6

FF: I Don’t Have to Choose #4

Part 4! Nah buat part 5 ampe seterusnya di pending dulu  ya hehehe hope you guys like it!

idhc 4

If you’re betrayed, release disappointment at once. By that way, the bitterness has no time to take rootToba Beta, My Ancestor was an Ancient Astronaut.

 

Writer’s POV

Hari diadakan race akhirnya datang. Ellen menghadapi semua pekerjaannya dengan baik. Meskipun kebanyakan kerja bersama laptop, ia sering disanjung para kru lain karena kepintarannya, termasuk Marc. Maklumlah, sejak kecil kepintaran Ellen memang diatas rata-rata anak sepantarannya.

Selama free practice pun Ellen jarang sekali membuat kesalahan dalam bekerja, ia juga selalu memperhatikan kru yang lain ketika beberapa kru sedang memperbaiki motor. Pada free practice pertama Marc sempat crash karena chatter (getaran) yang mengganggu performa motornya. Dibalik kerja sama tim itu, Ellen juga masih sering beradu mulut dengan Marc. Biasanya sih tentang hal-hal yang sepele.

Dan selama itu juga, bulir-bulir cinta tumbuh dalam diri Ellen pada Marc…

1 Jam sebelum race…

            “Hei, Nona Valdez,” sapa Marc.

“Apa?” jawab Ellen singkat karena ia sedang berkutat dengan laptop kerjanya.

“Jadi umbrella girl-ku ya nanti?” tersirat nada penuh harap pada perkataan Marc.

“Tidak bisa, aku ‘kan bekerja. Aku harus mengontrol motormu saat di grid nanti.” Ellen tidak mengalihkan pandangannya pada Marc. Begitulah Ellen, fokus dalam bekerja.

Marc masih belum menyerah. “Ganti yang lain saja, ayolah, hanya kali ini saja.”

“Setiap kru punya pekerjaannya masing-masing,” Ellen akhirnya menatap Marc.

“Aku sudah minta izin ke mereka, salah satu dari mereka akan menggantikanmu,” Marc tetap gigih dengan keinginannya ini.

“Ellen! Ke sini sebentar! Bantu aku,” salah satu kru berteriak.

“Maafkan aku, Marc.” Ellen langsung bergegas. Sekilas terlintas di benaknya mengapa ia menjadi egois begini pada Marc.

Marc kembali ke box trailer-nya, “Argh!” teriaknya sambil menendang tas kopernya. “Mengapa dia tega?” gumamnya.

***

Beberapa menit lagi race akan dimulai, semua rider sudah siap di grid mereka masing-masing bersama dengan kru mereka. Marc menempati grid paling depan.

Ellen berada di sebelah Marc, masih sibuk mengontrol motor Marc dengan saksama dari laptopnya. Sesekali Ellen melirik raut muka Marc yang kusam akibat perbuatannya tadi.

“Aku minta maaf,” bisik Ellen lirih.

Marc hanya diam saja.

“Aku mau kau berkonsentrasi untuk ini, untuk kru…” Ellen menghela napas sebentar, “… dan untukku.”

Marc masih tidak menggubris Ellen. Yang membuat Ellen sangat takut Marc tidak akan menyelesaikan race dengan baik.

Para kru juga khawatir pada Marc. Mereka tahu mood anak mereka ini sedang tidak bagus. Terlihat jelas pada muka Nakamoto dan Suppo, mereka seperti orang yang putus harapan. Mereka duduk di paddock Marc sambil menopang dagu. Tak kalah Julia, ayah Marc, yang lebih takut sang anak tidak berkonsentrasi penuh. Tak ada keceriaan di paddock seperti biasanya.

Semua ini salahku… Aku terlalu egois dengan pekerjaanku, batin Ellen sambil menatap ke arah paddock.

Continue reading

0

The Happiest and Luckiest Girl in The World

Terinspirasi dari… baca dulu deh hahaha

 

If you can make a woman laugh, you can make her do anything. Marilyn Monroe

 

Rumah sakit, tempat yang selalu aku kunjungi hampir separuh dari hidupku. Tetapi, aku bahagia. Atau mungkin, aku adalah gadis paling bahagia dan beruntung di dunia ini.

Aku bersyukur, di umurku yang ke-18, aku masih bisa menemani mereka semua. Semua orang-orang yang aku sayangi. Aku bersedia menukar hidupku hanya untuk mereka. Aku terlalu banyak membuat mereka sedih karena keadaanku. Aku memutuskan akan selalu tersenyum meski kondisiku sangat menyiksa. Apa yang harus aku lakukan selain melawannya?

Aku sudah divonis tidak akan bertahan selama satu bulan lagi, itu kata dokter satu tahun lalu. Tak disangka bukan? Aku memang gadis paling bahagia dan beruntung di dunia ini.

Perasaanku sekarang? Hmm, menyakitkan. Sakit sekali. Tetapi mereka tidak pernah meninggalkanku. Mereka selalu menemani hari-hariku. Ya, mereka tidak akan melewatkan satu hari tanpa kenangan yang indah untukku.

Papa dan Mama, sosok yang paling berharga untukku. Mereka menghabiskan uang mereka untuk anak gadisnya. Kadang tak tega aku melihat mereka mengunjungiku dengan muka yang lesu dan letih, membanting tulang untuk diriku yang lemah ini. Aku memilih untuk tersenyum kepada mereka. Mengapa? Aku ingin mereka pulang dan melihat senyumku, bukan tangisanku. Iya ‘kan?

Satu lagi, orang yang paling aku sayangi, kekasihku. Iya tak berhenti memanggilku ‘sayang’ setiap hari. Ketika pulang sekolah, tanpa pulang ke rumah, ia langsung mengunjungiku. Setiap hari Senin, ia selalu membawakanku setangkai bunga mawar putih, kesukaanku. Tak heran di kamar rumah sakitku penuh sekali bunga mawar. Dan ia sudah melakukannya selama dua tahun ini.

Suatu hari, ia datang ke kamarku dengan kejutan yang tidak akan pernah kuduga.

“Hai, baby!” ucapnya senang sambil membawa mawar mingguannya itu.

Aku terdiam melihat kepalanya. Plontos, tak bersisa, sama sepertiku…

“Apa yang kamu lakukan kepada rambut yang selalu membuatmu tampan itu?” tanyaku lembut.

Ia memasukkan tangkai mawar itu ke vas di sebelah kasurku, lalu duduk di kasurku. “Aku mau sama sepertimu, Sayang.”

“Kau tidak perlu melakukan ini,” kataku sambil mengusap pipinya.

“Maafkan aku, aku terlalu mencintaimu. Aku rela menukar posisiku sekarang untukmu, kau tidak pantas menerima semua ini,” ucapnya lirih.

“Jangan membuatku menangis di depanmu. Kau sudah memberikan semua yang kau punya kepadaku. Di saat kau bisa memberikan hatimu kepada gadis-gadis lain di luar sana, kau memberikan hatimu padaku.”

Ia memegang tanganku yang masih menempel di pipinya. “Aku memilihmu. Ini sudah keputusanku. Aku terlalu mencintaimu,” katanya lembut.

Ia mengeluarkan ponselnya, “Kita belum membuat kenangan kita hari ini.” Ia membuka aplikasi kamera lalu ia mengambil foto kami berdua menggunakan kamera depan.

Seperti biasa, ia meng-upload-nya ke Instagram. Ia membuat akun Instagram khusus untukku. Semua isinya adalah foto-foto bersamaku, kegiatanku, semua kenanganku bersamanya ada disana. Ia membuat semua kenangan untukku apapun itu caranya. Aku tahu kepedihan hatinya, kekhawatirannya akan kepergianku. Terpancar jelas di wajahnya yang tampan itu. Wajah pangeran kecilku hingga sekarang, ia tetap pangeran kecilku.

Ia mengecup dahiku dan berkata, “Aku tidak akan berhenti mencintaimu.”

Ini dia hal yang paling aku tunggu-tunggu darinya, ia selalu mengucapkan itu setiap hari.

“Aku juga,” aku memeluknya erat. “Kau tetap tampan tanpa rambut, aku sangat heran.”

“Dan kau tetap cantik, setiap hari, tak ada yang bisa mengalahkannya.” Ia mengencangkan lagi pelukannya.

Aku tidak menyangka ia akan mencintaiku sedalam ini. Dulu waktu masih kecil, ia hanya bocah kecil yang lugu, sering di-bully oleh teman-temannya karena tubuhnya lebih kecil dari pada anak sepantarannya. Aku selalu menyelamatkannya dari teman-temannya yang nakal itu. Tapi tak disangka, ia tumbuh bak seorang pragawan. Dia juga yang selalu menyelamatkanku dari ejekan orang lain karena kepalaku yang sudah tidak mempunyai sehelai rambut pun.

“Kau tahu? Aku masih tidak percaya kau melakukan ini padaku,” aku membelai lembut kepalanya yang sudah plontos.

“Tugasku itu membahagiakanmu. Apapun aku lakukan, hanya untukmu,” jawabnya lembut.

“Bagaimana jika aku tidak bisa bertahan?” aku menatapnya.

“Apa yang kau bicarakan? Kau akan bertahan selamanya, ingat itu, se-la-ma-nya,” ia menunjukkan senyumnya yang membuat puluhan gadis akan jatuh pingsan.

“Jika aku pergi, apa yang akan kau lakukan?” aku bertanya dengan serius.

“Sudahlah, jangan menanyakan yang tidak-tidak. Aku mohon. Kau menyiksaku setiap kali kau bertanya seperti itu,” katanya tertunduk.

“Aku minta maaf,” aku menggenggam tangannya. “Aku hidup bergantung padamu…”

“Akulah yang bergantung padamu, aku tidak tahu apa jadinya hidupku tanpamu,” sejenak ia menelan ludahnya. “Aku pernah kehilangan orang yang aku sayangi, aku tidak mau terjadi lagi kali ini. Kau mengerti?”

Mataku sudah berkaca-kaca mendengarnya berbicara, aku tak sanggup meninggalkannya, batinku.

“Besok, maukah kau mengantarku ke suatu tempat? Aku yakin kau pasti menyukainya,” pintaku sambil menahan air mataku.

“Baiklah, apakah kita belum pernah ke sana?”

“Kau belum, aku sudah bersama Papa dan Mama. Tempatnya tidak jauh dari sini,” aku mengusap pipinya lagi. “Pulanglah, aku tahu kau capek sekali, lihat lingkaran matamu ini,” aku menyentuh lingkaran matanya, “aku sangat suka matamu, bagaimana aku bisa membiarkan lingkaran jelek itu melingkar di bawah sana?” senyumku.

“Aku akan kembali besok,” ia mencium keningku lalu bibirku.

My first, and last kiss.

Keesokan harinya ia mengantarku pergi ke tempat yang ingin kudatangi.

“Indah bukan?” aku menoleh menatap wajahnya.

“Sangat indah, kenapa kau tidak pernah mengajakku kesini?” katanya sambil mendorong kursi rodaku. Ia berhenti lalu berjongkok di depan kursi rodaku.

“Aku ingin tidur di tempat ini. Maukah kau menemaniku?”

“Aku akan menemanimu sampai kapanpun. Tidurlah, Sayang.”

Aku melepaskan semua rasa sakitku, semua kepedihanku di tempat ini. Semuanya seketika menghilang dari badanku, sesaat setelahku memejamkan mata. Aku masih bisa merasakan sedikit angin yang membelai lembut kulitku, tetapi tiba-tiba menghilang.

Ya, aku sudah pergi. Aku bisa melihat diriku dari atas sini, dan juga pangeran kecilku.

“Tidurlah, Sayang,” ia menggenggam pergelangan tanganku yang nadinya sudah tak berdenyut lagi. “Sudah tidak sakit, ‘kan?” ia bertanya sambil menangis. “Selamat jalan, Sayangku. Kau segalanya bagiku.” Lalu ia membenamkan wajahnya ke lututku.

Benar bukan? Aku gadis paling bahagia dan beruntung di dunia ini.

 

Okay, cerita ini terinspirasi dari Tumblr. Aku ketemu post yang nunjukin foto seorang gadis dan pacarnya, tetapi mereka sama-sama botak. Gak nyangka, si pacar gadis itu rela botakin rambutnya demi sama kayak gadis itu, yang menderita kanker. Aku udah coba cari post-nya lagi tapi gak ketemu, entah udah tenggelem kemana soalnya udah lama banget. 

For boys, do anything for your girl ya! ❤

 

 

0

FF: I Don’t Have to Choose #3

Sorry lagi nih telat nge-post nya! Tapi tenang aja, di laptopku udah sampai part 5 kok. So enjoy this!! 

idhc 3

Love is like the wind, you can’t see it but you can feel it. ─Nicholas Sparks, A Walk to Remember.

Ellen’s POV

Alarm handphone-ku berdering pada jam 6 tepat pagi hari waktu setempat. Aku terbiasa bangun pagi meskipun hari libur ataupun bukan. Tetapi karena ini hari pertamaku bertugas jadi aku sangat bersemangat kali ini. Aku bangun menuju ke arah balkon kamarku. Udara segar yang berbeda ini menyapu kulitku untuk pertama kalinya. Aku memutuskan berganti baju untuk ber-jogging sebentar di sekitar hotel yang ternyata memang ada jalur untuk jogging.

“Pagi!” seseorang menyambutku dari belakang.

“Kenapa kau selalu mengagetkanku?” omelku pada Marc.

“Hey, ini masih pagi. Jangan ngomel kenapa?” balasnya sambil memasang tampang cemberut yang menurutku sangat lucu.

“Mana Alex?”

“Alex siapa? Si tukang tidur itu?” jawab Marc dengan tampang tidak peduli. “Dia tidak akan bangun jam segini, percayalah.”

“Mengapa? Memangnya dia tidak suka berolahraga?” tanyaku heran.

“Kau tidak lihat sendiri? Aku lebih berotot darinya, dia kerempeng seperti anak tak berdaya,” celanya.

Aku mendengus pada Marc. “Setidaknya dia lebih tinggi darimu.”

“Tapi aku lebih tampan dari pada dia!” seru Marc sambil tertawa.

Aku hanya tersenyum. Benar juga sih, pikirku.

Setelah jogging aku kembali ke kamarku begitu juga Marc. Ia mengikutiku terus selama jogging tadi. Agak risih memang, dia seperti buntutku, tetapi ada perasaan senang yang menyelimuti hatiku. Aku bergegas mandi lalu bersiap-siap untuk sarapan bersama para kru.

Saat aku keluar dari kamar, Alex juga keluar dari kamarnya.

“Selamat pagi,” katanya sambil berjalan di sampingku.

“Pagi juga,” sapaku lembut. Tak menyangka memang, kakak-beradik yang aku kagumi menyapaku pagi ini. Dan apakah akan setiap hari?

“Kau terlihat segar sekali,” kata Alex santai.

“Iya, mungkin efek jogging tadi pagi.”

“Benarkah? Kenapa kau tidak mengajakku?” balasnya dengan nada suara pura-pura ngambek.

“Kata Marc kau ini si tukang tidur, jadi aku tidak tega mengajakmu bangun pagi,” kataku sambil tertawa kecil.

 

Alex’ POV

Apa? Ia jogging bersama Marc tadi pagi? Pantas saja bocah tengik itu terlihat sangat senang. Kurang ajar, apakah dia mau menantangku?

Continue reading

6

FF: I Don’t Have to Choose #2

Tadinya mau nge-post kemaren-kemaren tapi tiba-tiba gak enak badan nih. Hahaha. Ini part 2-nya, enjoy ya guys! ditunggu lagi komen-komennya. Makasih!! 😀

idhc 2

Love is the flower you’ve got to let grow. ─John Lennon, The Beatles.

 

“Wah, ternyata ini anak baru di timku? Kau cantik juga,” goda Marc.

“Dasar genit,” kata Alex sambil mendengus kepada Marc.

Marc tidak memedulikan dengusan adiknya itu, “Siapa namamu?” tanyanya. Ia mengulurkan tangannya kepadaku.

“Ellen Valdez,” kataku menyambut tangan Marc yang terulur. Setelah itu aku berusaha menyembunyikan tanganku yang bergetar akibat berjabat tangan dengan Marc. Tetapi Alex menyadarinya…

“Kau kenapa? Sakit?” Alex menempelkan telapak tangannya ke dahiku, “Tidak kenapa-kenapa, ah.”

Ada apa dengan dua bocah ini? Sepertinya mereka memang suka menggoda wanita.

Aku menyingkirkan tangan Alex dari dahiku, “Aku tidak apa-apa, kok.”

Alex terdiam sebentar, melihat Marc masuk ke kamarnya lagi lalu langsung berkata kepadaku, “Oh, aku tahu, kau terjerat pesona kakakku. Iya ‘kan?”

“Ah, ti─tidak,” kataku terbata-bata.

“Sudahlah, akui saja. Aku sarankan kau berhati-hati padanya.”

***

            “Barang-barangmu mana? Sini aku bawa, aku akan ke tempat check-in,” tawar Alex.

Aku langsung menyerahkan koperku pada Alex.

“Hanya ini?” tanya Alex heran.

“I─iya,” aku jadi ikutan heran. “Memang kenapa?”

“Kau yakin hanya bawa satu koper?”

“Iya, benar kok.”

“Hebat sekali, biasanya wanita keperluannya banyak,” lalu ia mengangkat koperku, “Bahkan sangat ringan, kau bawa apa saja, sih?”

“Aku mau bekerja Alex, bukan mau berpesta atau liburan. Sudahlah cepat check-in, beberapa kru sudah ada di ruang tunggu.”

Alex mengangguk lalu aku mencari-cari keberadaan Marc. “Dimana sih dia?” gumamku. Aku kesulitan mencarinya karena ia memakai snapback juga kacamata hitam agar dia tidak diserang oleh gadis-gadis yang menemuinya di bandara.

“Mau donat?” Marc muncul dari belakangku yang membuatku mengira dia pencopet atau sejenisnya.

Continue reading

6

FF: I Don’t Have to Choose #1

idhc 1

“We accept the love we think we deserve.”  Stephen ChboskyThe Perks of Being a Wallflower

Ellen’s  POV

Udara pagi di dalam lingkungan universitas ini sungguh asri dan menyenangkan. Betapa beruntungnya aku, seorang wanita, bisa masuk ke universitas yang didominasi oleh kaum adam ini. Ya, Repsol Academy, adalah universitas yang membina semua hal tentang teknik, terutama teknik untuk alat transportasi. Bagaimana bisa aku masuk? Ini perjuangan yang lumayan melelahkan setelah ditentang oleh ayahku yang katanya bukan kodratku untuk menjadi seorang mekanik. Melelahkan memang berdebat dengannya, tapi aku telah mengirim berkas-berkas prestasiku ke Repsol Academy secara diam-diam dan akhirnya, aku mendapat beasiswa berkuliah disini.

            Lebih menyenangkannya lagi adalah, aku diwisuda hari ini! Akhirnya aku bisa membuktikan kepada ayahku kalau inilah bidangku.

            “Selamat ya, Sayang, Papa minta maaf pernah meragukanmu,” kata Papa sembari memelukku erat.

            “Iya tidak apa-apa, Pa. Yang penting sekarang aku bisa lulus dan lihat nilaiku, Pa! Sempurna!” Kemudian aku mencium pipi Papa dengan penuh kegembiraan. “Lihat nih, Ma! Ellen bisa ‘kan?” aku berteriak sambil menengadah ke atas langit, berharap Mama ikut senang disana.

            Mamaku meninggal dua tahun lalu akibat leukemia, aku sangat sedih pada waktu itu dan nilaiku sempat menurun. Tetapi demi cita-cita aku berhasil bangkit.

            Tiba-tiba Kepala Repsol Academy kembali berdiri diatas panggung dengan tergesa-gesa, “Maaf saya mengganggu waktu selebrasi anda semua. Saya mempunyai satu pengumuman penting. Kepada Ellen Demetria Valdez, dimanakah anda?”

            Aku mengacungkan tangan sambil berteriak, “Disini, Pak!”

            Beliau mengarahkan pandangannya kepadaku sejenak lalu berkata, “Selamat, Nak! Kamu dipromosikan oleh Repsol Academy untuk bekerja bersama Racing Team MotoGP kami, yaitu Repsol Honda Team. Kamu akan berada di kandang Marc Marquez musim ini.”

Continue reading