2

Manhattan, You #3

Hello my lovely readers!! Jangan pukulin aku ya karena baru nongol lagi wuahahaha maafin loh soalnya semester kemarin ini aku suuuupeeerrrrr dupeeeerrrrrr banyak tugas yang astaganaga amit amit naujubilehhhhhhh banyaknya alias laporan-laporan lab ku yg sungguh melelahkan dan menyita waktu. Thank God, LULUS! Jadi ga perlu ulang deh bikin kayak begituan lagi ahahah. By the way, aku ngelanjutin Manhattan, You dulu ya soalnya file yang lain-lain entah kemana. Bahkan The Genius One pun terancam ga lanjut karena filenya ada di laptopku yg rusak 😦 

Semoga kalian enjoy, ya. Aku lagi ga banyak inspirasi nih so sorryyyyy! Yang lupa cerita yang kemaren bisa baca post sebelum ini, ya! Thanks! 

3

Have you ever been in love? Horrible isn’t it? It makes you so vulnerable. It opens your chest and it opens up your heart and it means that someone can get inside you and mess you up.
Neil Gaiman, The Sandman, Vol. 9: The Kindly Ones

 

 

“Bagaimana kabarmu, Emma?” tanya Julie.

“Ya, sungguh baik. Bekerja di Gedung Putih sangat melelahkan, kau tahu,” jawab Emma. “Kau?”

“Aku juga baik, hmm, tetapi tidak juga,” Julie mendadak murung.

“Oh? Ada apa?” tanya Emma bingung.

“Ini tentang Clarissa.”

Emma terdiam. Emma sangat membenci Clarissa sejak kejadian pesta perpisahan yang diceritakan sahabatnya itu. Padahal dulu Emma, Clarissa dan Julie adalah tiga sekawan yang tak bisa dipisahkan waktu mereka SMA. Apalagi Emma melanjutkan sekolahnya di University of Yale—mengambil Ilmu Politik—yang menyita waktunya untuk bertemu dengan Julie. Sekarang ia bekerja di Gedung Putih, melihat Presiden adalah kesehariannya.

“Apalagi yang ia perbuat padamu?” tanya Emma dingin.

“Ia sudah punya anak,” jawab Julie datar.

“Wow,” Emma menyesap greentea latte-nya, “Sudah terbukti kalau dia memang wanita jalang, bukan?”

“Kau sangat membencinya, padahal aku yang mengalaminya,” tawa Julie pelan.

“Oh, ayolah, aku menyayangimu, Julie,” katanya sambil mengenggam tangan Julie. “Aku tak bisa memaafkan perbuatannya padamu. Dia bersalah.”

“Baiklah, baiklah, jangan keluarkan ilmu politikmu di sini, oke?” kata Julie sambil tertawa.

“Tentu, aku tahu kau sudah muak dengan pekerjaanku, aku juga muak,” canda Emma. “Kau sudah menemukan tambatan hati baru?”

“Hmm, sudah.”

“Benarkah?”

“Ya…”

“Tetapi?” tanya Emma penasaran.

“Dia adalah kakak tiri Clarissa,” jawab Julie pelan.

Ekspresi wajah Emma berubah muram lagi. “Kau mau menjadi saudari ipar Clarissa?” Hmm??”

“Aku juga baru tahu kemarin, Em.”

Tiba-tiba ponsel Emma berdering. “Wait a sec,” katanya sambil mengacungkan jari telunjuknya.

Julie mengacungkan jempolnya. Dasar political nerds, tawa Julie dalam hati.

“Ya, baiklah… Oke aku akan segera ke sana… Sabarlah, aku tidak hidup hanya untuk itu… Aku tahu semua kacau… Baiklah… Tentu akan aku lakukan, Fred.”

Julie memutar bola matanya.

“Maaf soal itu,” kata Emma. “Aku pusing dengan politik yang tak stabil ini. Orang-orang begitu egois.”

“Aku tahu kau sangat sibuk, kita bisa berbincang lain kali,” kata Julie lembut.

“Baiklah, aku sangat minta maaf, Julie.”

“Tak apa, Em.”

“Apa kau tahu? Orang yang tadi aku telepon adalah juru bicara presiden termuda. And he is pretty hot, you must know that.”

Well, I’ll give it to you, Lady.”

Emma memasang senyum manisnya, memeluk Julie lalu bergegas pergi.

***

Scott meletakkan bouquet bunga mawar putih di atas batu nisan yang bertuliskan nama “Jeanine Hayley Roberts”. Ia mencabut beberapa rumput liar yang mengganggu makam tersebut.

“Hai, Jean,” kata lelaki itu.

Di atas makam itu juga terdapat foto wanita yang persis dengan foto wanita yang ditempel Scott di dinding ruang kerjanya.

“Kemarin Julie sudah melihat fotomu dan aku sepertinya bersikap sedikit dingin padanya. Maafkan aku, ya.”

“Aku benar-benar menyukainya,” lanjut Scott. “Dia sepertimu, tetapi tidak… Dia agak berbeda. Aku suka dia.”

“Terima kasih,” kata Scott pelan lalu meninggalkan makam itu.

***

“Hai, Julie,” sapa Scott.

“Hmm, hai,” jawab Julie sambil membereskan buku-bukunya.

“Aku minta maaf soal kemarin.”

Julie bingung. “Kau tidak salah apa-apa padaku. Mengapa minta maaf?”

“Kemarin aku bersikap tak pantas padamu,” jawab Scott.

“Oh, ya ampun. Harusnya aku yang meminta maaf. Itu privasimu, Scott.”

Scott mengambil salah satu kursi di ruangan kelas tersebut lalu duduk di atasnya, menghadap ke arah Julie. Julie bersandar di meja kelas itu.

“Wanita itu adalah pacarku.”

Julie tersentak ke belakang hingga meja yang ia sandar terdorong sedikit ke belakang, tetapi mulutnya tetap terkatup diam.

“Dulu,” lanjut Scott. “Dia sangat pintar dan cantik.”

“Ya, aku melihat betapa cantiknya dia di foto itu.”

“Aku tidak tahu mengapa ia sangat pintar. Meraih cum laude Sarjana Teknik di Harvard, kau tahu? Dia adalah seorang wanita,” Scott tersenyum membayangkan. “Tetapi ia pergi meninggalkanku karena pekerjaan sampahnya itu.”

“Dia mengalami kecelakaan kerja?” tanya Julie perlahan.

“Ia bekerja di salah satu perusahaan perminyakan dan ia terjatuh…,” air mata Scott mulai turun ke pipinya.

“Sudah, sudah,” Julie berlutut di hadapan bangku Scott, “Kau tidak perlu melanjutkan lagi, aku tahu rasanya ditinggalkan seseorang.”

Julie mengusap air mata Scott, “Itu semua masa lalu, kita harus merelakannya dan merangkai masa depan.”

Scott menatap Julie, “Aku ingin merangkainya bersamamu.”

Continue reading

2

Manhattan, You #2

Part 2!! Enjoy yaaaaa hahaha sambil curhat dikit, gak curhat sih sbenernya, cuma lagi kesengsem aja nih ama novel Fifty Shades the series. Yak, memang itu novel agak-agak…. Hmm, yaaaa, kalo di bawah umur 18 jangan baca lah yaw wkwk but sbenernya novel itu jika tanpa adegan2 “begitu-begitu”-nya, actually it’s kinda good and soooooo romantic. Sekarang lagi baca buku yang kedua yaitu Fifty Shades Darker, buku pertama itu Fifty Shades of Grey, dan yang ketiga Fifty Shades Freed. Gak begitu suka sama buku pertama karena, as you know yang udah nonton filmnya, itu sama persis. Di buku kedua ini udah mulai luar biasa romantis si Christian Grey, dia si makhluk paling sempurna dalam novel ini hahaha karena bukunya ga keluar di indonesia, jadi aku berhasil nemuin pdf berbahasa indonesia di google. Aku tidak mau menjerumuskan kalian so aku gakmau naro linknya disini. Ask me if you wanna know lewat twitter aja: @felpercy karena ask.fm dan facebook ku udah ga begitu aktif dan jangan lupa konfirmasi umur. I will share anything but I know the limits. This is just my book recommendations. 

So, selamat membaca! —–> membaca yang di bawah ini maksudnya hahaha bukan fifty shades :p 

2

Clarissa menatap lembut buah hati kecilnya yang sedang tidur terlelap. Tak terasa begitu cepat anaknya tumbuh besar dan sudah menginjak umur 5 tahun.

“Aku berharap ayahmu mau mengakuimu, Nak,” bisik wanita itu lirih.

Memori lima tahun lalu selalu terngiang-ngiang dalam benaknya. Entah bagaimana ia begitu bodohnya memercayai Edward yang meninggalkannya begitu saja setelah tahu bahwa dirinya hamil. Ketika bagaimana Clarissa mencoba untuk membunuh janin dalam rahimnya, bingung ketika ia harus memberitahu kedua orang tuanya bahwa ia hamil.

“Belakangan ini makanmu banyak, Sayang,” kata Renee, ibu Clarissa.

Clarissa agak panik, “Tidak apa-apa, Mom. Aku hanya ingin makan banyak saja, kau tahu aku ini kurus, bukan?”

“Tapi kau juga mulai terlihat gemuk,” celetuk Wayne, ayah tiri Clarissa.

“Iyakah? Aku tidak yakin, Wayne,” jawab Clarissa ragu-ragu.

“Mungkin perasaanku saja,” kata Wayne sambil tertawa.

Tiba-tiba Clarissa merasa mual lalu langsung berlari ke toilet dengan sangat panik. Karena khawatir, Renee mengikuti anaknya itu.

“Kau ini kenapa? Kau bertingkah sangat aneh belakangan ini,” ucap Renee.

Clarissa menangis lalu memeluk ibunya.

“Aku minta maaf, Mom. Aku sangat minta maaf, aku tidak tahu mengapa ini bisa terjadi padaku. Aku minta maaf…” Clarissa kini memeluk kedua kaki ibunya.

Renee hanya bisa terdiam, terpaku mendengar pernyataan putri semata wayangnya itu.

“Aku mencoba membunuhnya, tapi aku tidak bisa, Mom.”

Renee terbangun dari lamunannya lalu mengangkat putrinya bangun, “Tidak, tidak, tidak. Kau tidak boleh membunuhnya, Sayang. Ingat, Tuhan tidak mengizinkan kita untuk membunuh,” Renee mengusap air mata Clarissa.

“Baiklah aku marah, aku kaget mendengar putriku seperti ini. Tapi tetap saja yang ada di rahimmu ini adalah hadiah dari Tuhan, kau mengerti?” lanjutnya.

“Baik, Mom. Aku akan menjaganya baik-baik.”

“Mom akan coba memberitahu Wayne, dia bukan tipe laki-laki pemarah, kau tahu?” kata Renee sambil tersenyum.

Enam bulan setelah insiden memberitahu ibunya itu, Clarissa melahirkan anak perempuannya yang ia beri nama Eleanor Young. Young adalah nama belakang ayah kandung Clarissa.

Seorang laki-laki masuk ke kamar Clarissa, “Dia sudah tidur?” tanya lelaki itu.

“Sudah, Scott,” kata Clarissa. “Kau pulang ke rumah hari ini?”

“Ya, besok aku tidak ada jadwal mengajar,” kata Scott sambil melepas dasinya. “Elle besok libur, ‘kan? Aku ingin mengajaknya jalan-jalan.”

“Kau baik sekali, padahal dulu kau membenciku dan Eleanor,” sindir Clarissa.

“Aku membencimu setelah menemukan test pack dalam tong sampah kamar mandimu, lalu kembali menyayangimu setelah kau melahirkan Elle.”

“Kenapa bisa begitu, Tuan Redding?”

“Melihat perjuanganmu merawat Elle saat masih dalam kandungan? Itu cukup membuatku tak benci padamu lagi.”

“Sebenci-bencinya kau padaku, kau tetap selalu di sampingku ketika aku butuh bantuan. Terutama saat aku mengidam.”

“Kau mengidam bunga mawar putih di malam hari, bagus sekali Clary. Aku ini kakakmu bukan suamimu,” kata Scott sambil tertawa.

“Hei, sekarang kau lihat sendiri betapa cantiknya Elle seperti mawar putih itu,” balas Clarissa.

“Ya sudah, kau tidurlah. Besok aku akan menjaga Elle. Selamat malam,” Scott langsung keluar dari kamar Clarissa.

Clarissa sangat senang mempunyai kakak tiri seperti Scott. Meskipun dulu dia membenci Clarissa, tetapi tak bisa dipungkiri kalau lelaki itu adalah tipe yang sangat penyayang. Terkadang Clarissa berharap Scott bisa menjadi suaminya, tetapi ya… Tuhan berkehendak lain.

***

Scott membawa Eleanor si gadis kecil kesayangan Clarissa ke Central Park. Meskipun hari Kamis, tetapi Central Park selalu dipenuhi orang-orang yang berpiknik, olah raga, bersantai, dan lain-lain.

“Uncle Scott, lihat ada cotton candy! Elle mau, Uncle…” rengek Eleanor.

“Baiklah, tapi kali ini saja, ya. Jangan bilang Mommy kalau kau membeli cotton candy, nanti dia marah. Okay?” kata Scott lembut.

Eleanor mengacungkan ibu jari mungilnya, “Okay, Uncle!” serunya.

Di sisi lain taman besar yang berada di tengah-tengah Manhattan itu, ternyata Julie sedang lari pagi di sana. Tubuhnya sudah dibanjiri keringat karena ia sudah berlari dari pagi-pagi sekali.

Saat hendak membeli minuman, Julie melihat seorang anak kecil duduk di bangku taman sendirian. Karena khawatir, Julie memutuskan untuk menghampiri anak itu.

“Hai, apa kau tersesat?” tanya Julie sambil tersenyum.

Anak itu agak terkejut karena Julie tiba-tiba duduk di sebelahnya lalu mengajaknya bicara. “Tidak, Auntie. Aku sedang menunggu Uncle-ku membelikanku cotton candy.”

Lucu sekali anak ini, pikir Julie. “Wah, kau berani sekali menunggu sendirian. Siapa namamu?”

“Namaku Eleanor Young,” kata Eleanor dengan muka polos khas anak-anak. Begitu menggemaskan.

Young? Julie sedikit tersentak mendengar nama keluarga Young. Wajah gadis kecil ini juga mengingatkannya pada Clarissa yang mempunyai nama keluarga yang sama dengan anak ini. Tetapi mungkinkah ini anak Clarissa? batinnya. Tetapi Julie langsung menepis jauh-jauh pikirannya itu. Di dunia ini yang mempunyai nama keluarga Young banyak, bukan?

“Bagus sekali namamu…”

“Nah ini dia,” Scott tiba-tiba datang lalu memberikan cotton candy pada keponakannya itu.

“Scott?” panggil Julie.

“Julie?” Scott terkejut lalu tersenyum, “Apa yang kau lakukan di sini?”

“Jadi kau Uncle-nya gadis kecil lucu ini?” tanya Julie yang gemas melihat Eleanor langsung melahap cotton candy-nya.

“Uncle kenal Auntie ini?” tanya Eleanor yang mulutnya belepotan gula.

“Iya, Sayang. Ini Auntie Julie. Dia adalah teman kerja Uncle,” kata Scott.

“Salam kenal ya, Auntie,” kata Eleanor sambil mengulurkan tangannya yang sedikit lengket karena cotton candy-nya.

“Salam kenal juga, Eleanor,” Julie menyambut tangan mungil Eleanor.

Karena Eleanor terus menempel pada Julie, wanita itu memutuskan mengajak anak kecil dan pamannya itu menemaninya berbelanja.

Julie sedang melihat-lihat sayuran lalu di sebelahnya ada seorang wanita bertanya, “Permisi, apa kau tahu di mana rak bumbu-bumbu dapur?”

Julie melihat wajah wanita itu lalu diam terpaku, begitu juga wanita itu.

“Cla—Clarissa?”

Continue reading

5

Manhattan, You #1

Hello semua! Jangan pada marah ya kalau aku baru nongol! hahahah maaf nih tugas banyak banget dan bikin aku stress makanya ampe ga sanggup buat nulis. Ampe mau berjamur dan penuh sarang laba-laba di blog ini, jadi basi banget hahaha ini cerita aja juga ga sengaja kebikin dan ternyata keasikan bikinnya hahaha. Mengambil latar kota Manhattan kali ini. Kenapa ya? Hmm… Gak tahu juga deh ini inspirasi dari mana gak ngerti! 

Dan untuk the genius one, teriman kasih responnya karena kalian sangat luar biasa hahaha, semoga banget nih aku bisa ngelanjutin tapi ga janji. Soalnya udah buntu bgt sama cerita itu daaaannnnn kelanjutan ceritanya ternyata nge stuck di laptopku yang rusak wuahahahaha luarrrr biasa. 

Terus buat Pasteleria juga masih lanjut so don’t worry but ceritanya ada di laptop papiku! hahahaha entah deh nulisnya amburadul dan ada dimana mana hahahaha sekarang aku sudah punya laptop baru. Nanti akan kupindahin kelanjutan pasteleria ke laptopku kalau aku bertemu dengan laptop papiku hahahaha spoiler dikit deh biar seneng, pasteleria selanjutnya aku ambil kue Brownies si kue coklat favoritku hehehe gak fix sih, tapi semoga fix *plin plan bgt* 

Oke deh, tanpa berlama-lama curcolnya, happy reading! jangan lupa komen2 ya. Tapi jangan marah2 ya sama aku :p hahahaha lope lope buat kalian semua…………..

1

Seperti biasa, Julie, yang setiap pagi harus melintasi jalanan-jalanan Manhattan yang macet untuk pergi bekerja. Ia bersyukur selalu minum kopi karena jika tidak, mungkin ia sudah tertidur di mobil selama kemacetan berlangsung. Tak lupa ia selalu mengaktifkan mode silent pada ponselnya karena tak henti-hentinya nomor-nomor berbeda menelponnya setiap hari.

Julie menganggap dirinya adalah orang paling berantakan saat pergi bekerja. Ia selalu kesiangan dan tak sempat mendandani dirinya sendiri. Paling sempat yang ia lakukan biasanya hanya menyisir atau mengikat rambutnya dengan gaya pony tail. Tetapi Julie bingung kenapa semua orang masih sempat-sempatnya memanggilnya “Hai, Cantik” di tempat kerja.

Sesudah memarkirkan mobil Ford Fiesta merahnya di parkiran tempat kerjanya, Julie langsung berlari menuju toilet untuk benar-benar merapikan dirinya. Rambut cokelat gelapnya diikat pony tail, memakai kacamata minus-nya lalu merapikan kemeja dan blazernya. Tak lupa ia memoles wajahnya dengan bedak dan lipstik berwarna tak jauh dari warna asli bibirnya.

Julie menyusuri koridor tempat kerjanya menuju ruangannya yang terbagi-bagi dengan karyawan lainnya. Wanita itu menatap meja kerjanya yang penuh dengan kertas-kertas ujian yang berlogo “Juilliard School” di atasnya.

“Kau terlihat segar, Julie,” kata Edward.

“Kau sangat menghiburku…” Julie menatap name tag lelaki itu, “… Edward Sheeran.”

“Caramu menatap name tag-ku selalu garang, Julie. Sampai kapan kita akan selalu begini?”

“Ayolah, Ed, jadilah profesional. Aku tidak suka murid-murid mengetahui lebih tentang kehidupan kita. Kita tidak perlu menunjukkannya kepada mereka. Berhentilah bercerita kepada mereka seolah-olah kau sangat menginginkanku.”

“Baiklah, Miss Julissa Collins,” lalu Ed menatap meja kerja Julie, “Apa kau butuh bantuan untuk menyelesaikan itu?”

“Tidak usah, aku akan menyelesaikannya nanti,” tolak Julie.

“Oke. Aku hanya ingin bilang aku sangat merindukan kita yang dulu.” Ed langsung meninggalkan ruang kerja.

Julie masih terduduk diam memikirkan hubungannya dengan Ed. Ia putus dengan lelaki itu setelah pesta kelulusannya dari Juilliard School bergelar Bachelor of Music—sama seperti Ed—beberapa tahun lalu. Tetapi lelaki itu masih sangat mengharapkannya setelah ia mencium Clarissa, teman baik Julie. Setelah insiden ciuman itu, Clarissa menghilang entah kemana.

Julie mendapatkan tawaran menjadi dosen di Juilliard karena kemahirannya mengajar piano para juniornya pada masa itu. Tak hanya itu, Julie juga menciptakan beberapa lagu yang ia promosikan lewat Youtube. Beberapa ada yang ia nyanyikan sendiri, ada juga beberapa yang dinyanyikan oleh beberapa muridnya yang bersuara emas. Setahun setelah Julie menjadi dosen, Ed tiba-tiba menjadi dosen juga di Juilliard. Tak jauh berbeda dengan Julie, Edward mengandalkan gitar sebagai pendamping dirinya saat menciptakan lagu. Pria dan wanita ini pun menjadi dosen termuda di Juilliard.

Setelah makan siang, Julie menilai semua kertas ujian yang sudah menumpuk di atas meja kerjanya. Ia malas membawa kertas-kertas itu ke apartemennya karena berat dan tak ingin kertas-kertas itu menghambat dirinya saat menciptakan lagu.

Tiba-tiba seorang pria yang tak Julie kenal serta Pimpinan tertinggi Juilliard yaitu Mr. Joseph masuk ke dalam ruang kerja karyawan menuju sebuah ruang kerja kosong yang dulu ditempati Ma’am Perry karena mengundurkan diri.

“Selamat bekerja, Mr. Scott,” kata Mr. Joseph.

“Terima kasih,” kata lelaki itu.

Mungkin dosen baru, pikir Julie.

Karena ruang kerja sedang kosong, Julie memutuskan untuk menyapa lelaki tersebut.

“Permisi, kau dosen baru?” tanya Julie.

Lelaki itu terlihat sedang sibuk merapikan meja kerjanya lalu membalikkan badan, “Iya,” katanya sambil tersenyum tipis.

Dia masih muda dan tampan, batin Julie.

“Aku Scott Redding,” lelaki itu mengulurkan tangannya pada Julie.

Julie menyambutnya, “Aku Julissa Collins, senang bertemu denganmu.”

“Aku juga,” kata Scott. “Kau jadi dosen apa?”

“Aku memfokuskan dalam bidang piano. Bagaimana denganmu?” tanya Julie.

Well, aku mengajarkan dance di sini.”

“Pantas kau terlihat bugar dan atletis,” kata Julie sambil tertawa kecil.

“Ya, jika itu menurutmu, aku sangat berterima kasih,” balas Scott serta tersenyum lebar.

Oh, Tuhan. Tampan sekali dosen ini, puji Julie dalam hati. “Baiklah, aku mau menyelesaikan pekerjaanku dulu. Selamat datang di Juilliard.” Lalu Julie kembali ke meja kerjanya.

“Julissa!” panggil Scott.

“Ya?” Julie membalikkan badannya, “Kau bisa memanggilku Julie.”

“Hmm… Julie, kau ada di Youtube, ya?” tanya Scott ragu-ragu.

“Menurutmu?” Julie balik bertanya dengan muka jahil.

“Suara, lagu, dan permainan pianomu luar biasa,” puji lelaki itu.

“Jika itu menurutmu, aku sangat berterima kasih,” kata Julie sambil tersenyum lalu kembali melanjutkan perjalanannya menuju meja kerjanya.

Scott tersenyum kagum melihat Julie berjalan menuju meja kerjanya.

***

Setiap tahun Juilliard selalu mengadakan pentas drama musikal akbar yang menggabungkan murid-murid dari setiap peminatan, yaitu drama, musik dan tari. Semua scenario pun yang menyusun adalah para murid. Dosen memberikan saran jika diminta oleh para murid mereka, ikut membantu dan membimbing  proses mereka dalam membangun drama musikal ini. Meski terserah para murid, tetapi semua dalam drama ini dinilai ketat oleh para dosen bahkan beberapa sutradara atau produser secara diam-diam bisa duduk di suatu tempat saat pementasan berlangsung dan dapat menghubungi Mr. Joseph jika ada murid yang mereka minati.

“Tentu dulu kau selalu mengikuti pentas ini,” kata Scott pada Julie yang sedang memerhatikan murid-murid yang sedang bersiap-siap. “Tapi kenapa kau tidak ditawari oleh orang-orang misterius yang memakai kacamata hitam itu?” Yang dimaksud Scott adalah para sutradara dan produser itu.

Julie menatap Scott lalu menunjukkan ponselnya, layarnya menampilkan nomor tak dikenal sedang meneleponnya. “Kau lihat? Ini yang aku rasakan sejak pentas pertamaku di Juilliard hingga sekarang.”

“Itu sebabnya aku heran mengapa kau tidak ditawari kontrak oleh mereka. Sangat tidak mungkin. Kenapa kau tak menerima salah satunya?” tanya Scott.

“Aku hanya ingin menjadi orang biasa, Scott. Hobiku adalah bermusik, tetapi untuk menjadi seorang bintang, aku tidak siap menerima segala beban dan resiko. Tapi aku ingin murid-muridku bisa melebihi aku,” jelas Julie.

“Wow,” kata Scott singkat.

Julie tertawa kecil, “Tak perlu begitu kaget. Sebenarnya aku ini aneh, bukan? Tidak mau menjadi bintang setelah sekolah tinggi-tinggi dan mahal-mahal di Juilliard.”

“Kau tidak aneh. Aku menghargai keputusanmu itu. Menurutku itu hebat,” kata pria itu. “Bagaimana dengan Ed? Dia seangkatan denganmu juga, bukan? Apa prinsip hidupnya sama sepertimu?” Scott menyerbu Julie dengan pertanyaan-pertanyaannya.

“Tidak tahu, aku tidak mengerti. Dia menghilang selama setahun setelah lulus, lalu kembali lagi dan menjadi dosen. Aku tak tertarik dengan kehidupannya.”

Continue reading