Hello my lovely readers!! Jangan pukulin aku ya karena baru nongol lagi wuahahaha maafin loh soalnya semester kemarin ini aku suuuupeeerrrrr dupeeeerrrrrr banyak tugas yang astaganaga amit amit naujubilehhhhhhh banyaknya alias laporan-laporan lab ku yg sungguh melelahkan dan menyita waktu. Thank God, LULUS! Jadi ga perlu ulang deh bikin kayak begituan lagi ahahah. By the way, aku ngelanjutin Manhattan, You dulu ya soalnya file yang lain-lain entah kemana. Bahkan The Genius One pun terancam ga lanjut karena filenya ada di laptopku yg rusak 😦
Semoga kalian enjoy, ya. Aku lagi ga banyak inspirasi nih so sorryyyyy! Yang lupa cerita yang kemaren bisa baca post sebelum ini, ya! Thanks!
“Have you ever been in love? Horrible isn’t it? It makes you so vulnerable. It opens your chest and it opens up your heart and it means that someone can get inside you and mess you up.”
― Neil Gaiman, The Sandman, Vol. 9: The Kindly Ones
“Bagaimana kabarmu, Emma?” tanya Julie.
“Ya, sungguh baik. Bekerja di Gedung Putih sangat melelahkan, kau tahu,” jawab Emma. “Kau?”
“Aku juga baik, hmm, tetapi tidak juga,” Julie mendadak murung.
“Oh? Ada apa?” tanya Emma bingung.
“Ini tentang Clarissa.”
Emma terdiam. Emma sangat membenci Clarissa sejak kejadian pesta perpisahan yang diceritakan sahabatnya itu. Padahal dulu Emma, Clarissa dan Julie adalah tiga sekawan yang tak bisa dipisahkan waktu mereka SMA. Apalagi Emma melanjutkan sekolahnya di University of Yale—mengambil Ilmu Politik—yang menyita waktunya untuk bertemu dengan Julie. Sekarang ia bekerja di Gedung Putih, melihat Presiden adalah kesehariannya.
“Apalagi yang ia perbuat padamu?” tanya Emma dingin.
“Ia sudah punya anak,” jawab Julie datar.
“Wow,” Emma menyesap greentea latte-nya, “Sudah terbukti kalau dia memang wanita jalang, bukan?”
“Kau sangat membencinya, padahal aku yang mengalaminya,” tawa Julie pelan.
“Oh, ayolah, aku menyayangimu, Julie,” katanya sambil mengenggam tangan Julie. “Aku tak bisa memaafkan perbuatannya padamu. Dia bersalah.”
“Baiklah, baiklah, jangan keluarkan ilmu politikmu di sini, oke?” kata Julie sambil tertawa.
“Tentu, aku tahu kau sudah muak dengan pekerjaanku, aku juga muak,” canda Emma. “Kau sudah menemukan tambatan hati baru?”
“Hmm, sudah.”
“Benarkah?”
“Ya…”
“Tetapi?” tanya Emma penasaran.
“Dia adalah kakak tiri Clarissa,” jawab Julie pelan.
Ekspresi wajah Emma berubah muram lagi. “Kau mau menjadi saudari ipar Clarissa?” Hmm??”
“Aku juga baru tahu kemarin, Em.”
Tiba-tiba ponsel Emma berdering. “Wait a sec,” katanya sambil mengacungkan jari telunjuknya.
Julie mengacungkan jempolnya. Dasar political nerds, tawa Julie dalam hati.
“Ya, baiklah… Oke aku akan segera ke sana… Sabarlah, aku tidak hidup hanya untuk itu… Aku tahu semua kacau… Baiklah… Tentu akan aku lakukan, Fred.”
Julie memutar bola matanya.
“Maaf soal itu,” kata Emma. “Aku pusing dengan politik yang tak stabil ini. Orang-orang begitu egois.”
“Aku tahu kau sangat sibuk, kita bisa berbincang lain kali,” kata Julie lembut.
“Baiklah, aku sangat minta maaf, Julie.”
“Tak apa, Em.”
“Apa kau tahu? Orang yang tadi aku telepon adalah juru bicara presiden termuda. And he is pretty hot, you must know that.”
“Well, I’ll give it to you, Lady.”
Emma memasang senyum manisnya, memeluk Julie lalu bergegas pergi.
***
Scott meletakkan bouquet bunga mawar putih di atas batu nisan yang bertuliskan nama “Jeanine Hayley Roberts”. Ia mencabut beberapa rumput liar yang mengganggu makam tersebut.
“Hai, Jean,” kata lelaki itu.
Di atas makam itu juga terdapat foto wanita yang persis dengan foto wanita yang ditempel Scott di dinding ruang kerjanya.
“Kemarin Julie sudah melihat fotomu dan aku sepertinya bersikap sedikit dingin padanya. Maafkan aku, ya.”
“Aku benar-benar menyukainya,” lanjut Scott. “Dia sepertimu, tetapi tidak… Dia agak berbeda. Aku suka dia.”
“Terima kasih,” kata Scott pelan lalu meninggalkan makam itu.
***
“Hai, Julie,” sapa Scott.
“Hmm, hai,” jawab Julie sambil membereskan buku-bukunya.
“Aku minta maaf soal kemarin.”
Julie bingung. “Kau tidak salah apa-apa padaku. Mengapa minta maaf?”
“Kemarin aku bersikap tak pantas padamu,” jawab Scott.
“Oh, ya ampun. Harusnya aku yang meminta maaf. Itu privasimu, Scott.”
Scott mengambil salah satu kursi di ruangan kelas tersebut lalu duduk di atasnya, menghadap ke arah Julie. Julie bersandar di meja kelas itu.
“Wanita itu adalah pacarku.”
Julie tersentak ke belakang hingga meja yang ia sandar terdorong sedikit ke belakang, tetapi mulutnya tetap terkatup diam.
“Dulu,” lanjut Scott. “Dia sangat pintar dan cantik.”
“Ya, aku melihat betapa cantiknya dia di foto itu.”
“Aku tidak tahu mengapa ia sangat pintar. Meraih cum laude Sarjana Teknik di Harvard, kau tahu? Dia adalah seorang wanita,” Scott tersenyum membayangkan. “Tetapi ia pergi meninggalkanku karena pekerjaan sampahnya itu.”
“Dia mengalami kecelakaan kerja?” tanya Julie perlahan.
“Ia bekerja di salah satu perusahaan perminyakan dan ia terjatuh…,” air mata Scott mulai turun ke pipinya.
“Sudah, sudah,” Julie berlutut di hadapan bangku Scott, “Kau tidak perlu melanjutkan lagi, aku tahu rasanya ditinggalkan seseorang.”
Julie mengusap air mata Scott, “Itu semua masa lalu, kita harus merelakannya dan merangkai masa depan.”
Scott menatap Julie, “Aku ingin merangkainya bersamamu.”