucks, Julie mulai mencari inspirasinya. Selalu duduk di samping jendela yang menghadap jalan raya adalah kenyamanan tersendiri untuk wanita itu.

Julie menatap seorang wanita seumuran dirinya yang masuk ke Starbucks; memakai pump heels hitam, rok span berwarna hitam serta kemeja putih, rambut panjangnya digerai jatuh menutupi punggungnya, kacamata juga menggantung di atas hidungnya, ia juga membawa tas kerja wanita pada umumnya.

Terdengar samar-samar wanita itu berkata, “Aku mau pesan…”

“Hot Greentea Latte, grande,” teriak Julie dengan suara yang tidak terlalu mencuri perhatian, karena memang tempat duduknya tak jauh dari kasir.

“Ya, benar,” wanita itu mengangguk sambil tersenyum pada si gadis penjaga kasir.

Setelah mengambil pesanannya, wanita itu langsung menghampiri Julie.

“Julie!!!!” serunya sambil memeluk Julie. Kali ini agak sedikit mengundang perhatian.

“Aku sangat merindukanmu, Emma.”

“Aku juga, sangat.”

 

to be continued…

 

as usual, put your comments and critics down below and I will respond as soon as possible. Mungkin ini juga bakal jadi ff terakhir di minggu ini KARENAAAAAA minggu UAS ku sudah mau dimulai hahahah Doain yah biar IP-ku gak anjlok lagi kayak kemarin huhuhu love love buat kalian cemuah ❤ Thanks for reading!!

2 thoughts on “Manhattan, You #2

Leave a comment