0

Oneshot: Find You

Hai hai!! Aku siap dicelotehin kalian karena ga nongol-nongol di blog xixixi sebagai pengobat rasa rindu *cieileh* ini ada oneshot. Biasa aja sih ceritanya. Alurnya juga pendek dan rada gajelas gitu dehhh. Mungkin aku baru akan ngelanjutin ff lainnya di bulan Desember alias hari libur yeyyy. Oke deh kalo begitu, happy reading ya!

find you

I believe that two people are connected at the heart, and it doesn’t matter what you do, or who you are or where you live; there are no boundaries or barriers if two people are destined to be together.” – Julia Roberts

Alex menatap Carol yang sedang fokus pada laptop-nya. Bukan dengan tatapan biasa, tetapi tatapan yang lekat dan tersirat penuh harap di dalamnya.

Caroline Bartra, gadis pujaan hati lelaki itu sedari kecil. Persahabatan mereka yang tumbuh seiring dengan dewasanya Alex dan Carol, membuat lelaki itu jatuh cinta pada sahabatnya sendiri. Entah sedari kapan, lelaki itu tak tahu. Waktu membiarkannya mencintai gadis itu, hingga tak terukur seberapa besar cintanya pada Carol.

Carol adalah gadis yang pintar, cantik, dan berhati lembut. Tak pernah ia membiarkan Alex kesepian. Aku akan selalu di sini untukmu, adalah kata-kata yang selalu Alex ingat dari Carol.

“Sampai kapan kau mau menatapku seperti itu, Alex?” tanya Carol yang masih belum berhenti menatap laptopnya.

“Aku tidak tahu, aku ingin membuatmu merasa kalau aku ada di sini,” jawab Alex.

“Kau selalu ada untukku, kapan aku pernah merasa kalau kau tidak bersamaku?” gadis itu menatap Alex sambil tersenyum.

Entah sudah berapa puluh ribu atau jutaan kali Alex melihat senyum itu, rasanya tak akan pernah bosan. Lelaki itu selalu mengagumi setiap senyum yang dibuat Carol padanya. Alex membalas senyuman Carol, “Aku sangat senang kalau kau berkata seperti itu.”

“Tentu saja kau harus senang, kau sahabatku yang paling aku sayangi, Alex.”

Sahabat. Sebuah kata yang menggambarkan bahwa hubungan mereka hanya sebatas sahabat. Sebenarnya hati Alex sakit mendengar kata itu. Tak pernahkah aku bisa menjadi lebih dari itu? batinnya.

Sesaat setelah Carol menutup laptopnya, seorang lelaki datang lalu memeluk gadis itu dari belakang.

“Hai, Cantik,” sapa lelaki itu lembut. “Hai, Lex,” lelaki itu menyapa Alex juga.

“Hai, Danny,” balas Carol.

Alex hanya melempar senyum kepada lelaki bernama Danny itu.

Sudah tiga bulan Carol berpacaran dengan Danny. Mereka jadian setelah pesta kelulusan SMA mereka selesai. Sedihnya, Alex adalah saksi peresmian hubungan itu.

Danny Kent adalah cowok terpopuler di SMA-nya waktu itu. Sebenarnya otak lelaki itu enggak pintar-pintar amat, tetapi memang wajahnya cukup membuat gadis-gadis di sekolah hampir pingsan ketika Danny lewat di koridor sekolah. Carol pun seperti tersihir akan pesona Danny. Tak hanya tampan, Danny juga terkenal baik dan berprestasi dalam hal olah raga. Semua jenis olah raga hampir semuanya dikuasai Danny; mulai dari basket, sepakbola, tennis, voli, bulu tangkis, dan sebagainya. Di rumahnya pun berjejer berbagai penghargaan seputar olah raga.

Berkebalikan dengan Danny, Alex mengoleksi berbagai penghargaan seputar science dan tetek bengeknya. Wajah Alex juga tampan, bahkan tak kalah dengan Danny. Tetapi, Alex lebih menutup dirinya ketimbang Danny yang suka menebar pesonanya ke mana-mana. Satu lagi kelebihan Alex adalah kemahirannya dalam bermusik. Padahal ia tidak terlahir dari keluarga bermusik. Ia menguasai piano, keyboard, gitar dan drum; sekarang ia sedang belajar saksofon yang ia beli dari hasil tabungan uang jajannya.

Keputusan Carol yang menerima Danny secara cuma-cuma cukup membuat Alex kecewa. Entah tak hanya karena cemburu, tapi Alex yakin ada hal buruk yang ditutupi oleh Danny; sisi buruk yang tak pernah dilihat semua orang saat sekolah dulu.

Sekarang mereka semua sudah menginjak bangku perkuliahan. Alex mengambil jurusan Arsitektur, Carol mengambil Kedokteran karena ia terlahir di keluarga dokter, sedangkan Danny mengambil beasiswa sekolah bulu tangkis. Alex dan Carol berada di universitas yang sama.

***

Alex melihat Carol yang duduk tertunduk di bangku taman kampus.

Kumohon jangan lagi, batin lelaki itu dalam hati. Lalu ia menyusul gadis itu.

Alex duduk di sebelah Carol, “Hey? Kau kenapa?”

Carol langsung memeluk sahabatnya itu dengan terisak, “Dia melakukannya lagi, dia jahat padaku.”

“Sudahlah, sampai kapan kau mau bertahan dengannya? Kurang banyak apa dia menyakitimu? Kau selalu melarangku untuk memperingatkan bajingan itu!”

“Tolong jangan lakukan apapun padanya, aku…”

“Carol!” bentak Alex. “Kau tak tahu sudah berapa lama kau seperti ini?”

Continue reading

2

FF: The Genius One #9

But better to get hurt by the truth than comforted with a lie.” 
― Khaled Hosseini

 

“Ma, pokoknya aku enggak mau balik. Di Spanyol itu lebih enak. Aku pusing di New York, terlalu ramai, Ma,” omel Bianca yang sedang bicara dengan orang dibalik telepon genggamnya.

Pokoknya Mama juga tidak peduli. Kamu kecil-kecil sudah kabur, nyuri kartu kredit Mama, mau jadi apa kamu? Kartu kredit Mama sudah limit gara-gara kamu, Nak! terdengar samar-samar suara dari telepon Bianca.

“Mama juga enggak pernah peduli sama Bianca. Hamburin terus saja uang Papa, pergi sana ke Las Vegas! Sampai nginap saja di casino-nya, tak perlu balik ke rumah ngurusin anak!”

Diam kamu Bianca! Berani-beraninya kamu bicara seperti itu sama Mama!

“Toh Mama emang begitu! Mama tinggal kasih aku uang dan aku sudah bisa hidup sendiri,” Bianca langsung menutup teleponnya tanpa memedulikan ibunya yang masih ingin berbicara dengannya.

“Kamu masih belum berubah,” kata seorang cowok di ruangan itu. Sedari tadi Bianca sedang menelepon di ruang musik SMP yang saat itu sedang sepi.

“A―Alex?” tanya Bianca terbata. “Sejak kapan kau di sana?”

“Ternyata cerita kakakku tentang kau benar, bahkan lebih parah,” kata Alex sambil berjalan ke arah Bianca.

“Kau tidak tahu apapun,” kata Bianca dingin.

“Kau juga tidak tahu kalau aku sama seperti Marc. Terkadang suka menyendiri di ruang musik.”

“Kau tidak bisa bermain musik seperti Marc. Kau tidak bisa sesempurna dia,” kata Bianca dengan nada sinis.

“Aku memang tidak mewarisi otak Marc, tapi tanganku iya,” Alex duduk di bangku piano lalu menatap telapak tangannya. “Soal musik, aku lebih dahsyat dari seorang Marc Marquez.”

Bianca mendengus sinis tanda tidak percaya dengan perkataan Alex.

“Orang yang suka merendahkan orang lain sepertimu, tidak akan mendapat apapun. Otakmu beku ‘kan?” balas Alex dengan sinis juga.

“Diam kau. Memangnya kau bisa bermain apa saja? Marc bisa piano dari kecil bahkan gitar,” kata Bianca dengan nada sombong.

“Banyak,” kata Alex cuek. “Lebih banyak dari yang kau pikirkan sekarang.”

Bianca mendengus lagi. Ia berjalan lalu menemukan sebuah saksofon yang berwarna kuning emas mengkilap. Ia ingin menyentuhnya tapi dilarang Alex.

“Jangan sentuh saksofonku.”

“Kau punya saksofon? Oh, aku tidak percaya.”

“Terserah. Aku membelinya dengan hasil kerja saat libur sekolah juga uang jajanku. Tidak dengan meminta uang orang tuaku,” Alex membuat penekanan pada kata tidak.

“Menyebalkan sekali,” gumam Bianca. “Aku sedang tidak ingin berkelahi denganmu,” lalu Bianca berjalan menuju pintu ruangan itu.

“Siapa yang mau juga?” kata Alex lalu ia menekan tuts-tuts piano dengan jari-jarinya mengalunkan lagu Für Elise.

***

“Aduh,” keluh Mama Roser. “Berantakan sekali kamar anakku ini,” katanya sambil membawa sprei ranjang baru untuk mengganti sprei ranjang Marc yang kelihatannya sudah kusam.

Roser mengangkat bantal tidur Marc lalu menemukan sebuah kertas yang terlipat-lipat di sana. Sebenarnya ia tidak suka mencampuri urusan anaknya, tetapi entah kenapa ia merasa penasaran pada kertas itu.

Roser membuka lipatan-lipatan kertas itu dan langsung terkejut. Ia tidak percaya apa yang ia baca. Segera Roser menuju ruang tamunya lalu menelepon suaminya tentang kertas itu.

Sepulang Marc dari sekolah, ia melihat ibu dan ayahnya duduk dengan tegang di ruang tamu. Marc memutuskan untuk mencairkan suasana dengan menyapa mereka.

“Tumben pada ngumpul, ada apa?” tanya Marc.

Julia―ayah Marc―melempar sebuah kertas ke atas meja ruang tamu. “Jelaskan itu,” katanya dengan suara dingin.

“A―aku, itu…”

“Cepat jelaskan!” bentak Julia.

Marc tersentak kaget. “Guru Biologiku menyerahkan data-dataku ke Harvard tanpa sepengetahuanku,” Marc menelan ludahnya, “dan memasukkan datanya ke jurusan kedokteran.”

Julia meringis mendengar kata kedokteran.

“Tapi aku ingin, Pa,” lanjut Marc. “Aku tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan ini.”

“Sudah berapa kali aku ingatkan tentang tidak boleh menjadi dokter? Apakah kejadian yang menimpa ibumu belum jelas?” Julia mengusap dadanya, “Menjadi dokter itu sulit, Nak. Harus teliti―”

“Papa pikir aku tidak sanggup? Papa selalu memujiku brilian. Tetapi kau tidak membiarkanku untuk membuktikannya lebih jauh lagi.”

“Tapi aku tidak bisa membiarkanmu seperti dokter itu―”

“Aku…” Marc menghela nafasnya dalam-dalam, “… aku tidak akan menjadi dokter itu.”

“Aku tetap tidak bisa Marc. Aku terlalu takut itu akan terjadi padamu,” kata Julia lemah.

“Kau. Harus. Percaya. Padaku, Pa,” Marc membuat penekanan di setiap kata-katanya.

“Tidak―”

“Aku ingin menyembuhkan orang lain, aku ingin membantu mereka, Pa.”

“Kau belum cukup yakin dan siap, Marc Marquez. Aku minta maaf,” Julia langsung menuju ke kamarnya untuk beristirahat.

Roser yang sedari tadi hanya diam di sofanya, akhirnya angkat bicara. “Aku tidak bisa melawan ayahmu. Mama minta maaf akibat masa lalu Mama, mimpimu tidak bisa tercapai.” Ia berdiri lalu memeluk anak sulungnya itu. “Aku sudah cukup bangga dengan prestasimu selama ini,” Roser mengelus rambut Marc lalu mencium pipi anaknya.

Marc menatap ibunya. Rasanya ia ingin menangis tetapi ia menahannya dengan kuat. “Aku baik-baik saja. Aku mau istirahat.” Marc bergegas menuju kamarnya.

Alex yang juga baru pulang sekolah, ternyata menguping dari balik pintu rumahnya. Ia masuk lalu melihat ibunya masih berdiri terpaku.

Ia langsung memeluk ibunya. “Aku tidak sepintar dia, Ma. Aku harap Mama menyetujui pilihannya.” Lalu Alex mencium pipi kiri ibunya dan segera menuju kamarnya juga.

Tapi trauma itu masih membekas, batin Roser.

 

***

“Kau tidak ada kerjaan lain selain menatapku di sini?” tanya Karen yang sedang memasukkan larutan ZnSO4 ke dalam gelas kimianya. Karen sedang melakukan percobaan Sel Volta di Lab Kimia yang kebetulan sedang kosong untuk melengkapi laporannya yang kemarin belum sempat ia selesaikan.

“Tidak, ini pekerjaanku. Menatapmu,” jawab Dani sambil tersenyum.

“Ah, kau ini,” kata Karen tersipu malu. Lalu ia menuju ke lemari untuk mengambil lempengan tembaga dan seng. “Oh, iya, kau memang sudah tahu ‘kan kalau Valen pernah Amnesia?”

“Kau sudah tahu?” tanya Dani tenang. “Ya, begitulah. Dia makin galak lagi semenjak kejadian itu. Hingga aku sudah terbiasa kena omelan dia setiap hari.”

“Dan kau juga tahu orang yang memberikan Valen barang-barang itu?” tanya Karen lagi.

“Oh, tentu saja. Aku tahu semuanya tentang mereka berdua. Intinya, mereka sama-sama suka tapi sok gengsi,” terang Dani.

“Tapi Valen ‘kan belum tahu orangnya,” jawab Karen. “Kau tidak akan pikir Valen bakal kaget banget kalau tahu orangnya Marc?”

“Mungkin iya, Valen pasti sangat kaget. Tapi dia sudah menganggap yang memberikan semua itu cinta pertamanya. Apalagi dia dan Marc sudah bertemu lagi sekarang. Kayak yang aku bilang tadi, sama-sama gengsi.”

“Aku heran kenapa kau sangat tahan sama Valen. Aku pikir kau menyukainya,” kata Karen sambil mengatur voltmeter.

“Ah, tidak. Dia sudah seperti adikku sendiri. Lagian aku sudah menyukai orang lain,” jawab Dani lalu tersenyum.

Karen sempat berhenti mengatur voltmeter-nya karena kaget mendengar pernyataan Dani bahwa dia sudah menyukai orang lain.

“Sekarang orangnya ada di depanku,” lanjut Dani.

Saking kagetnya, Karen hampir menjatuhkan larutan ZnSO4-nya. Lalu ia menengok dengan tatapan tidak percaya ke arah Dani. “Kau bercanda,” kata Karen pelan sambil menulis laporannya.

“Aku tidak bercanda,” raut muka Dani berubah serius.

“Tidak mungkin.”

“Kenapa tidak?” tanya Dani heran.

“Kau pantas mendapatkan yang lebih baik dariku,” kata Karen yang masih menulis laporannya.

“Kau juga menyukaiku, bukan? Aku sudah menyukaimu sepertinya sudah lama.”

“Sepertinya?”

“Iya, sepertinya. Karena aku bodoh dan tidak menyadari perasaanku sendiri.”

“Bagaimana dengan Marcia waktu itu? Perasaanku hancur saat tahu kau bersamanya,” kali ini Karen menatap Dani dengan tatapan serius.

“Perasaanku juga hancur meskipun aku melihatmu berpelukan dengan sahabatku sendiri di taman sekolah waktu itu,” balas Dani. “Saat itu aku mulai tahu kalau aku menyukaimu. Perasaanku ke Marcia hanya sesaat, hanya sebatas mengagumi.” Dani menggaruk dahinya yang tidak gatal. “Tapi kau tidak menyukai Marc, ‘kan?”

“Tidak. Hubunganku dengan Marc sama dengan hubunganmu dengan Valen,” jawab Karen.

“Bagaimana?” tanya Dani.

“Bagaimana apanya?” Karen balik bertanya dengan heran.

“Sebentar,” Dani mengeluarkan kertas putih yang masih bersih dari tasnya beserta sebuah spidol permanen berwarna hitam. Ia membelakangi Karen agar Karen tidak bisa melihat tulisannya. Sesudah selesai menulis, ia merogoh tasnya lagi dan memegang benda itu dengan cara menggigitnya.

Saat Dani berbalik, tertulis tulisan besar di kertas itu dan benda yang digigitnya adalah setangkai bunga mawar warna merah.

KARENINA ORTEGA, WILL YOU BE MINE? ❤

Seketika air mata Karen jatuh karena sangat senang. Ia tidak menyangka penungguannya selama ini tidak sia-sia. Karen mengangguk dengan semangat. Ia menghampiri Dani lalu mengambil bunga mawar yang digigit Dani.

Dani langsung memeluk Karen dengan erat. “Terima kasih,” bisiknya pada Karen.

***

Marc yang sedang duduk sambil membaca buku di bangku taman sekolah dihampiri Dani yang lagi berbunga-bunga. Lalu Dani duduk di sebelah Marc.

Marc menengok ke muka Dani dengan heran. Begitu juga Dani yang menatap Marc dengan senyum lebar.

“Kau sakit?” tanya Marc sambil memegang dahi Dani kemudian menjitaknya pelan. “Kau lagi mabuk dan setengah gila,” vonis Marc seperti seorang dokter.

“Kau calon dokter yang hebat,” Dani menepuk bahu Marc lalu merangkulnya seperti orang mabuk minuman keras. “Aku dimabuk cinta,” lalu melepas rangkulannya pada Marc.

Ekspresi wajah Marc berubah jijik pada kelakuan sahabatnya itu sampai-sampai buku Marc jatuh dari genggaman tangannya.

Dari belakang tempat duduk Marc dan Dani, Valen datang membawa sebuah amplop lalu menepuk amplopnya ke atas kepala Dani dengan lembut. Karena tidak mendapat respon dari Dani, tepukan amplop Valen berubah menjadi tepukan yang kasar.

“Ih, ganggu orang saja,” omel Dani lalu menengok pada Valen.

Valen memberikan amplop itu pada Dani. Marc yang penasaran ikutan mau melihat apa isinya.

“Yang terhormat, bla, bla, bla…” gumam Dani. “… diterima di Harvard Medical School…” Dani langsung diam lalu menatap Marc. Marc dari tadi sudah membulatkan matanya ketika melihat amplop itu.

“Aku hebat ‘kan?” Valen memuji dirinya sendiri.

“Marc juga―aduh!!” kaki Dani diinjak oleh Marc.

Marc mengisyaratkan Dani untuk tidak memberi tahu Valen bahwa ia juga masuk ke Harvard, apalagi dengan jurusan yang sama.

“Marc kenapa?” tanya Valen.

“E―enggak,” jawab Dani terbata.

“Selamat,” ucap Marc singkat.

“Kau tidak daftar dimanapun?” tanya Valen pada Marc.

“Tidak, aku malas,” bohong Marc.

“Ah, aku tahu. Kau pasti tidak optimis diterima, ‘kan?” lalu Valen tertawa renyah. “Sudahlah Marc, kau memang harus mengakui kalau aku pintar. Sampai kapan kau mau…” tiba-tiba Valen menghentikan ocehannya.

Marc masih menatap heran Valen. Raut muka Valen pun berubah seperti merasa bersalah. Ia teringat burung-burungan kertas juga bunga mawar yang kemungkinan diberi oleh Marc. Rasanya ia tidak tega harus terus-terusan mencaci maki Marc. Tapi, ia masih mencari waktu yang tepat untuk menanyakan hal itu pada Marc.

“Aku pergi dulu,” Valen langsung bergegas pergi meninggalkan dua bocah yang sedang terheran-heran melihat tingkah lakunya.

“Kau tahu?” tanya Dani. “Dia banyak berubah semenjak kau datang.”

“Menurutku tidak,” kata Marc sambil memasukkan bukunya ke dalam tas.

“Aku selalu di sampingnya, Marc. Aku lebih tahu dia seperti apa,” kata Dani pelan. “Oh, iya, aku sampai lupa mau memberitahumu.”

“Apa?”

“Aku sudah jadian sama Karen!” seru Dani.

“Wah, cepatnya. Pantas saja kau tadi kayak orang gila,” lalu Marc tertawa bersama Dani. “Traktir boleh kali?” candanya.

“Gampang itu, Bro. Sekalian sama Valen nanti.”

Wajah Marc berubah kecut.

“Dari pada kau tak punya pasangan sendiri? Mending ada Valen,” goda Dani.

“Iya, kau aturlah sana,” kata Marc sambil tersenyum.

 

to be continued…

 

Nih cerita masih berlabuh jauh……………………… hahaha

comments below or mention @felpercy. A lot of thanks, chuuu~

 

 

4

FF: The Genius One #8

Things change. And friends leave. Life doesn’t stop for anybody.” 
― Stephen ChboskyThe Perks of Being a Wallflower

 

Valen membolak-balikkan setiap burung-burungan kertas yang ada di lacinya. Ia merasa Karen ada benarnya juga, siapa tahu orangnya ada di sekolahnya. Semalaman ia terus mencari, tetapi ia tidak berani membuka lipatan-lipatan kertas tersebut karena ia tidak bisa melipatnya kembali. Valen tidak mau kertas ini hancur gara-gara ulah dirinya sendiri. Walau tak tahu siapa pemberi semua ini, kertas-kertas ini tetap berarti untuknya.

Kemudian ia mencoba melihat bunga mawar plastik yang diberikan orang itu. Mawar berwarna putih itu masih bagus tanpa cacat karena Valen menyimpannya dengan baik-baik. Ia membolak-balikkan bunga itu, memeriksa tangkainya dari atas sampai bawah tetapi nihil. Lalu ia mencoba membuka-buka tiap lembaran bunga tersebut. Ada huruf M berukuran kecil tertuliskan di sana.

Valen mengobrak-abrik lacinya lagi. Perasaannya mulai panik dan kacau. Ia menemukan secarik kertas yang ada di selipan jendelanya beberapa hari setelah ia pulang dari rumah sakit akibat kecelakaannya waktu itu.

Aku harus pergi, selamat tinggal. Aku sayang padamu.

Tanpa nama, sebuah misteri yang ingin ia pecahkan.

Valen berlari menuju rak meja belajarnya yang berisi buku-buku pelajaran. Ia mencari-cari buku catatan Biologi. Mengapa? Karena ada tulisan seseorang yang ingin ia bandingkan dengan tulisan di secarik kertas itu. Valen ingat Marc pernah mencorat-coret buku catatan Valen tentang virus saat mengerjakan tugas bersama dari Sir Evans. Valen meneliti setiap kata dari secarik kertas itu dan buku catatannya. Mirip. Tetapi yang di catatan Valen lebih rapi, mungkin karena dulu masih SD. Tulisan Marc sangat rapi, mungkin bisa dikira tulisan seorang anak perempuan.

“Apa selama ini… Marc?” gumamnya. “Tak mungkin, tidak mungkin,” gumamnya lagi sambil menggelengkan kepalanya. Ia merasa sangat bingung dan berarti ia sedang berusaha mengingat.

Valen mulai mengacak-acak rambutnya. Sakit mulai menjalar ke seluruh bagian kepalanya. Ia memijat dahinya, pelipisnya, hingga tengkuknya. Ia membenamkan wajahnya dengan kedua tangannya. Keringat mulai membasahi seluruh badannya. Jantungnya mulai berdetak lebih cepat. Napasnya pun terengah-engah. Semua itu terjadi padanya bila ia sedang ingin mengingat sesuatu dengan teramat keras.

Valen langsung bergegas menuju ke lemarinya dalam keadaan sempoyongan. Ia membuka lemarinya lalu mengambil satu botol kecil berisi pil-pil berbentuk bulat yang ukurannya tidak terlalu besar. Sudah lama ia tidak meminum pil-pil tersebut. Karena tidak ada air putih di kamarnya, ia langsung mengambil air minum yang masih tersisa di botol minum sekolahnya. Tapi setelah ia memeriksa botol obat itu, ternyata sudah kadaluarsa.

“Ya ampun, Tuhan,” kata Valen lemah.

Ia langsung pergi menuju pintu kamarnya lalu setengah berteriak akibat kepalanya yang sangat sakit. “Bi… Bibi Molly…”

Bibi Molly langsung buru-buru datang ke kamar Valen. “Ya ampun, Nak!!!” katanya panik. “Kamu pasti lagi coba mengingat, ya? Kamu pucat sekali, Sayang. Ayo kita ke dokter…”

“Tak perlu, Bi. Tolong beli obat ini,” Valen memberikan botol obat tadi pada Bibi Molly. “Buruan ya, Bi. Suruh Pak Kevin saja yang beli, biar cepat naik motor.” Pak Kevin adalah supir yang biasa antar-jemput Valen ke sekolah.

“Baik, kamu istirahat, ya,” kata Bibi  Molly.

Valen mengangguk pelan. Ia langsung merebahkan dirinya ke kasur.

Lalu Bibi Molly langsung berlari sambil memanggil-manggil nama “Kevin”.

***

“Maaf, Ibu. Anda keguguran,” kata sang dokter dengan sedih.

“APA? APA KAU BILANG?” kata ibu si bocah laki-laki dengan amat kaget. “Aku sudah meminum obat darimu setiap hari dan karena pendarahan ini aku keguguran? Apa kau bercanda?”

“Iya, Dok. Apa maksudnya ini? Berarti ini salah anda, Dok. Anda yang memberikan dosis obatnya agar diminum satu hari tiga kali,” omel ayah si bocah laki-laki.

“Saya belum tahu banyak tentang obat tersebut, saya kira aman dikonsumsi tiga kali sehari. Ternyata menyebabkan pengerasan komponen obat tersebut yang berlebihan dan membentuk tumor di rahim Ibu,” sang dokter menunjukkan hasil USG rahim ibu si bocah laki-laki. “Bulatan hitam ini adalah tumornya, akibat tidak cepat dibawa ke rumah sakit, tumor itu sudah mengenai janin anda makanya anda mengalami pendarahan.”

“Terus bagaimana, Dok, tumor saya ini??? Anda harus bertanggung jawab, saya akan tuntut anda!!”

“Saya benar-benar minta maaf…”

“Anda ini seorang dokter! Seharusnya anda berhati-hati. Anda tidak boleh bermain-main dengan nyawa seseorang! Kami akan menuntut anda dan meminta rumah sakit untuk mengganti dokter. Ini sama saja dengan mal praktek. Solusi apa untuk tumor istri saya?”

“Rahim istri anda akan diangkat karena tumor itu sudah menginfeksi dinding rahim istri anda. Maaf, istri anda tidak akan bisa hamil lagi,” kata dokter itu sambil menunduk bersalah.

“Dasar kau Dokter bodoh!” ibu si bocah laki-laki mengguncang-guncangkan pundak sang dokter. “Kau Dokter yang kejam, bodoh!”

Sesudah kejadian itu, dokter itu mulai diproses secara hukum. Ia terkena pasal mengenai malpraktek. Ia dihukum 15 tahun penjara akibat kelakuannya. Dan juga sudah dipastikan, karirnya berakhir menjadi dokter pada usia yang masih terbilang muda, yaitu 35 tahun.

Ibu si bocah laki-laki pun sudah menjalani pengangkatan rahim dan sempat menjadi stres akibat keinginannya mempunyai anak perempuan tak bisa terwujud lagi. Tetapi akhirnya ia bisa bangkit juga menjalani hidupnya normal kembali sebagai ibu rumah tangga.

Trauma itu tidak akan pernah hilang, berulang kali ayah si bocah laki-laki menasihati kedua anak lelakinya agar tidak menjadi dokter karena tidak ingin buah hatinya mengalami nasib yang sama seperti dokter itu.

***

“Marc!” panggil Karen sambil berlari ke arah Marc yang sedang berjalan santai di koridor sekolah.

Marc menoleh, “Kenapa?”

“Selamat, ya!” seru Karen lalu memberikan sebuah surat pada Marc.

Marc melihat amplop tersebut. Bagian depan amplop itu tertulis Harvard University beserta logonya. Seketika Marc membelalakkan matanya.

“Kamu kaget banget? Harusnya kamu tak perlu se-kaget itu. Toh, kau memang pintar,” kata Karen sambil tersenyum.

“Kamu dapat dari mana suratnya?” tanya Marc penasaran.

“Dari Tata Usaha. Aku disuruh kasih ke kamu katanya.” Karen menatap Marc sebentar, “Kamu kenapa? Muka kamu menunjukkan kayak kamu enggak pernah apply itu?”

“Aku emang enggak apply ini, Karen,” jawab Marc lemah.

“Terus siapa? Mungkin dewan guru,” duga Karen. “Tapi kenapa kamu enggak senang?”

“Aku pulang dulu, Ren,” Marc tiba-tiba pamit lalu langsung bergegas pergi meninggalkan Karen yang masih terheran-heran.

Sesampainya di rumah, ia langsung mengunci dirinya di kamar. Marc mematung sambil memegang secarik kertas dari dalam amplop itu. Ia menatap kertas itu dengan tatapan stres di kamarnya sambil berdiri di depan lemari bajunya. Lalu ia menempelkan dahinya ke lemari itu.

“Bagaimana ini?” gumamnya.

Surat itu tak hanya tertulis Harvard University, tetapi kertas di dalamnya tertulis Harvard Medical School. Hal itu yang membuat Marc sangat bingung. Ia masih bertanya-tanya siapa yang melakukan ini tanpa sepengetahuannya.

Ini memang kesempatan yang besar. Ia senang, tapi pasti orang tuanya tidak.

Marc mengintip keluar kamarnya. Ia ingin menyelinap ke kamar Alex. Tetapi ia urungkan kembali karena nanti Alex bisa teriak tidak karuan dan terbongkarlah sudah.

Marc memutuskan mengambil ponselnya untuk menghubungi Dani, mungkin Dani tahu.

“Ada apa Marc?” tanya Dani di seberang sana.

“Aku menerima surat dari Harvard…”

“Wah selamat!!!”

“Tunggu aku belum selesai bicara. Tapi aku tidak tahu siapa yang meng-apply data-dataku ke Harvard. Apa kau tahu mungkin siapa yang melakukannya?” tanya Marc.

“Ah, buat apa kau memikirkannya? Sudah terima saja. Tak mungkin ditolak kesempatan sebesar itu. Siapa pun yang melakukannya, terberkatilah dia,” celoteh Dani sambil mengunyah yang sudah pasti ia sedang memakan biskuit.

“Dan, masalahnya kedokteran ini!!!” kata Marc dengan suara panik.

Seketika Dani tersedak lalu terdengar suara tegukan yang berarti dia sedang minum. “Serius? Seriusan? Wah, gila emang yang apply.”

“Aku sudah pasrah, aku harus ngapain ini Dani?” tanya Marc lemas. Ia merasa nyawanya akan terbang sebentar lagi.

“Beri tahu saja. Kau ‘kan tidak melakukannya. Tapi coba kau pikir-pikir lagi. Aku merasa salah satu guru yang melakukannya. Kira-kira siapa guru yang sangat menyayangimu dan membangga-banggakanmu?” tanya Dani.

“Hmm… Semua guru menyayangiku.”

“Ah, kau benar. Saking pintarnya semua guru memang jatuh cinta padamu. Guru yang berhubungan dengan kedokteran?”

“Bio-lo-gi,” eja Marc perlahan. “Sir Evans!” serunya tiba-tiba.

“Nah, dia memujimu saat kemarin kita membedah ayam ‘kan? Bahkan dia sampai terkagum-kagum dengan penjelasanmu. Begitu pun aku, tapi tetap saja aku tidak mengerti waktu itu.”

“Besok aku akan bicara pada beliau.”

***

Valen tetap memutuskan datang ke sekolah meskipun ia belum sebenarnya pulih dari sakit kepalanya semalam. Penampilannya tampak berantakan; kemejanya yang bergurat-gurat seperti tak disetrika, rok bagian bawah yang terlipat, rambut yang keluar-keluar dari kunciran ekor kudanya, lingkaran hitam yang tampak jelas di bawah matanya, hingga sepatu sekolah yang bagian belakangnya ia injak dengan tumitnya.

Sepanjang Valen menyusuri koridor sekolahnya, semua mata tertuju pada penampilannya yang “bukan Valen banget”.

Tas selempang yang talinya ia gantung di bahunya pun sudah berkali-kali hampir jatuh, hingga benar-benar terjatuh. “Ah, sial,” katanya lemah. Rasanya memang bukan waktu untuknya marah-marah.

Valen duduk di kelas dengan lemas. Rasanya surga baginya yang akhirnya bisa duduk. Ia langsung melipat lengannya di atas meja dan membenamkan wajahnya di sana.

Dani yang juga baru datang ingin menegur sahabatnya itu. Tapi ia urungkan kembali karena malas menerima semburan kata-kata dari Valen di paginya yang cerah itu. Ia duduk di bangkunya lalu menopang dagunya di atas meja sambil senyum-senyum memandangi pintu kelasnya yang terbuka. Saat Karen lewat di depan kelasnya, Dani langsung melambaikan tangannya tetapi Karen tidak melihat. Miris memang. Karen berada di kelas sebelah alias 12 IPA 2.

Hingga pelajaran dimulai, Marc terus gugup. Ia terus memikirkan bagaimana surat yang ia terima harus ditindak lebih lanjut. Kakinya terus ia goyangkan, pertanda batinnya sedang panik. Pelajaran pun rasanya dari tadi tidak ia perhatikan hingga harus beberapa kali diminta perhatian oleh guru yang sedang mengajar.

Goyangan kaki Marc ternyata menarik minat Valen untuk mengoceh. Ia paling risih melihat seseorang menggoyang-goyangkan kakinya seperti itu.

“Heh,” panggil Valen, “bisa tidak, enggak goyang-goyangin begitu kakimu?” katanya setengah berbisik.

“Apa masalahmu?”

“Aku tidak suka melihatnya,” geram Valen.

“Ya sudah. Itu ‘kan matamu, bukan mataku,” kata Marc yang masih menggoyangkan kakinya.

Valen hanya mendengus pelan lalu kembali memperhatikan ocehan membosankan Sir Willy tentang sejarah Spanyol.

Tiba-tiba Marc mengacungkan tangannya. “Sir, saya mau izin ke toilet.”

Sir Willy yang sepertinya tidak senang penjelasannya dipotong hanya melambaikan tangannya ke pintu kelas yang berarti mengizinkan Marc ke toilet lalu kembali mengoceh lagi tentang Perjanjian Paris tahun 1898 yang mengakhiri perang Spanyol dengan Amerika.

Marc mencoba menenangkan dirinya sesampainya di toilet. Ia berjalan bolak balik di depan wastafel. Bahkan, entah sejak kapan keringat dingin terus keluar dari pori-pori kulitnya. Rasanya lebih dari seseorang yang ingin dihukum gantung, pikirnya. Ia terus memikirkan sosok ayahnya yang akan marah besar jika mengetahui surat itu. Marc tidak bisa menyembunyikan surat itu begitu saja karena itu demi masa depannya juga.

Jorge masuk ke dalam toilet untuk mencuci tangannya. Ia tidak memedulikan Marc yang sedari tadi masih bolak-balik di depan wastafel di sebelahnya.

Akhirnya Jorge membuka suara. “Tingkahmu membuatku merasa aneh.”

Marc menghela nafasnya dalam. “Benarkah?”

“Kau terlihat buruk,” ucap Jorge lagi. “Nanti ada latihan basket,” katanya sambil mengeringkan tangannya dengan tisu.

“Aku ada urusan, tolong bilangin yang lain,” kata Marc dengan suara agak kering. Karena memang tenggorokannya seperti mengering seketika.

“Oke,” kata Jorge lalu melemparkan tisunya ke kepala Marc.

Marc hanya menatap Jorge dengan kesal.

“Itu untuk dua kertas ulanganku yang sudah dilempar olehmu,” kata Jorge lalu tersenyum memamerkan deretan giginya yang rapi.

Setelah bel istirahat pertama berbunyi, Marc berjalan cepat menyusuri koridor untuk menemui Sir Evans di ruang guru. Ia bergerak tergesa-gesa sampai-sampai tali ranselnya terus menjuntai turun dari bahunya dan ia harus menaikkannya lagi berkali-kali. Entah kenapa Marc harus membawa ranselnya demi menyerahkan sepucuk surat.

Marc mencari-cari meja Sir Evans dan melihatnya sedang mengoreksi buku-buku murid yang bertumpuk-tumpuk.

“Sir, tolong jelaskan tentang surat ini,” Marc mengeluarkan amplop yang bertuliskan Harvard University itu.

“Wah, kau diterima? Secepat itu―”

“Anda tidak meminta izin saya,” potong Marc dengan raut muka serius.

“Saya minta maaf, tapi kau seharusnya senang, bukan?” kata Sir Evans sambil merogoh ke dalam amplop itu. “Mana suratnya?”

“Apa?” tanya Marc heran.

“Amplop ini kosong, Nak.”

“Tidak mungkin. Tidak, tidak, tidak,” Marc mengambil amplop itu sambil memeriksanya lagi dengan panik. Ternyata benar suratnya tidak ada di dalam amplop itu. Lalu ia teringat bahwa sebenarnya surat itu berada di bawah bantal tidurnya…

 

to be continued…

 

Part-nya banyak, ya? IYA. Aku gak tahu ini bakal selese sampe part berapa lol okay don’t forget, comments below or via twitter @felpercy. *kisskisskiss*

4

FF: The Genius One #7

Life isn’t about finding yourself. Life is about creating yourself.” 
 George Bernard Shaw

 

Si bocah perempuan terbangun dengan kepala diperban. Ia koma tiga hari lamanya. Bahkan dokter sempat berkata kalau hidupnya tidak akan bertahan. Tapi ternyata sang dokter salah.

Seorang pembantu rumah si bocah perempuan melihat mata si bocah terbuka, ia langsung memanggil dokter untuk memeriksa keadaan si bocah perempuan.

Si bocah perempuan masih terdiam, sorot matanya kosong. Raut mukanya tak terbaca, rasa sakit pun sepertinya ia hiraukan.

“Amnesia yang dia alami cukup parah, anda harus sangat berhati-hati jika ingin mengingatkannya tentang sesuatu. Dia mungkin masih mengingat namanya atau orang-orang yang paling dekat dengannya, tapi jika memori-memori indah atau buruk, mungkin ia akan lupa segalanya. Jelaskan dengan cara baik-baik jika ia tidak ingat.” Sang dokter menatap sekeliling kamar, “Dimana ibunya?”

“Bekerja, Dok,” dusta si pembantu.

Suster mulai melepas alat bantu oksigen si bocah perempuan. Sang dokter juga masih mengamati si bocah perempuan.

“Valen,” panggil si pembantu pelan.

“Kamu siapa?” ucap si bocah perempuan pelan.

“Aku Bibi Molly, kau mengingatku?”

Si bocah perempuan mengangguk pelan. “Mana Mama dan Papa?”

Si pembantu tersentak karena kaget si bocah langsung menanyakan keberadaan ayah dan ibunya. “Mereka sedang bekerja, Sayang.”

“Aku kenapa?” tanya si bocah perempuan.

“Kau jatuh, kepalamu terbentur,” jawab si pembantu pelan.

“Aku Amnesia, Bi?”

Si pembantu tersentak lagi untuk yang kedua kalinya. Mungkin karena anak ini pintar, pikirnya. “Iya, kau mengalami Amnesia. Kenapa kau bisa tahu?”

“Aku tidak bisa mengingat siapapun kecuali Papa, Mama, kau, dan Lucia. Hanya kalian berempat dalam pikiranku. Tapi aku juga tidak ingat saat aku jatuh.”

“Sudah, sudah, kau jangan banyak mengingat. Kata dokter tidak boleh. Anggap saja kau mengulang hidupmu dari awal lagi, bagaimana?” kata si pembantu.

Si bocah perempuan mengangguk dengan semangat.

***

Ujian semester pertama sudah berakhir. Para siswa pun sudah mulai bebas melakukan aktivitas normal mereka kembali. Nilai-nilai pun sudah mulai diproses dan hanya tinggal menunggu waktu.

Marc sedang berlatih dengan band-nya untuk memeriahkan perayaan Natal di sekolah mereka nanti. Setelah selesai latihan, Marc langsung menuju ke lapangan basket outdoor untuk bermain bersama teman-temannya. Tak disangka, mood bermainnya pun hilang.

“Hai lagi, Marc!” sapa Bianca ceria.

“Ngapain lagi di sini?” tanya Marc ketus.

“Kamu enggak sadar aku pakai seragam SMP Theodorus?”

Ternyata benar, Bianca berpakaian seragam yang sama seperti adiknya, Alex. Bedanya, Bianca pakai rok selutut dan Alex memakai celana panjang. “Kau sudah gila. Pulang sana, untuk apa kau tiba-tiba mencariku lagi? Dan bagaimana kau langsung bisa masuk sekolah ini? Orangtuamu ‘kan masih di Amerika.”

“Kalau ada uang, apa yang tidak bisa menjadi bisa, Marc.”

“Dasar wanita licik,” gumam Marc. “Kedatanganmu sia-sia.”

Tiba-tiba Karen menghampiri Marc, “Marc, ini bukumu. Terima kasih.”

Marc mengambil buku yang dikembalikan Karen lalu langsung merangkul Karen, “Sia-sia, Bianca,” kata Marc santai.

“Hei! Lepas-lepas. Ngapain kamu pegang-pegang perempuan culun kayak dia?” omel Bianca.

“Heh, ngaca dong!” Karen melepas kacamata dan ikat rambutnya lalu memberikannya pada Marc. Seketika image culun tak ada dalam dirinya. “Aku ini seniormu. Culun? Sekarang aku culun?”

Marc menahan tawa ketika Karen membuat Bianca membisu seperti itu.

“Ma―maaf, Kak,” Bianca langsung pergi tanpa mengucapkan sepatah kata lagi.

Sesaat setelah Bianca pergi, Marc langsung tertawa terbahak-bahak akibat ditahannya dari tadi. Karen juga ikut tertawa.

“Bagaimana aktingku tadi?” kata Karen sambil memakai kacamata dan mengikat rambutnya lagi.

“Keren banget, keren!” lalu Marc melanjutkan tertawaannya.

“Itu mantanmu?” tanya Karen.

“Iya, itu dia. Aku tak tahu kenapa dia bisa ke sini dan langsung bersekolah di sini,” kata Marc dengan heran.

***

Marc melihat Valen sedang menyandarkan bahunya di rak buku perpustakaan. Sesekali Valen meraba buku-bukunya, mukanya juga terlihat seperti orang depresi.

“Kau kenapa?” tanya Marc.

“Bukan urusanmu,” jawab Valen ketus.

“Ya sudah,” Marc mengambil sebuah buku lalu pergi meninggalkan Valen.

“Ih, Dani mana, sih?” oceh Valen sambil melihat ke arah jam tangannya yang berwarna kuning, warna kesukaannya.

Karen juga tiba-tiba datang, “Hei, Len? Ngapain? Lagi depresi?”

“Bisa diam enggak? Harus kalian nanyain aku begitu?” omel Valen dengan ketus.

“Kalian? Aku ‘kan cuma sendirian,” kata Karen heran sambil menunjuk dirinya.

“Pacarmu tadi juga ke sini menanyakan hal yang hampir sama denganmu! Memangnya kenapa harus heran melihat orang pintar ada di perpustakaan?” kata Valen sambil menyilangkan kedua lengannya di depan dadanya.

“Aduh, mulai lagi,” gumam Karen.

“Hai!” muka Dani muncul di sela-sela buku setelah Karen mengambil sebuah buku dari rak.

“Ah!” Karen kaget hingga menjatuhkan buku yang diambilnya tadi. “Dani! Kamu jangan kaget-kagetin begitu nanti diomelin ibu perpustakaan baru tahu,” kata Karen sambil mengusap-ngusap dadanya pasca dikageti Dani. Mungkin kalau Valen yang dikageti, Dani bisa-bisa digampar Valen pakai buku, pikir Karen.

Dani menghampiri Karen dan Valen yang masih bengong-bengong enggak jelas.

Ponsel Karen mendadak bunyi lalu langsung segera diangkat Karen. “Halo?”

“Hai, Karen, besok malam ada waktu?” tanya Scott di telepon.

“Hmm, ada. Kenapa?”

“Makan malam bareng, bisa?” ajak Scott.

“Makan malam? Bi―”

Dani langsung merebut ponsel Karen. “Dia ada janji sama aku. Maaf, ya,” lalu Dani langsung menutup telepon dari Scott.

“Kita enggak ada janji, Dani,” kata Karen dengan nada sedikit kesal.

“Ada, kok.” Dani berdeham sebentar, “Kamu mau makan malam denganku?” tawar Dani sambil membungkukkan badannya bak seorang pangeran.

“Ya ampun, Dani,” kata Karen sambil tertawa kecil.

“Mau selingkuh, Ren?” tanya Valen tiba-tiba.

“Kamu sudah punya pacar?” tanya Dani dengan nada panik.

“Valentina, aku enggak jadian sama Marc Marquez,” kata Karen dengan nada penekanan di setiap kata-katanya.

“Bohong,” kata Valen datar.

“Terserah kamu. Aku sama Marc hanya teman baik, enggak lebih. Jangan berprasangka buruk.” Karen menengok ke arah Dani, “Aku mau pergi ke Lab Kimia dulu, ada kerjaan sedikit.”

“Oke, jangan lupa besok malam. Aku jemput!” seru Dani.

Sesampainya di Lab Kimia, Karen bertemu dengan Marc yang sedang membereskan peralatan.

“Marc, Marc, Marc, Marc,” Karen menghampiri Marc sambil mengguncang-guncangkan lengan Marc.

“Apaan? Satu kali saja manggilnya, jangan banyak-banyak. Senang banget kamu.”

“Iya dong senang. Dani ngajak aku nge-date, loh!” kata Karen lalu ia berteriak melengking di samping Marc.

“Senang ya senang, kupingku jangan jadi korban. Selamat, ya,” ucap Marc sambil mengusap kepala Karen. “Aku doain kamu bisa jadian sama Dani.”

“Aku juga berharap hal yang sama kayak kamu,” kata Karen sambil nyengir.

“Aduh, jangan kalau itu,” kata Marc.

“Ya, kenapa? Dari pada sama mantanmu yang belagu kayak begitu, mending kena ocehan Valen. Kamu ‘kan sudah biasa, sudah bisa ngelawan Valen juga enggak kayak waktu jaman SD.”

***

Karen menghampiri rumah Valen untuk mengembalikan dompet Valen yang ketinggalan di toilet sekolah tadi.

“Di kamar dulu, ya. Valen lagi mandi,” kata Bibi Molly.

“Iya, terima kasih, Bi.”

Sesaat setelah Bibi Molly keluar dari kamar Valen, terdengar dari kamar mandi Valen berteriak. “Kenapa, Ren?”

“Dompetmu ketinggalan di toilet sekolah tadi,” balas Karen dengan teriakkan juga.

Seketika Valen keluar dari kamar mandi dengan handuk menggantung di lehernya. “Pantas saja tadi aku merasa ada yang hilang. Terima kasih, ya.”

“Iya, sama-sama. Aku taruh di meja belajarmu, ya?”

“Ya sudah taruh saja, aku mau ke bawah sebentar.”

Karen mengangguk lalu menaruh dompet Valen di atas meja belajarnya. Setelah Valen keluar dari kamar, Karen melihat sebuah amplop besar berwarna coklat di bawah meja belajar Valen. Karen mengambil lalu membuka amplop tersebut.

Amplop tersebut berisi hasil rontgen otak besar dan tulang tempurung kepala yang terlihat agak retak. Di dalamnya juga ada satu lembar penjelasan dari hasil rontgen tersebut. Karen membaca nama si pasien, Valentina Garcia. Ia lalu melihat ke kotak yang berisi penyakit yang dialami si pasien, yaitu Amnesia.

Karen langsung terpaku, ia sampai terduduk di lantai karena tidak pernah tahu jika sahabatnya ini pernah terkena Amnesia.

Valen masuk ke kamarnya sambil membawa nampan berisi dua cangkir teh hangat. Ia kaget melihat Karen terduduk di lantai kamarnya. “Kau kenapa?” tanya Valen pelan sambil berjalan ke arah Karen. Ia melihat kertas-kertas yang Karen pegang, “Dimana kau menemukan itu?”

“Kenapa kau tidak pernah memberitahuku?”

“Dimana kau menemukannya?!” bentak Valen.

“Kau tidak pernah bercerita padaku!” jawab Karen juga dengan nada membentak. “Apa Dani tahu?”

“Ya, dia tahu,” suara Valen melemah.

“Itu sebabnya saat masuk SMA dulu, beberapa teman SD-mu juga masuk ke SMA Theodorus. Tapi kau tidak mengingat mereka. Padahal lumayan banyak teman SD-mu yang masuk ke sekolah kita.”

“Ya, itu hal biasa―”

“Biasa apanya? Kau tidak mengingat satu pun dari mereka, Valen.” Karen mengusap kepalanya, “Keluargamu pergi semenjak kau Amnesia.”

“Bagaimana kau tahu?”

“Aku pintar menganalisis suatu masalah, Valen. Semua orang tahu itu. Aku tidak akan menceritakannya pada siapapun. Masa kecilmu hilang semua?” tanya Karen.

“Iya, hilang semua, aku Amnesia sejak kelas 5 SD. Semua kenangan dari kelas 5 SD ke bawah itu sudah tidak ada. Aku terbangun dengan pikiran kosong. Semenjak keluargaku pergi pun aku tidak pernah tahu nama ayah dan ibuku sendiri, hanya nama adikku. Dan aku tidak ingin tahu nama mereka,” kata Valen. Air mata sudah mulai membanjiri matanya.

“Aku turut sedih. Ibumu tidak pernah mencarimu lagi?”

Valen menggeleng, “Tidak sama sekali, meneleponku saja tidak.” Valen mengusap matanya, “Aku seperti anak Bibi Molly, kalau pun mereka kembali mungkin aku akan tetap menganggap Bibi Molly sebagai ibuku.”

“Jangan begitu, kalau dia kembali berarti dia masih sayang padamu. Bagaimana pun dia tetap ibu kandungmu, bukan?” Lalu Karen memeluk Valen. “Aku siap menjadi radio curhatmu.”

“Terima kasih.”

Karen melepaskan pelukannya. “Tapi aku bingung, kamu kenapa galak, sih? Kata teman-teman yang dulu pernah satu SD sama kamu, kamu itu kayak preman di sekolah.”

“Mungkin bawaan dari ibuku. Dulu Bibi Molly pernah bilang kalau Mama darah tinggi, terus pas masih kecil juga kayak aku. Bibi sudah sering menasihatiku biar aku jangan galak. Tapi, tetap tidak bisa berubah,” kata Valen.

“Ya ditahan, dong. Masa tiap kali langsung meledak begitu saja? Aku sudah berapa kali ngambek karena kelakuanmu itu. Tapi aku masih bisa bertahan, karena sudah kebiasaan. Oh, iya, kamu masih penasaran siapa yang ngasih kamu semua itu?” Karen menunjuk laci tempat Valen menyimpan barang-barang masa kecilnya.

“Banget! Kamu tahu siapa orangnya?”

“Kamu coba liat yang teliti lagi barang-barangnya, siapa tahu ada petunjuk,” jawab Karen. “Kali ini, kau harus mencari tahu. Siapa tahu orangnya ada di sekolah kita.”

 

to be continued…

 

Finally part 7 hahaha sorry ya guys, lama post nya padahal udah jadi dari kapan tau :p comments belowww

Jujur, ni cerita makin gak nyambung sama judulnya lol unexpected story

2

FF: The Genius One #6

Life is like riding a bicycle. To keep your balance, you must keep moving.” 
― Albert Einstein

 

“Ada apaan di lapangan?” tanya Marc sambil menepuk punggung Dani yang sedang berjalan di koridor sekolah menuju ke lapangan.

“Kayaknya ada dance battle,” jawab Dani.

“Dance battle? Sering, ya?” tanya Marc heran.

“Enggak sering, kalau ada yang nantang saja,” kata Dani santai. “Ayo lihat!” seru Dani.

Sesampainya di lapangan outdoor, Marc dan Dani langsung menyerobot masuk ke barisan depan. Beberapa anak break dance, modern dance bahkan cheerleaders dari masing-masing sekolah sudah berkumpul di lapangan outdoor yang kebetulan matahari tidak terlalu terik.

Dari celah kecil antara Marc dan Dani berdiri, Karen melewati mereka dengan agak kasar karena celah yang sempit yang hampir membuat Dani tumbang jika tidak ditangkap Marc.

“Aduh, si Karen lewat enggak kira-kira,” omel Dani.

“Kaunya saja lemah,” canda Marc lalu tertawa kecil.

Tak hanya menyerobot Dani dan Marc, Karen langsung menyerobot teman-teman dance dan cheerleader-nya lalu berdiri paling depan. Ia sedang berhadapan dengan seorang lelaki dengan postur badan yang tinggi, lumayan kekar, dan tato menghiasi tangannya, wajahnya juga ganteng menurut Karen. Meskipun bertato, sepertinya lelaki itu jauh dari kesan jahat.

Lelaki itu langsung menyodorkan tangannya, mengajak Karen bersalaman. “Scott Redding, Amadeus Talent High School.”

Karen menyambut tangan Scott. “HARI INI KITA KEDATANGAN PENANTANG DARI SEKOLAH TALENT,” teriak Karen kepada teman-temannya. “Kita lihat siapakah yang menang,” gumam Karen pada Scott dengan muka menantang.

Karen mengundi siapa yang akan mulai duluan dengan menggunakan koin. Hasilnya, Scott dan teman-temannya akan mengawali pertandingan.

DJ mulai memainkan musik. Ya, di SMA Theodorus ada satu Disk Jockey, bernama Pol Espargaro. Ia selalu kebanjiran pekerjaan untuk ber-DJ di mana-mana, bahkan namanya sudah terkenal di luar Spanyol. Kali ini meja kerjanya tertata di tengah-tengah kedua kubu.

Scott menunjukan bakatnya, yaitu hip hop bercampur break dance dan capoeira tetapi sepertinya ia menguasai semuanya dengan baik. Setelah Pol mengganti musiknya, kali ini giliran Karen yang beraksi. Masih menggunakan baju cheerleader-nya―karena habis latihan cheerleaders―ia makin memamerkan lekuk indah tubuhnya. Siapa sangka seorang kutu buku bisa menjadi ketua cheerleaders?

Setelah berganti-gantian dengan peserta lain yang menunjukkan kebolehannya, kedua kubu beristirahat sebentar sambil menunggu pengumuman siapa pemenangnya.

“Baiklah, secara mengejutkan, aku adalah juri kalian hari ini,” kata Pol. “Aku tidak membela sekolahku, aku sepenuhnya netral. Makanya, meja kerjaku ada di tengah hari ini agar bisa melihat kalian dengan jelas.” Pol berdeham sebentar lalu melanjutkan, “Jadi, pemenang battle dance antara SMA Theodorus dengan Amadeus Talent School adalah…”

Terlihat Karen harap-harap cemas. Ia ingin sekali menyaingi murid-murid talent school. Sudah beberapa kali SMA Theodorus melawan peserta dari talent school tetapi tidak pernah menang.

“… Amadeus Talent School!” seru Pol yang disambut dengan tepuk tangan para penonton. Banyak yang kecewa juga atas keputusan Pol arena sekolah tuan rumah tidak menang lagi melawan talent school untuk kesekian kalinya. “Aku menilai kalian berdasarkan teknik dance kalian. Tidak ada diskriminasi.” Lalu Pol mulai membereskan meja DJ-nya.

Kerumunan penonton juga sudah mulai bubar. Para petugas kebersihan sekolah mulai menyapu lapangan yang kotor sehabis acara seperti ini.

Scott menghampiri Karen yang sedang duduk di pinggir lapangan sambil meneguk air mineral. Ia duduk di samping Karen.

“Mau minum?” tawar Karen.

“Ah, tidak, aku sudah minum tadi. Terima kasih,” Scott menatap lapangan sebentar lalu menatap Karen, “Kau sangat hebat tadi,” puji Scott.

“Masa? Enggak sampai segitunya, kok.” Wajah Karen mulai memerah.

“Serius, kau hebat. Anak cheerleaders pula. Aku dengar kau ketuanya dan aku tidak heran,” kata Scott sambil tertawa kecil.

Dani dari kejauhan melihat Karen dan Scott berduaan. Tiba-tiba saja seperti ada yang mencengkram hatinya. Ia tidak merasa aneh jika Karen bersama Marc, karena Marc temannya dan ia juga tahu kalau Marc menyukai Valen. Tapi ketika bersama orang lain?

Tak sengaja Karen melihat Dani dari kejauhan. Ia panik dan langsung pamit pada Scott. Karen tak ingin Dani berprasangka buruk tentangnya.

Sesudah mengganti baju cheerleader-nya yang basah oleh keringat, Karen pergi menuju perpustakaan untuk mencari bahan tugas makalah yang diberi oleh gurunya. Suasana perpustakaan lumayan ramai karena memang sudah jam pulang sekolah juga berbagai tugas bertumpuk sebelum ujian semester nanti. Kebetulan Dani melihat Karen masuk perpustakaan dan memutuskan untuk mengikutinya.

“Hai,” sapa Dani lalu duduk di sebelah Karen.

“Hai juga,” sapa Karen sambil tersenyum.

Mendadak jantung Dani hampir tidak berdetak. Tak ia sadari kalau Karen benar-benar cantik. Jujur, ia tidak pernah merasa seperti ini pada Karen. Tapi kenapa tiba-tiba seperti ini? Ia merasa sangat bodoh, sebenarnya siapa yang hatinya pilih?

“Tadi kenalan sama anak Amadeus itu?” tanya Dani ragu-ragu.

“Iya, namanya Scott. Ganteng ya dia? Walaupun bertato begitu tapi dia baik.”

Dani tersenyum terpaksa, “Ya, di―dia lumayan ganteng. Tapi kayaknya masih gantengan aku,” goda Dani.

“Iya, kamu lebih ganteng,” kata Karen sambil menyentuh pipi Dani dengan telunjuknya.

“Aku bantu, mau?” tawar Dani.

“Enggak, ah. Kamu bolot,” kata Karen mengikuti cara ngomong Valen jika sedang mengolok Dani.

“Ih, kau mulai ketularan Valen,” Dani memasang muka ngambeknya.

“Aku cuma bercanda, kok. Bantuin, ya. Aku capek banget habis battle tadi.”

***

Sepulang sekolah, Marc langsung melempar tas ranselnya ke sofa panjang yang terletak di tengah-tengah ruang tamunya. Tasnya hampir mengenai badan Alex yang sedang menonton televisi.

Betul ‘kan? Marc memang suka membuat Alex sakit jantung.

“Kau gila? Kau tidak tahu isi ranselmu itu bukunya setebal kamus? Badanku bisa makin kerempeng kalau ketimpa itu,” oceh Alex pada Marc.

“Ah, diamlah. Aku pusing,” Marc merebahkan badannya ke sofanya yang berukuran lebih kecil.

Tiba-tiba saja bunyi bel pintu rumah Marc menganggu acara istirahatnya. Dengan malas ia membuka pintu rumahnya. Kebetulan belakangan ini ibunya sering menginap di rumah nenek Marc karena sang nenek mulai sakit-sakitan dan ayahnya yang bekerja lembur tidak kira-kira.

Marc langsung membulatkan matanya, ia tidak percaya apa yang ia lihat di depannya. Seseorang yang  tak ingin ia temui lagi.

“Hai, Marc!” seorang gadis langsung memeluk Marc manja.

Marc langsung cepat-cepat melepaskan pelukan si gadis. “Bi―Bianca? Kamu ngapain di sini? Kenapa kamu bisa di sini?” Lalu Marc melihat koper yang dibawa Bianca. “Kamu kabur?”

“Kamu hargain aku, dong. Aku capek-capek datang dari Amerika ke Spanyol cuma buat kamu. Aku nginep di rumah kamu, ya? Aku bingung mau ke mana. Aku ‘kan lahir di Amerika, bukan di sini,” pinta Bianca.

“Kamu lupa apa? Aku enggak mau ketemu kamu lagi! Bisa tidak, kau tidak mengganggu hidupku lagi?” bentak Marc. “Kau pikir aku akan mengizinkanmu tinggal di rumahku? Ibuku akan menerimamu? Kau yakin?”

“Kamu kenapa, sih?”

“Enggak usah pura-pura begitu, Bianca. Aku sudah muak sama kelakuanmu waktu itu. Aku tidak akan pernah bisa mempercayaimu lagi. Kau menyia-nyiakan aku, Bianca,” kata Marc masih dengan nada tinggi.

“Aku nyesal, Marc. Aku minta maaf, aku benar-benar sangat menyesal,” air mata mulai membasahi pipi Bianca. “Aku tak ingin semua ini berakhir begitu saja.”

“Maaf, Bianca, aku tidak ingin kasar kepadamu. Tapi, aku tidak bisa menerimamu di sini,” Marc langsung menutup pintunya tanpa berbasa-basi lagi pada Bianca. Perasaannya sangat kacau sekarang. Kenapa ia harus kembali di saat aku ingin bersama orang lain? batin Marc.

“Kenapa, Marc?” tanya Alex pelan kepada Marc yang masih terpaku di depan pintu. “Aku tidak berani datang tadi, sepertinya kau sangat marah dengan orang itu, jadi aku tidak berani ikut campur.”

“Bianca datang,” kata Marc lemah.

“APA?! BIANCA MANTANMU? DARI AMERIKA? KE SINI?” teriak Alex tak terkendali. Jantungnya mau copot karena Marc untuk yang kesekian kalinya. “Untung Mama enggak ada di rumah, coba kalau ada? Kau tidak akan dibiarkan Mama sekasar tadi sama perempuan.”

“Aku tak peduli. Aku rasa dia sudah gila,” Marc langsung naik ke kamarnya meninggalkan Alex.

“Ya, gadis itu gila,” gumam Alex.

***

Valen sedang membaca bukunya untuk persiapan ulangan umumnya yang akan dimulai besok. Ia jadi sering membaca buku semenjak Marc suka mencibirnya, Kau tidak perlu belajar, kau sudah pintar. Kata-kata itu selalu melayang-layang di benaknya.

Tiba-tiba saja ponselnya berdering. Tulisan nama Dani Pedrosa muncul di layarnya.

“Pasti mau ke sini,” gumam Valen. “Halo? Sudah di depan pagar? Aku panggil Bibi Molly, ya.” Lalu Valen menutup teleponnya.

“Tahu saja!” terdengar suara Dani teriak dari depan rumahnya.

“Bi! Bukain pintu buat Dani, dong!” teriak Valen pada Bibi Molly. Terdengar jawaban “ya” dari Bibi Molly.

Beberapa saat kemudian Dani langsung membuka pintu kamar Valen yang membuat buku Valen jatuh ke lantai. Memang hanya Dani lelaki yang Valen izinkan masuk ke kamarnya.

Kamar Valen berdinding merah muda dengan kasur besar bak kasur seorang puteri. Di sebelah kasurnya ada boneka teddy bear besar pemberian ayahnya. Ada meja belajar yang tertata rapi di sudut kamarnya. Dengan lantai yang seluruhnya beralaskan karpet. Terdapat juga sofa kecil berwarna merah di sudut yang lainnya. Rak buku tertata rapi serta beberapa rak lainnya yang di atasnya terpajang boneka-boneka kecil. Kamar mandi juga ada di dalam kamar Valen, jadi ia tidak perlu bolak-balik keluar kamar jika ingin ke toilet. Benar-benar kamar yang diimpikan seorang perempuan.

“Kebiasaan, ya,” omel Valen.

“Bagus dong kalau sudah biasa, harusnya kamu enggak perlu kaget. Belajar, yuk!” ajak Dani.

“Giliran mau belajar, baru nyari aku,” cibir Valen.

“Apaan? Aku sudah putus sama Marcia,” kata Dani santai.

“Jangan bikin aku senang, nanti putus beneran baru tahu.”

“Aku enggak bohong, kok.”

“Ih, beneran? Serius?” kata Valen dengan wajah sumringah.

“Iya, Valentina Garcia,” jawab Dani geregetan.

“Bagus!!!” Valen mengguncang-guncang pundak Dani. “Akhirnya kau sadar juga, akhirnya! Terima kasih Tuhan kau sudah menyadarkan sahabatku ini.”

“Ya, terima kasih, Tuhan,” kata Dani sambil tertawa.

“Kok tiba-tiba bisa sadar?”

“Marc yang ceramahin aku waktu itu. Terus akhirnya aku sadar.”

“Wih, hebat ya, Marc. Dia bisa menyadarkan orang-orang.”

“Orang-orang? Siapa saja?” tanya Dani heran.

“E―enggak,” jawab Valen terbata-bata.

“Hmm, aku tahu. Kau belajar karena Marc ‘kan?”

“Apaan? Aku memang mau belajar, kok. Dari pada enggak ngapa-ngapain?”

“Ah, masa?” kata Dani sambil menyenggol pundak Valen.

“Mau biskuit?” tawar Valen.

“Aku kayak peliharaan kamu, ya, lama-lama,” kata Dani dengan tampang masam.

***

Si bocah perempuan duduk terdiam di bangku piano. Ia menatap setiap tuts piano tersebut. “Apa aku bisa?” gumamnya.

Ia mulai menekan tuts-tuts piano tersebut dengan jari mungilnya. Mangalunkan lagu kesukaannya, Iris. Ia rela mempelajari lagu itu semenjak si bocah laki-laki memainkannya dengan piano ini. Padahal aliran piano yang ia pelajari klasik, bukan pop.

Setelah menyelesaikan lagunya, terdengar tepukan tangan dari bangku paling belakang auditorium. Si bocah laki-laki duduk di sana.

“Apa yang kau dengar?” tanya si bocah perempuan dingin.

“Semuanya,” kata si bocah laki-laki. “Aku tidak tahu kau bermain piano juga.”

“Bukan urusanmu,” kata si bocah perempuan ketus. “Aku lebih hebat darimu. Aku selalu jauh lebih hebat darimu,” katanya dengan nada sombong.

“Ya, kau memang lebih hebat. Tapi suatu hari nanti, aku akan lebih hebat darimu,” kata si bocah laki-laki dengan suara menantang.

“Benarkah? Kau langsung percaya diri karena ibu guru bilang padamu waktu itu? Karena IQ-mu lebih tinggi dari pada aku?”

“Aku tentu percaya diri, aku tahu aku bisa melakukannya. Memang mungkin tidak sekarang,” suara si bocah laki-laki tiba-tiba melemah.

“Suaramu saja sudah menampakkan ketidakpercayaan dirimu sendiri.”

“Tapi aku yakin aku bisa.”

“Kau. Tidak. Akan. Bisa!” bentak si bocah perempuan. “Tidak ada yang bisa mengalahkanku. Apalagi lelaki lemah sepertimu!”

 

to be continued…

 

Hope you will enjoy this part 😀

Comments below or mention to my twitter @felpercy. Thankies!

 

6

FF: The Genius One #5

Happy reading ❤

 

Sometimes the questions are complicated and the answers are simple.” 
― Dr. Seuss

 

“Aku enggak pernah bisa origami. Apalagi bikin burung-burungan kertas. Tapi ini bagus banget. Siapa yang kasih, ya?” kata si bocah perempuan yang menatap origami itu di kamarnya.

“Ayo, makan dulu,” kata pembantu rumah si bocah perempuan sambil membawa senampan makanan. “Kamu sudah bisa bikin origami?” tanyanya.

“Belum, ada yang menaruh ini di tasku. Baik sekali, ya, Bi,” kata si bocah perempuan dengan senang.

Sesudah makan si bocah perempuan lari menuju kamar ibunya. Ia sudah sangat senang menanti kelahiran adik barunya.

“Hai, ini aku kakakmu,” si bocah perempuan bicara kepada perut sang ibu sambil mengelusnya.

“Sudah enggak sabar?” tanya sang ibu.

“Tentu saja, Ma! Aku sangat teramat tidak sabar!” kata si bocah perempuan bersemangat.

“Aku juga mau bicara, aku juga mau,” tiba-tiba adik si bocah perempuan masuk ke kamar ibunya juga.

***

“Kau sudah sangat genius meskipun masih kecil. Kau bisa menyembunyikan identitasmu dengan hal-hal seperti itu pada Valen. Daebak!” kata Karen sambil menyenggol pundak Marc.

“Justru itu kebalikannya Karen,” kata Marc yang suaranya sedikit melemah.

“Maksudnya?” tanya Karen dengan heran.

“Ya, dulu aku anak yang bodoh. Sangat bodoh.”

“Benarkah? Aku tidak percaya.”

“Serius. Aku dulu bodoh banget. Padahal IQ-ku memang di atas rata-rata. Guruku benar, aku hanya belum menggunakan otakku dengan baik pada waktu itu,” curhat Marc.

“Wah, dan sekarang kau sangat mengagumkan. Coba kalau aku enggak suka sama Dani, bisa-bisa aku ikutan gila bersama wanita-wanita di sekolah kita,” kata Karen sambil tertawa kecil.

“Ah, tidak mungkin. Aku ini tetap saja hanya anak biasa.”

“Semenjak pertandingan pertamamu, semua wanita di sekolah tertuju padamu. Hanya saja kau tidak pernah menggubris mereka. Kau tidak genit seperti anak-anak basket lainnya. Contohnya Jorge. Ah, dia enggak jelas sebenarnya niat mau dekat sama Valen atau enggak. Untung Valen juga enggak pernah menggubris dia, sama kayak kamu,” jelas Karen.

“Jangan bilang aku sama kayak dia, ah. Aku sama sekali tidak mau dibandingin sama dia,” kata Marc dengan nada cuek.

“Tapi kamu ‘kan suka sama dia,” balas Karen.

Marc mendengus pelan. “Capek juga, kayaknya percuma.”

“Masa sudah nyerah?”

“Hey, tujuh tahun Karen. Tu-juh!”

“Wow, hebat juga. Emang di Amerika belum pacaran sama sekali?” tanya Karen penasaran.

“Pernah, cuma satu kali,” jawab Marc sambil mengacungkan jari telunjuk kanannya pada Karen.

“Woah,” kali ini Karen benar-benar terkejut. “Biasanya lelaki Amerika banyak pacarnya.”

“Aku ini lelaki Spanyol, bukan Amerika. Oh, iya, kenapa masih pakai kacamata? Biasanya kalau cheerleader enggak pakai. Terus rambutmu…” Marc menatap Karen sebentar lalu melepas ikatan rambut Karen, “… mendingan digerai. Siapa tahu Dani tertarik denganmu.”

“Dia ‘kan sudah pernah melihatku di cheerleaders dengan gaya seperti itu. Sepertinya dia tidak tertarik,” kata Karen sambil tersenyum kecut.

“Ya lanjutin saja. Enggak perlu nunggu jadi cheerleader buat narik hati dia,” kata Marc sambil tersenyum lebar pada Karen. “Pulang, yuk. Mau aku anterin atau gimana?”

“Aku pulang sendiri saja, rumahku dekat banget sama sekolah.”

“Oke, hati-hati, ya. Aku duluan,” pamit Marc.

***

Karena bosan, Valen berjalan-jalan di sekitar koridor sekolah. Ia tertarik dengan salah satu ruangan di sekolahnya, yaitu ruangan musik. Valen membuka perlahan pintu ruangan itu bahkan hampir tanpa suara karena takut ada orang di dalamnya.

Ternyata ia benar, ada seseorang yang sedang duduk di bangku piano sambil menatap piano di depannya, memunggungi Valen. Orang itu mulai mendentingkan tuts piano itu sambil bernyanyi.

And I’d give up forever to touch you

‘Cause I know that you feel me somehow

You’re the closest to heaven that I’ll ever be

And I don’t want to go home right now

And all I can taste is this moment

And all I can breathe is your life

‘Cause sooner or later it’s over

I just don’t wanna miss you tonight

And I don’t want the world to see me

‘Cause I don’t think that they’d understand

When everything’s made to be broken

I just want you to know who I am

Who I am…

Orang itu memainkan pianonya dengan tempo penuh emosi dan tekanan. Piano itu menjadi pelampiasannya saat ini. Valen yang mendengarnya pun terbawa suasana, seakan dentingan piano itu tercipta untuknya, kepada perasaannya.

Seketika orang itu menghentikan permainan pianonya. “Apa yang kau dengar?” tanyanya dingin tanpa menoleh kepada Valen.

“Semuanya,” ucap Valen lemah. Rasanya perasaannya telah dihantam bertubi-tubi oleh lagu itu.

Marc bangun dari kursi pianonya lalu menghampiri Valen. “Kau kenapa? Apa kau sakit?”

Tidak, hanya mini-heart attack, batin Valen. “Ti─tidak, aku tidak apa-apa,” kata Valen sambil merapikan poninya pelan.

Marc semakin berjarak sangat dekat dengan Valen.

“Apa yang kau lakukan?” tanya Valen dengan nada sedikit panik.

Marc menggerakkan telapak tangannya untuk memegang pipi Valen, tapi Valen malah mundur menjauhi Marc.

“Aku mohon, izinkan aku menyentuhmu. Sekali saja,” pinta Marc.

Tak sadar Valen terdiam lalu membiarkan Marc membelai lembut pipinya. Tiba-tiba saja Valen merasa nyaman dengan perlakuan Marc. Perasaan panik yang menjalar di tubuhnya tadi berhasil padam hanya dengan sentuhan dari Marc.

“Terima kasih telah mendengarkan laguku,” kata Marc sambil tersenyum.

“Sudahlah,” Valen melepaskan tangan Marc dari pipinya. “ Aku tidak ingin terlihat Karen, aku tidak mau dia salah paham.”

“Apa?”

“Dia pantas mendapatkanmu.”

“Aku tidak mengerti…”

“Semoga kau bahagia bersamanya─”

“Valen…”

“─dan jangan kecewakan dia, dia wanita yang baik. Kau tidak perlu menyangkalnya. Kalian terlihat serasi. Selamat sore, Marc,” Valen langsung pergi meninggalkan Marc yang dari tadi tak sempat menjelaskan yang sebenarnya.

Marc kembali ke pianonya lalu membanting jari-jarinya yang kekar pada tuts piano itu. “Sampai kapanpun dia tidak akan sadar dan mengerti,” gumam Marc penuh amarah.

***

“Kamu cantik,” kata si bocah laki-laki kepada si bocah perempuan yang sedang tertidur di kelas.

“Aku memang cantik,” tiba-tiba si bocah perempuan menjawab tanpa membuka matanya. Ia bangun, “Ngapain dekat-dekat aku? Sana sana,” usirnya.

“Aku ‘kan enggak apa-apain kamu.”

“Ya pokoknya enggak usah deh dekat-dekat. Satu meter paling sedikit.”

Si bocah laki-laki menggelengkan kepalanya. “Baiklah aku pergi.”

Si bocah perempuan berjalan cepat mendahului si bocah laki-laki, tak disangka si bocah perempuan tersandung tali tas temannya yang ditaruh di lantai. Untungnya, si bocah laki-laki sigap memegang tangan si bocah perempuan sehingga tak terjatuh.

“Kau bisa mematahkan lehermu,” kata si bocah laki-laki sambil menarik si bocah perempuan agar berdiri dengan benar.

“Kau tahu apa?” kata si bocah perempuan ketus. Ia langsung berlalu pergi tanpa mengucapkan terima kasih.

“Aku ini apa coba di mata dia? Ngomong terima kasih aja enggak,” gumam si bocah laki-laki.

***

“Ini bangunnya ‘kan enggak beraturan, kamu bagi-bagi sesuai yang ada rumus luasnya misalnya persegi, segitiga, trapesium. Nah, nanti kalo sudah ketemu hasil-hasilnya tinggal kamu tambah, itu luas seluruhnya. Gampang banget ini. Sudah mau lulus ginian saja masih oon. Lex, Lex.”

“Untuk apa aku punya kakak genius jika tidak bisa aku tanyakan apa-apa? Sudah bagus adikmu ini bertanya,” kata Alex agak ngambek.

“Iya, iya. Sudah cepat kerjakan. Nanti aku periksain,” kata Marc sambil mengacak-acak rambut Alex.

“Aduh, anak Mama pintar-pintar semua. Nih, Mama bikinin brownies,” ujar Mama Roser, ibu Marc dan Alex.

“Kebetulan banget Marc lapar. Thank you, Ma,” lalu Marc langsung mengambil sepotong brownies yang disediakan ibunya.

Tiba-tiba saja bel pintu rumah Marc berbunyi.

“Mama saja yang buka, kalian lanjut belajar,” kata Mama Roser lalu ia berjalan menuju pintu.

“Alex!!! Kamu ngundang teman-temanmu?” teriak Mama Roser dari arah pintu.

“Iya, Ma, suruh masuk saja,” balas Alex dengan teriakan juga.

Lalu segerombolan anak sepantaran Alex memenuhi ruang tamu rumah kediaman Marquez.

“Kalian mau tawuran atau apa?” tanya Marc heran sambil menghitung berapa anak yang datang. Ada tujuh orang, semuanya anak laki-laki.

“Kita mau belajar sama kau, Marc,” kata Alex dengan nada gembira.

“Dasar kau, Alex!!!” jerit Marc.

Akhirnya Marc pasrah. Hitung-hitung membagi ilmu kepada yang lebih muda darinya.

Setelah kira-kira satu setengah jam menjadi guru privat dadakan, tiba-tiba bel pintu rumah Marc berbunyi lagi.

“Ada gelombang duanya?” kata Marc sambil memelototi Alex.

“Apaan? Enggak ada cuma segini doang, Marc.” Alex juga ikut-ikutan memelototi Marc. “Matanya biasa aja, dong.”

Marc menormalkan posisi matanya setelah beradu mata dengan Alex. Dia membuka pintu rumahnya karena tadi ibunya sedang pergi ke rumah nenek Marc.

“Hei, Bro!” sapa Dani dengan senang.

Satu pengacau lagi, pikir Marc. Tapi dia senang sahabatnya bisa ke rumahnya agar ia tidak terkucilkan oleh teman-teman Alex yang tiga tahun di bawahnya. “Ayo, ke kamarku saja,” ajak Marc.

“Woah, kamarmu belum berubah,” seru Dani.

Kamar Marc memang belum di renovasi lagi sejak kepergiannya ke Amerika, bedanya dulu Alex sekamar dengannya. Cat berwarna hijau muda lembut menghiasi dindingnya. Rak kecil yang menggantung di dindingnya, di atasnya terdapat beberapa miniatur motor balap, foto masa kecilnya, bahkan beberapa boneka kecil yaitu boneka kumbang dan teddy bear. Ranjangnya juga ditutupi dengan warna senada dengan tembok kamarnya, ada boneka bugs bunny kesayangan Marc di atasnya. Tak lupa ada televisi dengan layar lumayan besar agar ia dan Alex bisa puas bermain Play Station.

“Ya, aku tidak sempat. Lagian kamar ini tetap nyaman meski tidak di renovasi sama sekali. Bahkan apartemenku yang di Amerika tidak senyaman kamarku sendiri,” kata Marc sambil tertawa.

“Ih, bohong banget,” balas Dani sambil tertawa juga.

“Mau ngapain ke sini? Tumben. Enggak pacaran?” tanya Marc.

“Kau makin sama kayak Valen, ngungkit tentang pacar terus. Kayak kau belum pernah pacaran saja,” jawab Dani dengan suara ngambek.

“Ya aku pernah, tapi enggak membahagiakan.”

“Sama, aku juga Marc. Cuma sayang kalo diputusin.”

“Aduh, bodoh banget sih, Dan? Kasus kita sama, cuma mantanku enggak se-populer Marcia. Tapi ya tetap aja, jangan maulah dibodohin wanita terus. Terkadang wanita bisa lebih jahat dari pada kita,” terang Marc.

“Sayang tapi Marc, aku juga suka banget sama dia.”

“Ya sekedar suka aja ‘kan? Kau cuma sebatas mengagumi dia saja, enggak lebih. Carilah di luar sana. Pasti ada yang jauh lebih baik,” kata Marc sambil menepuk punggung Dani. “Ah, sudah enggak perlu galau, mending kita main PS. Sudah lama kita tidak main bareng.”

***

Si bocah laki-laki sedang duduk di depan piano yang ada di atas panggung auditorium sekolahnya. Ia duduk sendirian, di depannya juga ada kertas-kertas yang berisi sebuah lagu.

“Lirik lagu ini bagus, aku suka,” gumamnya.

Ia mulai mempelajari satu-satu not lagu tersebut sambil mencobanya sedikit-sedikit dengan pianonya.

Ternyata dari kejauhan si bocah perempuan duduk di bangku paling belakang auditorium. Ia mendengar setiap dentingan piano yang si bocah laki-laki mainkan. Mendadak ia merasa nyaman. Padahal lirik lagunya tidak tersirat kebahagiaan yang sepenuhnya.  

“Iris, dinyanyikan oleh Goo Goo Dolls, tahun 1998,” gumam si bocah perempuan.

 

to be continued…

 

how is it? Thank you yang udah selama ini baca blog aku. I’m really happy and welcome to all of you. Aku berharap juga kalian komen *ngarep banget* but nope, i mean, aku mau tahu siapa aja sih yang rajin baca. Itu aja kok :D. I’m trying hard to make this fiction more better for y’all. Thanks ❤

8

FF: The Genius One #4

Happy reading ❤

Genius is an infinite capacity for causing pain.” 
― Margaret AtwoodThe Robber Bride

 

“Aku tidak percaya ini,” geram Valen yang sedang melihat ke mading sekolahnya.

Tiba-tiba Karen menghampiri Valen di sebelahnya. “Jangan murka, berilah orang lain kesempatan menang,” kata Karen tenang.

Tanpa menggubris Karen, Valen langsung meninggalkan tempatnya berdiri lalu entah pergi ke mana.

“Sudah bagus aku menasihatinya,” gumam Karen.

Tak disangka mood Karen yang sedang bagus berubah menjadi mendung. Ia melihat sesuatu yang sangat menyakiti hatinya. Ia terduduk lemah di bangku taman sekolah lalu air mata mulai membanjiri matanya.

Marc yang sedang berjalan-jalan melihat Karen yang sedang menunduk. Karena penasaran, ia memutuskan untuk menghampiri Karen.

“Karen?” panggil Marc lalu duduk di sebelahnya. Ia mendengar Karen terisak pelan. “Kau kenapa? Kenapa menangis?” tanya Marc lagi. Mendadak perasaannya menjadi kacau jika melihat wanita menangis.

Di luar dugaan Marc, Karen langsung memeluk Marc yang membuat Marc sempat terkejut. Tapi akhirnya Marc memutuskan untuk diam karena Karen pasti sedang sangat membutuhkan sandaran untuk perasaannya saat ini.

“Sekarang kau mau bercerita padaku?” tanya Marc pelan.

Karen mengangguk pelan. Ia bercerita dalam dekapan Marc. “Aku suka sama Dani.”

“Wah benarkah? Kau sudah bilang?”

“Dia tak pernah tahu. Aku menyembunyikannya sejak aku pertama kali bertemu dengannya waktu kelas 10. Tapi ia terlalu dekat dengan Valen, makanya aku tidak berani mengganggunya. Menjadi temannya sudah lebih dari cukup,” jelas Karen.

“Kau tenang saja, Dani itu tak ada hubungan spesial apapun dengan Valen. Mereka hanya bersahabat dari kecil. Lalu tangisanmu ini karena apa?” tanya Marc lagi.

“Dia jadian dengan Marcia.” Sesaat mengucapkan kalimat itu, Karen kembali berurai air mata. Ia tak tahan dengan kejadian yang tadi ia lihat.

“Sssttt, sudah tidak apa-apa,” Marc mendekap Karen lebih dalam. “Aku mengerti perasaanmu.”

Ternyata dari kejauhan, ada dua pasang mata dari arah berlawanan yang menatap Marc dan Karen dengan tajam.

***

“Hei! Berhentilah mengirimkanku kelereng-kelerengmu yang tak berguna ini!” ucap si bocah perempuan kepada salah satu teman laki-lakinya.

“Tapi aku memberikannya karena aku menyukaimu…” kata teman laki-laki si bocah perempuan.

“Aku tidak peduli! Aku tidak mau punya pacar sepertimu!” olok si bocah perempuan dengan kasarnya.

Si bocah laki-laki menatap ke arah si bocah perempuan. Si bocah perempuan menyadarinya lalu berkata, “Apa yang kau lihat bocah bodoh?”

“Kau kasar sekali,” kata si bocah laki-laki dengan suara dingin.

“Peduli apa kau? Mengurutkan abjad saja mungkin kau masih belum bisa,” oloknya pedas.

“Belajarlah menjadi orang baik,” kata si bocah laki-laki. “Dan aku bisa mengurutkan abjad,” kata si bocah laki-laki masih dengan nada yang tenang tetapi dingin. Lalu ia keluar dari kelas meninggalkan si bocah perempuan.

Karena murka, si bocah perempuan membanting kotak pensil si bocah laki-laki. “Rasakan,” gumamnya.

***

Saat berjalan di koridor sekolah, Valen melihat Dani yang digandeng Marcia dengan manja.

“Hei!” Valen melepaskan tangan Marcia dari lengan Dani. “Ngapain pegang-pegang Dani?” tanyanya ketus.

“Apaan sih?” balas Marcia lalu menggandeng lengan Dani lagi. “Aku pacarnya Dani tahu.”

Valen langsung melotot tajam kepada Dani.

“Ayolah Valen, sudah waktunya aku punya pacar bukan? Kita tak bisa nempel terus, tapi kau tetap menjadi sahabatku.” Dani mengacak-acak rambut Valen lalu meninggalkan Valen yang masih terdiam di tempatnya.

Dulu Karen, sekarang Dani. Terus sekarang aku sendirian? tanyanya dalam hati.

“Hai cantik,” goda Jorge.

“Apaan?” jawab Valen dengan nada tidak peduli.

“Lihat dong, ulangan Ekonomi-ku dapat 75, bagus ‘kan?”

“Heh? Hanya segitu yang bisa kau dapat?” Valen langsung pergi meninggalkan Jorge.

Jorge menatap kepergian Valen dengan muka masam.

“Sudah kubilang ‘kan?” tiba-tiba Marc keluar dari pintu kelas yang ada di samping Jorge. Ia melirik lembar ujian Jorge. “Cuma segini?” Marc mengambil lembar itu, membentuknya seperti bola dan memasukkan ke tong sampah di depan kelas dengan gaya lay-up seperti biasa. Kemudian ia meninggalkan Jorge yang mukanya makin masam.

Jorge langsung mencari kertasnya lagi ke dalam tong sampah. Buatku itu sudah bagus, katanya dalam hati.

***

“Hey, Marc,” panggil Alex.

“Apa?” jawab Marc yang sedang memakan keripik kentang.

“Dia cantik tidak?” Alex menunjukkan foto seorang wanita yang memakai baju cheerleader.

“Dia temanku,” Marc menjitak kepala Alex pelan.

“Siapa namanya?”

“Karen,” sejenak Marc menghentikan kegiatan mengunyahnya. Ia melihat ke arah muka Alex yang mulai senyum-senyum enggak jelas melihat foto Karen. “Hei, dia itu lebih tua tiga tahun darimu. Dia tidak akan mau bocah sepertimu.”

“Ah kau ini, aku ‘kan hanya tanya padamu dia cantik atau tidak,” kata Alex lalu ia mengambil salah satu keripik yang dimakan Marc.

“Tumben kau mau ke gedung SMA, jauh ‘kan?” tanya Marc.

“Aku tidak mau melewatkan pertandingan perdana kakakku. Oh iya, olimpiade-mu bagaimana?”

“Memangnya tidak ditempel di mading SMP?”

“Tidak, Marc. Kalau ditempel aku tidak akan bertanya kepadamu. Kau pintar tapi tak jarang kau membolak-balikkan pertanyaanku,” kata Alex yang disambut tertawaan kecil dari Marc.

“Ya, seharusnya kau tahu.”

“Ah! Aku bangga sekali padamu,” seru Alex sambil menampar pelan pipi kiri Marc. Tampar-menampar pelan sudah menjadi kebiasaan mereka. Bahkan terkadang Marc menjadi alarm bangun Alex dengan cara mendorong-dorong bokong Alex.

“Valen?” tanya Alex lagi.

“Ah, sudahlah. Aku tak mau membahas dia,” jawab Marc dingin.

“Dokter?” tanya Alex dengan nada semakin penasaran.

“Lex,” Marc menatap garang Alex. “Di dapur ada Mama, jangan ucapkan kata dokter jika kita tidak sedang di kamarku atau kamarmu,” jelas Marc dengan suara berbisik.

***

Valen menatap sedih bingkai foto keluarganya di atas meja belajarnya.

“Aku selalu lupa wajah kalian semua,” air mata mulai mengalir di pipinya. “Adik-adikku bahkan tidak mungkin mengingatku.”

Di bingkai foto itu duduklah ayah dan ibu Valen, Valen berada di pangkuan ayahnya sedangkan adiknya ada di pangkuan ibunya. Saat foto keluarga itu, ibu Valen sedang hamil anak ketiganya. Saat itu perut ibunya belum terlalu besar, makanya bisa memangku adik Valen.

“Kenapa mereka semua meninggalkanku? Apa aku terlalu genius? Apa mereka tak mau punya anak genius sepertiku? Di saat orang-orang bangga punya anak genius, aku ditinggalkan begitu saja? Aku ini apa?!” Ocehannya ternyata mengundang Bibi Molly untuk masuk ke kamarnya. Bibi Molly langsung mendekap Valen dalam pelukannya.

“Apa salahku, Bi?” sekarang tangisan Valen tak terbendung lagi.

“Sssttt, aku tak mau melihatmu menangis seperti ini lagi. Aku tak sanggup,” pinta Molly pada Valen. Air matanya juga mulai mengalir. “Anggap aku ini ibumu, bagaimana?”

Valen mengangguk pelan masih dengan air matanya yang mengalir deras.

***

“Perpindahan elektron dapat dihitung energinya dengan cara membagi 13,6 dengan jumlah kulit ke berapa yang dikuadratkan,” kata Sir Patrick sambil menuliskan rumus di atas papan tulis.

“Maaf, Sir,” kata Marc yang sedang mengacungkan tangannya.

“Ada yang salah?” tanya Sir Patrick.

“Itu seharusnya -13,6, bukan?”

“Oh, iya, kau benar. Seharusnya -13,6. Pintar sekali Marquez,” lalu Sir Patrick mengoreksi rumus yang ia tulis di papan tulis tadi.

Dari kejauhan Valen menatap Marc dengan tatapan garang. “Sok pintar sekali,” gumamnya.

“Minggu depan kita ulangan sampai sini…” Sir Patrick menunjuk rumus energinya tadi, “… dimulai dari Gaya Coulomb, kuat medan listrik, Hukum Kirchoff, Gaya Lorentz, Hukum Farraday, rangkaian R-L-C, juga teori-teori atom milik Rutherford dan Bohr saja. Jangan lupa juga kelemahan teori mereka masing-masing. Belajarlah dengan serius, ini tahun terakhir kalian,” katanya memperingatkan.

“Baik, Sir,” jawab para murid lemah seakan habis ditinju bertubi-tubi oleh materi yang luar biasa banyaknya.

“Satu lagi,” kata Sir Patrick yang membuat seisi kelas diam seketika. “Sehabis ulangan nanti kalian akan aku uji praktek kaidah tangan kanan, ingat ya.”

“Mati aku,” kata Valen sambil menepuk jidatnya.

“Pasti enggak ngerti kaidah tangan kanan, iya ‘kan?” tanya Marc dengan senyum sinis.

“A─apaan, sih? Ngerti dong, aku ‘kan pintar,” kata Valen tanpa mengarahkan pandangannya pada Marc.

“Ih, geli,” kata Marc dengan tampang jijik yang dibuat-buat. Lalu ia keluar membawa bola basket di tangannya.

“MAARRCCC!!!” teriak Valen yang membuat seisi kelas mengalihkan pandangan kepadanya, tetapi ia tak peduli.

“Berisik, bikin polusi suara aja,” kata Tiana─teman sekelas Valen─dengan sinis.

***

Tak terasa semester pertama sudah mau lewat. Semua siswa dan siswi bersiap-siap mengikuti ujian semesternya hanya dalam hitungan minggu. Sudah terlihat muka stress di wajah mereka. Terutama Dani.

“Valen, ajarkan aku dong, sudah mau ujian. Aku mohon,” pintanya pada Valen.

“Sana minta ajarin Marcia. Kamu salah pilih pacar. Cantik sih cantik, otak enggak ada isinya,” kata Valen dengan tampang cuek.

“Terus, aku harus pacaran sama kamu?” goda Dani.

“Enggak mau, kamu sama bolotnya kayak Marcia,” kata Valen yang disambut respon muka kecut dari Dani.

Kemudian Marc dan Karen lewat di hadapan Valen dan Dani. Salah satu tangan Marc merangkul Karen.

Dani cepat-cepat mengambil salah satu buku di tasnya, “Jangan panas, jangan panas,” kata Dani sambil mengipas-ngipas Valen dengan bukunya.

“Diam, ah!” bentak Valen yang langsung pergi meninggalkan Dani.

“Aku mau menenangkanmu. Hey!” panggil Dani tapi tidak direspon oleh Valen yang berjalan menjauh.

Dari kejauhan Dani melihat Marcia yang masuk ke kelas bersama seorang pria. Padahal seharusnya jam segini semua kegiatan di kelas sudah tidak ada. Semua sahabatnya tak tahu rasa sakit apa yang ditahannya ketika berpacaran dengan Marcia.

Marcia memang terkenal dengan kecantikannya, tapi pernah ia mendapatkan ranking paling terakhir. Otaknya memang tak sepadan dengan kecantikannya. Tetapi banyak juga lelaki di sekolahnya yang buta akibat kecantikannya, termasuk Dani. Meski sudah berpacaran dengan Dani pun, aura menggodanya masih tidak hilang dan malah makin menarik perhatian laki-laki lain.

Terkadang pacaran dengan wanita populer tidak selamanya menyenangkan.

***

“Sepertinya dia tidak peduli,” kata Karen sedih.

“Ya, kita terus mencoba saja,” Marc menenangkan Karen.

“Tapi sepertinya malah Valen yang cemburu, aku curiga dia menyukaimu. Meskipun dia membencimu karena kau lebih pintar darinya.”

“Benarkah? Bagaimana kau bisa menebaknya? Kau tidak pernah mengobrol dengannya lagi setahuku,” tanya Marc heran.

“Aku sudah bilang ‘kan aku berteman dengannya dari awal masuk SMA. Aku sudah bisa membaca perasaannya hanya dari raut mukanya,” kata Karen sambil tersenyum.

“Oh, iya. Aku ingin bertanya sesuatu.”

“Ada apa?”

“Apa ada yang terjadi pada Valen setidaknya beberapa tahun sebelum aku masuk sekolah ini?” tanya Marc pelan.

“Tidak. Yang kutahu dia hanya mudah capek. Itu saja. Tapi seharusnya kau tanya Dani,” kata Karen. “Kau kenal Dani dari mana?” tanyanya.

“Oh, dia teman masa kecilku hingga sekarang.”

“Berarti kau juga kenal Valen?” nada suara Karen berubah sedikit kaget.

“Ya… begitulah…”

“Berarti kau… Kau yang memberikan semua itu…” kata Karen setengah berteriak.

“Diam!” Marc cepat-cepat menutup mulut Karen dengan tangannya.

Ternyata dari kejauhan Valen melihat apa yang dilakukan Marc pada Karen tadi. “Aku salah tempat,” gumamnya.

“Dari mana kau tahu juga? Ya ampun kau ini peramal, ya?” tanya Marc masih dengan perasaan panik lalu melepaskan tangannya dari mulut Karen.

“Kau meninggalkan inisialmu di bunga mawarnya ‘kan? Aku melihatnya, huruf M. Tapi Valen tidak tahu karena kau menuliskannya di tempat yang benar-benar sulit untuk dicari. Aku tidak memberitahu Valen, kok. Tenang saja,” jelas Karen.

“Kau memang pintar menganalisis,” gumam Marc pada Karen.

 

to be continued…

 

Oke, maybe part 5 bakal ngaret ngaret ngaret banget di posting-nya ++ emang belom selesai. Soalnya aku mungkin ada kegiatan melelahkan mulai minggu depan yang enggak memungkinkan aku untuk menyelesaikan ff. But don’t worry, ff ini masih panjang banget dan rencananya, IF kalian really like this ff, aku akan coba kirim ke penerbit dan tentu enggak dalam bentuk ff. Aku akan ubah nama tokohnya pasti. Jadi kalo suatu saat ff ini selesai dan aku protect, berarti i already sent it ke penerbit. Berarti juga, ff ini bakal punya part yang banyak hehe. So, pray for me please. Semoga aku bisa nyelesain ff ini dengan baik and bikin kalian makin seneng bacanya.

Comments belowwww

 

2

FF: The Genius One #3

Happy reading ❤

 

The distance between insanity and genius is measured only by success.” 
― Bruce Feirstein

 

Valen kembali dari kantin sambil membawa sebotol air mineral. Ia berniat memberikannya kepada Marc tetapi ia tidak berani. Tetapi ia masih bersikeras untuk memberikannya pada Marc meskipun Marc sudah mempunyai minuman sekali pun. Akhirnya, Valen memutuskan untuk pergi ke ruang loker para pemain.

“Aaahhhh!!!!” teriak Valen dengan nyaring dan langsung membalikkan badannya karena melihat para pemain yang bertelanjang dada di sana.

“Mau ngapain ke sini?” tanya seorang lelaki.

Valen berbalik, “Nih buat kamu…” ia menyodorkan air mineral yang dibawanya tadi. Lalu ia melihat ke wajah lelaki itu, ternyata…

“Wah, tumben, kamu akhirnya menyesal, ya?” kata Jorge dengan muka menggodanya itu.

Valen melotot melihat Jorge yang juga bertelanjang dada itu. Seketika Marc memakai kausnya, menggandeng, lalu menarik Valen keluar dari ruangan penuh dengan laki-laki yang dicintai hampir semua kaum wanita di sekolahnya itu. Rasanya mereka bisa pingsan dan menangis-nangis kalau masuk ke ruangan itu.

“Apa yang kau lakukan? Jangan pernah masuk lagi ke ruangan itu. Tidak pantas wanita masuk ke sana,” oceh Marc.

“Maaf, tadinya aku cuma mau memberikanmu air mineral,” kata Valen sambil menunduk. “Selamat atas kemenangan kalian.”

“Terima kasih,” kata Marc singkat.

Valen pergi menuju perpustakaan. Sepanjang jalan ia menggumam sendiri sambil memukul-mukul pelan kepalanya, “Bodoh sekali, bodoh sekali aku.” Lalu ia duduk di pojokan ruangan perpustakaan, tempat favoritnya.

“Aku mencarimu ke mana-mana Valentina,” kata Dani yang membangunkan Valen dari lamunan yang kelihatannya seru sekali.

“Oh, maaf Dan,” kata Valen lalu ia melanjutkan lamunannya.

“Aku kangen kamu jadi judes lagi. Biasanya kamu tidak pernah bilang terima kasih, apalagi maaf,” celoteh Dani.

“Diamlah,” Valen langsung pergi meninggalkan Dani.

***

“Ma, jangan pergi, aku mohon!!” teriak si bocah perempuan sambil memeluk kaki ibunya.

“Pergi! Lepaskan kakiku! Aku tidak mau mempunyai anak sepertimu,” kata sang ibu sambil mengibas-ngibas kakinya.

“Tapi kau ibuku,” kata si bocah sambil menangis.

“Tidak, kau bukan anakku. Mereka berdua anakku,” kata sang ibu sambil menunjuk kepada bayi yang digendongnya dan anak kecil yang digandengnya.

“Sudahlah, biarkan ibumu pergi,” kata seorang pembantu sambil menarik si bocah perempuan ke dekapannya.

Sang ibu langsung pergi begitu saja, ia sebenarnya tidak tega harus meninggalkan anaknya itu. Tetapi ia tidak bisa menahan rasa sakit hatinya. Sesudah kepergiannya, ia tidak pernah kembali lagi bahkan menghubungi si anak…

***

Valen terbangun dengan mata yang sembap dan sekujur tubuhnya berkeringat. Ia sedih sekali mengingat mimpi masa lalunya yang menyedihkan. Haruskah mimpi seperti itu selalu datang? tanyanya dalam hati.

Molly masuk ke kamar Valen sambil membawa senampan makan malam. “Mimpi lagi?” tanyanya.

“Iya, Bi. Aku lelah seperti ini terus,” jawab Valen lemah.

“Yang penting itu tidak mengganggu kerja otakmu,” katanya sambil tersenyum. “Besok ada ujian?”

“Iya, ada. Aku malas pegang buku,” kata Valen sambil menyantap sedikit demi sedikit makanannya.

“Ya sudah, aku memang tidak pernah memedulikan nilaimu. Kau terlalu pintar,” kata Molly sambil mengelus kepala Valen.

***

“Marc,” panggil Alex.

“Apa?” kata Marc yang sedang membaca buku kimianya.

“Kau mau kuliah di mana?” tanya Alex penasaran.

“Aku tidak tahu, aku malas mencari,” jawab Marc cuek.

“Ih, mentang-mentang pintar, lihat saja beberapa bulan lagi akan ada surat dari Harvard, Oxford, Stanford, dan semacamnya. Tapi, kau tertarik dengan jurusan apa?”

“Bisakah kau tak menggangguku? Aku sedang konsentrasi,” omel Marc.

“Aku penasaran Marc. Kita masih belum lama bertemu,” kata Alex dengan gaya manjanya pada Marc.

“Aku mau masuk kedokteran, apa kau setuju?”

“APA?! KEDOKTERAN?” Alex kaget hingga jantungnya hampir copot.

“Apa kalian baik-baik saja?” teriak ayah mereka dari lantai bawah.

“Tidak, Pa! Kami tidak apa-apa!” teriak Marc membalas teriakkan ayahnya. “Kau bisa diam tidak? Aku belum mau mati muda,” katanya pada Alex.

“Kau benar-benar mau menantang Papa, ya?”

“Aku tahu, tapi aku ingin sekali,” kata Marc dengan sedih.

“Kau mau mengingatkan Mama dan Papa dengan kejadian waktu itu? Aku memilih tidak, Marc. Meskipun kau mendapatkan beasiswa sampai ke planet Mars pun, aku yakin Papa tidak akan mengizinkanmu,” seru Alex mengingatkan.

Marc sebentar memikirkan kejadian yang pernah dialami ayah dan ibunya akibat kelakuan seorang dokter.

“Pikirkan lagi Marc, aku mendukungmu, tetapi sepertinya mereka tidak,” Alex menunjuk ke bingkai foto keluarganya yang terletak di atas meja belajar Marc. “Papa ingin kau mengurus perusahaannya.”

“Dari mana kau tahu?” tanya Marc heran.

“Aku sempat mendengar Papa saat mengobrol dengan temannya waktu itu. Dia bercerita dengan semangat kepada temannya bahwa kau akan mengurus usahanya.”

“Dan dia akan lebih kecewa lagi saat aku tidak mau melakukannya.”

“Hah? Meskipun kau tidak menjadi dokter, kau tetap tidak mau mengurus perusahaan Papa?” jantung Alex mau copot lagi untuk kedua kalinya. Perkataan kakaknya ini memang suka sekali membuatnya sakit jantung.

“Aku tidak tertarik dengan bisnis, Lex. Entah kenapa. Aku selalu menginginkan sesuatu yang berbau science dalam hidupku. Hal itu selalu membuatku penasaran.”

“Memang kau sangat berbeda, dari kecil kita sudah sangat berbeda. Aku berharap kau dapat merubah pikiranmu…” kata Alex sambil berjalan ke arah pintu, “…untuk mereka.” Lalu Alex keluar dari kamar Marc.

Marc kembali merenungkan perkataan adiknya. Ia sangat ingin menjadi dokter, tetapi jika sang ayah tak mengizinkan, apa yang harus ia lakukan? Pekerjaan yang dilakukan tidak dengan niat sepenuh hati pasti tidak akan mendatangkan hasil yang baik.

Apa yang harus kukatakan pada Papa nanti? pikir Marc.

***

“Argh,” Jorge membentuk kertas ulangannya seperti bola lalu membuangnya yang ternyata terkena kaki seseorang.

Orang itu mengambil dan membuka kertas ulangan yang hampir tak berbentuk itu lalu  tersenyum mengejek, “Dapat 30? Kau ganteng tapi otakmu ada di mana?” ejeknya.

“Hei, Marc, kita ini satu tim. Jangan mencari ribut denganku,” omel Jorge.

“Ini baru sosiologi, bagaimana ekonomi dan geografi? Ya ampun Jorge. Aku tidak mau mengejekmu atau apa, tapi kalau kau ingin jadi pacar Valen, jangan menggodanya terus. Kau hanya membuatnya risih. Kau tahu dia itu pintar, mungkinkah dia mau kalau otak mu masih seperti ini…” Marc mengangkat kertas itu sejenak, “… Dia bukan wanita sembarangan.”

“Kau tahu apa? Kau anak baru di sini. Kau juga belum pernah mengenal dia sebelumnya,” kata Jorge dengan senyum menyebalkannya.

“Mungkin,” kata Marc singkat. Ia lalu kembali membuat kertas ulangan itu seperti bola lagi dan melemparnya ke dalam tong sampah dengan gaya lay-up seperti yang biasa ia lakukan saat bermain bola basket. Sesudah itu Marc bergegas ke perpustakaan.

Saat Marc sedang melihat-lihat buku, ia melihat Valen duduk dipojokan perpustakaan. Marc menghampirinya, “Apa yang kau lakukan?” ia menengok sebentar buku yang dibaca Valen, “Kimia? Tumben baca buku. Biasa pamernya enggak perlu belajar sudah dapat nilai bagus.”

“Kalau ini bukan untuk olimpiade aku juga tidak akan membacanya,” kata Valen tanpa mengalihkan wajahnya ke arah Marc.

“Wah, ikut olimpiade juga? Sama kalau begitu,” kata Marc sambil mengambil salah satu buku dari dalam rak. “Kata Ms. Moretti bahannya dari kelas 2 dan 3 sebagian. Tapi, yang kelas 3 mendingan belajar semua juga katanya, takutnya menjebak.”

“Kok tahu bahannya? Aku tidak diberi tahu.” tanya Valen heran.

“Yakin? Aku diberi tahu detailnya pula. Bahkan dikasih tahu bukunya dari mana. Pantas aku bingung kenapa kau mengambil buku sebanyak itu,” kata Marc.

Valen menatap tumpukan bukunya yang tebalnya amit-amit. Ia merasa dibodohi karena setiap olimpiade, tidak ada guru yang pernah memberinya bahan. Meskipun ia tetap sering meraih juara satu, Valen tetap kesal karena tidak diberi tahu. Pilih kasih sekali, batinnya kesal.

Ya, begitulah Valen. Karena sifat arogannya yang menyebalkan, para guru juga kesal dengannya. Untung dia pintar, coba kalau tidak? Mungkin guru-guru tidak akan mengasihani dia.

“Marc…” panggil Valen yang dibalas dengan tatapan Marc, “… belajar bareng, yuk.”

“Enggak mau, ah. Kau sudah pintar,” kata Marc lalu ia berlalu pergi.

“Ih, menyebalkan banget sih dia,” omel Valen. Ia bangkit lalu mengejar Marc. “Kasih tahu aku bahannya.”

“Enggak. Harusnya kau tidak perlu tahu ‘kan?” jawab Marc cuek.

“Please…” mohon Valen pada Marc.

“Jangan memohon.”

“Please…” kali ini Valen memegang lengan Marc.

Sontak Marc kaget lalu melepaskannya, “Apaan sih? Sana belajar sendiri saja. Jangan ganggu aku.”

Valen lalu terdiam melihat perlakuan Marc padanya. Ia tidak pernah melihat ada yang sekasar ini padanya selain salah seorang yang ia sayangi di masa lalu.

***

Marc duduk di taman sekolah sambil memakan roti yang ibunya masukkan di tas ranselnya. Ia kembali memikirkan kejadian tadi. Wah, aku berani kasar pada Valen, pikirnya. Rasanya seperti pembalasan dendam, tapi Marc tidak bermaksud begitu. Hanya memang ia masih sangat kesal pada Valen.

Marc mulai membuka buku kimia yang dipinjamnya tadi di perpustakaan, “Aduh, ada polimer-polimer lagi, malas banget belajar ini,” ia mengeluh sendiri. Meskipun ia suka science, tapi menurut Marc ada beberapa yang tidak masuk akal seperti bentuk-bentuk molekul. Ia sangat membencinya karena harus menghafal bentuk-bentuknya yang aneh sekaligus nama-namanya.

“Asam benzoat, fenol, metil salisilat, trinitro toluena…” gumam Marc pelan.

Seketika salah satu pengacau lagi mengganggunya belajar, untung sahabatnya.

“Hai,” sapa Dani sambil memakan biskuit.

“Kimia?” tawar Marc.

“No, no, no,” tolak Dani sambil menggeleng. “Jangan tunjukkan buku hina itu padaku.”

Dani sebenarnya pintar tapi malasnya enggak ketolongan. Dia juga sebenarnya tidak mau masuk IPA tapi karena sang ayah, ia tak bisa menolaknya. Jarang memegang buku dan menyontek PR di kelas sudah jadi kebiasaannya sekarang.

***

Karena ia bosan melihat buku kimianya, Valen memutuskan untuk mengobrak-abrik laci meja belajarnya. Laci itu berisi berbagai kenangan yang hingga sekarang masih tak ia ingat jelas. Di laci itu terdapat banyak kertas-kertas usang, barang-barang kecil yang biasa ia kumpulkan dan satu lagi, origami burung-burungan kertas yang banyak jumlahnya dan berwarna-warni. Hingga sekarang ia tidak tahu siapa yang memberikan itu padanya.

Kata Bibi Molly ia selalu menemukan origami itu di dalam tas kecil milik Valen dulu. Memang tak setiap hari, mungkin setiap minggu. Tetapi setelah beberapa hari sehabis kecelakaan yang menimpanya, ia tak pernah menerima origami itu lagi.

Valen meraba lagi lacinya hingga sudut terdalam. Ia menemukan bunga mawar tetapi tidak berwujud asli, mawar itu terbuat dari plastik. Mungkin agar bisa disimpan selamanya oleh Valen tanpa harus layu termakan hari. Ia tahu yang memberikan barang-barang itu bukanlah orang sembarangan. Untuk itu, Valen menganggap orang yang memberikan semua itu sebagai cinta pertamanya. Ingin sekali ia mengetahui siapa orang yang setidaknya juga berperan banyak dalam masa lalunya meskipun sebelum kenangannya habis tak bersisa ia juga tidak tahu siapa orang ini.

Tujuh tahun sudah ia mencoba mengingat sedikit demi sedikit kenangannya di masa lalu. Anehnya, sifat arogannya ini tidak berubah meskipun kecelakaan itu merenggut semua kenangan masa kecilnya. Mungkin turunan dari ibuku, batinnya.

***

Si bocah laki-laki duduk di pinggir lapangan sekolahnya sambil memetik sedikit demi sedikit senar gitar yang ada di pangkuannya. Ia mulai tertarik dengan alat musik tersebut. Lalu pandangannya jatuh kepada si bocah perempuan yang sedang duduk dengan teman-temannya di seberang lapangan. Ia mendengar percakapan mereka dari jauh.

“Ah, aku tidak bisa!” erang si bocah perempuan sambil melempar kertas-kertas untuk origami tersebut dari pangkuannya. Ia lalu beranjak pergi meninggalkan teman-temannya yang sedang mengomel kecil akibat kelakuannya.

Si bocah laki-laki berlari menuju teman-teman si bocah perempuan. “Ada apa?” tanyanya.

“Dia tidak bisa bikin origami. Padahal kita sudah mengajari dia, hasilnya dia malah marah-marah sendiri,” oceh salah satu teman si bocah perempuan.

“Oh, begitu,” jawab si bocah laki-laki singkat.

 

to be continued…

 

Honestly, this story is sooooooo complicated. But this is fun and i hope you guys like it. so if you like this ff please share this to your friends and comments below like always. ^^

3

FF: The Genius One #2

When you make a choice, you change the future.” 
― Deepak Chopra

 

Happy reading! 

“Selamat, IQ-mu paling tinggi di kelas ini, bahkan sangat tinggi,” kata Ibu Guru pada seorang bocah laki-laki yang berkacamata dan berkawat gigi.

Bocah laki-laki itu tersenyum menatap lembar hasil tes IQ-nya. Tertulis angka 145 di lembar itu.

“Lihat,” Ibu Guru menunjuk angka IQ si bocah laki-laki. “Kau bisa melakukannya, jangan putus asa. Kau itu sangat pintar, hanya saja kau belum menggunakannya dengan maksimal. Suatu hari nanti kau akan menjadi sangat pintar, percayalah pada Ibu.”

Si bocah laki-laki mengangguk tanda mengerti kepada gurunya.

Tak disangka, ada sorot mata tajam mengarah kepada si bocah laki-laki dari arah belakang tempat duduknya…

***

“Wah, pekerjaan kalian lengkap dan rapi sekali, bahkan ada beberapa virus dan bakteri yang saya tidak tahu dan kalian memasukkannya di sini,” puji Sir Evans. “Sudah saya bilang, kalian partner yang cocok.”

“Tentu saja, hanya aku yang bekerja,” gumam Marc.

Valen yang duduk di seberang Marc mendengar ocehan kecil Marc itu lalu mendengus, “Setidaknya aku merapikannya, pekerjaan laki-laki memang selalu berantakan.”

“Aku tidak peduli, selain itu pekerjaanmu hanya mengoceh saja dan minum teh. Sepertinya kau akan diabetes di usia muda,” sindir Marc.

“Kau ini…” Valen sudah siap mengangkat bukunya untuk memukul kepala Marc hanya saja Sir Evans memanggilnya.

“Valen, apa yang akan kau lakukan dengan buku biologi itu?”

Valen masih terpaku memegang bukunya dan membuat semua pandangan tertuju pada posenya yang ambigu itu. “A─aku ma─u memberikannya pada Marc! Iya, pa─pada Marc,” Valen menjatuhkan bukunya ke meja Marc yang disambut dengan muka heran dari Marc.

“Kau tidak bawa buku Marc?” tanya Sir Evans.

“Bawa, Sir,” jawab Marc singkat.

“Lalu kenapa Valen…”

“Biarkan saja, Sir. Dia aneh,” kata Marc dengan tampang cuek.

***

Sesampainya di rumah, Marc langsung melempar tas sekolahnya ke sudut kamarnya lalu merebahkan badannya di kasur. Alex─adiknya─masuk lalu duduk di kasur Marc.

“Aku dengar kau satu kelas dengan Valen,” kata Alex.

“Ya.”

“Lalu bagaimana?”

“Bagaimana apanya?”

“Dia mengingatmu ‘kan?”

“Tidak, dia tidak mengingatku,” Marc bangun lalu duduk. “Aneh sekali. Apa tampangku mudah dilupakan?”

“Ya… mungkin saja. Dulu kau sangat culun. Hanya Dani yang dapat mengingatmu dengan baik.”

“Karena hanya dia teman yang selalu aku hubungi bahkan lewat video call, makanya dia tahu perkembangan wajahku. Tapi bagi Valen? Ya ampun. Dia pintar, masa secepat itu dia lupa padaku? Setelah…” Marc membongkar laci meja belajarnya, “… ini?” ia menunjukan kertas ulangan usang yang terdapat nilai nol besar hampir di seluruh kertas itu. Memang hanya Alex yang ia ceritakan tentang Valen di keluarganya.

“Kau masih menyimpannya? Ya Tuhan kakakku…” Alex tertawa terbahak-bahak.

“Bagaimana aku tidak menyimpannya? Karena ini aku mau pergi ke Amerika,” Marc melipat kertas ulangan itu lalu menyimpannya kembali ke dalam laci. “Tapi dia menjadi inspirasiku. Karena dia aku jadi benar-benar jenius sekarang.”

“Bahkan IQ-mu naik jadi 151, kau gila Marc. Aku saja hanya 122 dan aku sudah bangga sekali dengan itu. Aku bingung Mama memberimu apa sejak kau dalam kandungannya.”

“Takdirku berbeda denganmu bocah,” Marc menepuk-nepuk puncak kepala Alex. Marc bangun lalu Alex langsung berbaring di kasur Marc.

“Aku tidur sebentar di kamarmu, ya? AC kamarku sedang diperbaiki.”

Marc mengacungkan jempolnya pada Alex. Ia mengambil buku Fisika dari rak bukunya lalu pergi menuju taman di dekat rumahnya.

***

“Sudah berapa jam kau duduk di sana?” tanya seorang gadis. Marc mengenali suaranya. “Aku tak tahu kau tinggal di sekitar sini.”

“Bukan urusanmu,” kata Marc cuek.

“Kau belajar?” tanya Valen lagi.

“Bisa diam?” tanya Marc balik. “Aku tahu kau tidak perlu belajar lagi ‘kan? Kau sudah pintar.”

“Tentu saja, untuk apa aku belajar? IQ-ku 144, aku bisa menangkap pelajaran dengan baik tanpa harus membaca buku.”

“Ha,” kata Marc singkat. Ia membereskan bukunya lalu pergi meninggalkan Valen.

Tiba-tiba saja Valen merasa sedih ditinggal Marc. Aku tidak percaya aku melakukan ini, batinnya. “Marc…” panggilnya.

“Apa? Mau pamer apa lagi?” kata Marc tanpa membalikkan badannya pada Valen.

“Temani aku jogging,” kata Valen dengan suara lembut yang selama ini tak pernah Marc dengar.

“Hah?” Marc menoleh dengan tampang tidak percaya.

“Aku mohon, sekali ini saja,” kata Valen dengan suara memohon.

Dia memohon padaku? Ya ampun, batin Marc dengan heran. “Baiklah, aku ke rumah dulu sebentar menaruh buku dan memakai sepatu. Kau mau ikut?”

Valen mengangguk.

Jujur saja, Marc tidak pernah melihat Valen sekalem ini.

***

Sesampainya di rumah, Valen tidak secapek biasanya. Mungkin karena ditemani Marc. Mereka tidak pernah mengobrol selama dan seramah itu sebelumnya. Tapi Valen merasa ada yang aneh dalam dirinya. Ia merasa mengenal Marc tetapi ia tidak ingat. Ketika ia mencoba untuk mengingatnya, kepalanya selalu sakit. Dan Bibi Molly bilang ia tidak boleh mengingat terlalu keras. Apakah Marc bagian dari masa lalunya yang hilang?

***

“Papa lihat, Pa! Ada toko boneka baru di sana!” seru si bocah perempuan. “Ayo kita ke sana, ayo Pa!!”

            “Tak bisa, Sayang, kita harus menjenguk Mama. Adikmu sudah lahir, lho.”

            “Tidak, Pa. Aku mau sekarang!” kata si bocah sambil mengguncang-guncang lengan ayahnya yang sedang menyetir.

            “Tenanglah, Nak.” Ayahnya membenarkan posisi tangannya, “Lain kali saja, ya. Papa sangat terburu-buru, Mamamu sedang menunggu.”

            “Pa, ayo Pa!!!” si bocah mulai menangis.

            “Sudahlah! Papa sedang menyetir. Diamlah.”

            “Aku mohon, aku mohon!!!” si bocah perempuan mengguncang-guncang lengan ayahnya dengan sangat kencang. Seketika mobil yang dikendarai ayah si bocah hilang kendali lalu tertabrak truk dari arah samping kanan jalan.

            Sang ayah tewas seketika, lalu si bocah perempuan tak sadarkan diri…

***

Valen berjalan menuju lapangan basket sambil membawa novel barunya. Kebetulan sekali sedang ada latihan basket pada waktu itu dan begitu juga tim cheerleader. Suasana lapangan yang tertutup atap besar itu ramai oleh kaum hawa. Maklum saja, anggota basket SMA Theodorus memang terkenal tampan-tampan.

Valen memutuskan untuk duduk di tempat yang kurang ramai karena bisa-bisa gendang telinganya pecah mendengar gadis-gadis meneriaki pujaan hati mereka masing-masing. Sekilas ia melihat Karen di bawah sana sedang latihan cheerleader.

Meskipun Karen kutu buku, selalu mengikat rambut, berseragam super rapi dan berkacamata, di saat ia menjadi cheerleader penampilannya langsung berbeda. Ia tidak lagi memakai kacamatanya, rambutnya digerai yang panjangnya sampai sepinggang dan juga memakai baju cheerleader yang berkaus ketat berwarna merah berlengan panjang serta rok mini dengan perpaduan warna merah dan emas menampakkan lekuk tubuhnya yang sempurna. Banyak lelaki yang mendekati Karen tapi ia tidak mau menggubrisnya, alasannya selalu, “Lagi gak mau pacaran.”

Saat Valen sedang membaca novelnya, tiba-tiba seorang lelaki duduk di sebelahnya. “Ada apa, Jorge?” Valen langsung tahu tanpa harus menoleh ke sebelahnya.

“Wah, kau tahu saja ini aku. Kau sudah kangen denganku, ya? Maaf aku tidak mengunjungimu dari kemarin dan…”

“Ssstt,” Valen mengangkat jari telunjuknya. “Kau tidak lihat aku sedang apa? Pergi sana, kau sedang latihan ‘kan?”

“Sedang istirahat, kok,” kata Jorge santai.

“Aku tidak peduli, sana!” Valen mendorong bahu dan tangan Jorge dengan keras.

“Iya, iya, iya aku pergi!” geram Jorge. Tapi tentu saja besok dia akan mengganggu Valen lagi.

Seketika setelah aksinya mendorong Jorge, rasanya Valen mendengar suara ayahnya di pikirannya. Kepala Valen langsung sakit dan pandangannya langsung gelap. Ia merasa ada yang menangkapnya sebelum ia benar-benar terjatuh ke alam bawah sadarnya.

***

“Kau tidak apa-apa?” sebuah suara membangunkan Valen.

“Aku di mana?” Valen mencoba membuka matanya perlahan.

“Di UKS. Kau istirahat dulu saja,” kata Dani pelan.

“Terima kasih sudah membawaku ke sini,” kata Valen.

“Ah, tidak, bukan aku yang membawamu ke sini,” Dani mengalihkan pandangannya kepada seorang lelaki yang sedang tertidur di sofa ruang UKS, “dia yang membawamu,” lanjut Dani dengan suara yang seperti berbisik.

Tiba-tiba Marc bangun dari sofa lalu langsung keluar dari UKS tanpa mengucapkan sepatah kata pun kepada Dani dan Valen.

“Kau mengingat sesuatu? Apa yang kau ingat?” tanya Dani penasaran.

“Aku mendengar suara ayahku,” kata Valen dengan nada sedih.

“Benarkah? Apa kau yakin itu suaranya?”

“Sepertinya iya, Dani. Suaranya berat dan sepertinya aku memang mengenalinya.”

“Sudah tak apa, jangan dipikirkan lagi. Aku akan kembali ke kelas, kata dokter kau membutuhkan istirahat yang cukup,” Dani menepuk pundak Valen lalu segera menuju ke kelas.

Valen memutuskan untuk tidur lagi, ia ingin menenangkan pikirannya yang semakin kacau.

***

“Apa kau menyembunyikan sesuatu dariku?” tanya Marc pada Dani.

“Menyembunyikan apa?” jawab Dani santai.

“Apa ada yang terjadi pada Valen setelah aku pergi?” tanya Marc lagi.

“Tidak, dia baik-baik saja bukan?”

“Iya, tapi rasanya ada yang aneh,” kata Marc dengan tampang heran.

“Benarkah?” tanya Dani pura-pura heran. Maaf Marc aku harus membohongimu, batin Dani.

***

Dua hari kemudian, saat bel sekolah berdering, semua siswa dan diswi langsung berlari menuju lapangan basket indoor. Ada pertandingan persahabatan antara SMA Theodorus dengan rival mereka yang paling berat, SMA San Paulo. Pantas saja akhir-akhir ini tim basket giat berlatih.

Suasana lapangan sungguh ramai apalagi supporter tuan rumah. Cheerleader dari masing-masing sekolah unjuk gigi tampil sebelum pertandingan dimulai. Terlihat Karen yang tak disangka sudah menjadi ketua cheerleader─entah sejak kapan─memimpin anggota lainnya agar lebih semangat hingga para cheerleader SMA San Paulo sempat membisu sebentar karena penampilan cheerleader SMA Theodorus. Para penonton semakin bersorak saat tim sekolah mereka masing-masing masuk ke lapangan, tentu saja para kaum hawa meneriakkan idola mereka seperti biasa.

Valen dan Dani sudah duduk di bangku mereka. Tak sadar, Valen mencari-cari sosok Marc di keramaian.

“Cari siapa, Nona?” tanya Dani sambil memakan biskuit. Ya, Dani suka sekali biskuit dan paling sedikit ada satu bungkus biskuit di tas ranselnya yang ia bawa setiap harinya.

“Marc enggak nonton? Enggak suka basket, ya? Dari kemarin dia juga hilang terus, tiap bel pulang sekolah langsung hilang entah kemana,” tanya Valen heran.

“Kamu gimana sih, Len? Kamu sering baca buku di tempat duduk lapangan basket dan enggak sekali pun ngelihat Marc di lapangan?” Dani membalas dengan pertanyaan juga.

“Hah?” Valen langsung mengalihkan pandangannya ke arah tim basket sekolahnya. Terlihat Marc di sana sedang berunding dengan teman-temannya. “Dia ikut berapa klub?”

“Hmm, banyak. Klub science, klub basket, dan band. Yang aku tahu itu saja. Tumben kamu nanyain Marc melulu. Cinta juga nih lama-lama. Ikutan sorakin dong,” canda Dani.

“Ih, apaan coba, Dan,” Valen memasang muka cemberutnya.

“Pipinya merah. Ya ampun, Len, aku tidak pernah melihatmu seperti ini,” kata Dani sambil menggelengkan kepala. “Dia ganteng ‘kan?” goda Dani lagi.

“Sudah, ah! Mau mulai tahu,” kata Valen masih dengan tampang yang sama.

Dani masih tertawa melihat tingkah Valen yang lucu. Dalam hati Dani berpikir sebenarnya Valen nyaman bersama Marc, hanya saja Valen tak mau mengakuinya.

***

“Ma, aku mau pergi ke Amerika,” kata si bocah laki-laki.

“Kau yakin? Kemarin kau menolaknya,” sang ibu heran melihat anaknya berubah pikiran secara tiba-tiba. Padahal kemarin anaknya sampai menangis-nangis karena tidak mau pergi ke Amerika.

“Kali ini aku benar-benar yakin, Ma. Aku ingin menjadi lebih baik di sana. Aku janji, aku tidak akan nakal di sana,” kata si bocah dengan mantap.

“Baiklah, Mama akan menelepon Tante Naira agar mengurus semua keperluanmu di sana.” Sang ibu langsung menelepon orang yang ditujunya di depan Marc. Setelah beberapa menit berbincang, beliau berkata, “Aku akan membereskan baju-bajumu, kau nanti taruh saja barang-barang lain yang akan kau bawa. Oke? Untung kau berubah pikiran dengan cepat kalau tidak tiket pesawatnya akan hangus. Kau berangkat besok siang, jadi istirahatlah.”

“Oke, terima kasih, Ma,” kata si bocah lalu mengecup pipi ibunya. “Tapi aku ada urusan sebentar, aku segera kembali.”

Si bocah laki-laki pergi ke rumah seseorang yang berbeda dua gang dari gang rumahnya. Ia menyelipkan secarik kertas di salah satu jendela rumah itu. Rumah itu terlihat sederhana tanpa pagar, makanya si bocah dengan mudah memasuki kawasan rumah itu. Sesudah itu, ia kembali ke rumahnya dan keesokan harinya ia berangkat ke Amerika…

 

to be continued…

 

Oh ya guys, buat flashback di ff ini aku buatnya enggak berurutan ya! Aku emang sengaja enggak urutin biar kalian kepikir sendiri deh alurnya kayak apa hihi *jahat ngets* sama biar seru dan biar ada kejadian gak terduga gitu hehe

So, thank you for reading!! Comments belowwww

4

FF: I Don’t Have to Choose #6

Happy reading ^^

idhc 6

This is a good sign, having a broken heart. It means we have tried for something.” 
― Elizabeth GilbertEat, Pray, Love

 

Ellen’s POV

“Kau mau jadi pacarku?” tanya Alex dengan hati-hati.

Sontak aku kaget mendengar ucapannya dan tentu berhasil membuatku tersedak saat aku sedang menyeruput es teh manisku.

“Eh… Kau tidak apa-apa? Maaf membuatmu kaget, aku tidak bermaksud…”

“Tidak, tidak apa-apa,” selaku. “Apa ini tidak terlalu cepat?”

“Aku tahu, tapi kita sudah terlalu sering bersama. Rasa sayangku semakin besar padamu dan aku tak mau menahannya dan aku minta maaf soal kejadian semalam. Aku tidak menyangka kau akan menyebut nama Marc di depanku.”

Aku berpikir dua kali. Mungkin jika aku berpacaran dengan Alex, perasaanku semakin mengikat pada Alex, pikirku.

“Baiklah, aku mau jadi pacarmu,” jawabku sambil tersenyum lebar pada Alex.

Alex langsung menarikku berdiri dan memelukku erat. Kemudian ia memegang pipiku dengan kedua telapak tangannya. “Terima kasih,” katanya lembut sambil menatapku lalu ia mencium keningku.

Ya, aku semakin nyaman bersama Alex.

Marc’s POV

Aku memutuskan untuk berenang pagi ini. Aku segera siap-siap membawa barang-barang yang aku butuhkan setelah berenang nanti.

“Lex?” panggilku. “Alex?” Masih tidak ada jawaban. Tumben sekali dia sudah bangun pagi begini.

Aku menaiki lift lalu menuju ke kolam renang. Aku tak sengaja melihat Alex dan Ellen. Tak sengaja kudengar perkataan Ellen.

“Baiklah, aku mau jadi pacarmu,” jawab Ellen sambil tersenyum lebar pada Alex.

Aku mengurungkan niatku untuk berenang. Rasanya hatiku tercabik-cabik mendengar jawaban Ellen yang begitu yakin. Timbullah penyesalan yang teramat dalam itu lagi di pikiranku. Andai waktu bisa kuputar…

Niatku ingin merenung sendiri di taman kuurungkan kembali karena ada Maverick yang duduk di sana. Tetapi aku memutuskan untuk menyapa Maverick.

“Hei, Mack!” seruku sambil menepuk pundaknya.

Maverick menatap tas yang kubawa. “Mau kemana?”

“Oh, tadi mau berenang…” aku terdiam sebentar, “… tapi tidak jadi.”

“Mengapa? Hei, coba liat mereka!” tiba-tiba Maverick mengarahkan pandangannya ke arah lobby hotel yang mempunyai jendela transparan itu. “Sudah pacaran sepertinya, iya bukan?”

“Aku tidak tahu, jangan tanya padaku,” jawabku dengan nada kesal.

“Kau ‘kan kakaknya, masa…”

Aku langsung berdiri lalu meninggalkan Maverick.

“Eh mau kemana? Marc!” seru Maverick dari kejauhan.

Aku langsung menuju kamarku dan langsung merebahkan diriku di kasur. Aku tak mempedulikan muka Alex yang bersinar-sinar itu.

“Terima kasih, Marc.”

“Buat apa?” tanyaku heran.

“Sudah membiarkanku bersama Ellen.”

Continue reading