FF: The Genius One #11

“Life’s hard. It’s even harder when you’re stupid.”
― John Wayne

 

Seorang wanita duduk di sofa yang membelakangi Valen. Setelah Valen berjalan dengan langkah pelan menuju sofa, wanita itu berdiri lalu berbalik melihat Valen.

“Ini Valen?” tanya wanita itu pada Molly yang berada di belakang Valen.

“Iya, Nyonya,” jawab Molly.

Valen yang dari tadi berdiri diam, tersadarkan oleh jawaban Molly tadi. “Nyonya?” tanyanya heran.

Wanita itu kira-kira berumur 40-an. Ia tinggi bak seorang model, ditambah dengan sepatu pump heels berwarna hitam yang dipakainya. Rambut sebahunya yang tampak anggun di wajahnya yang mungil dicat berwarna coklat agak terang. Wajahnya dilapisi make-up secara natural. Raut wajahnya tegas dan berwibawa―persis dengan Valen. Ia memakai kemeja putih yang dilapisi blazer berwarna merah muda pucat dan celana panjang yang berwarna senada dengan blazer-nya. Keanggunannya dilengkapi dengan perhiasan di leher, telinga, juga pergelangan tangannya. Sangat cantik untuk ukuran seorang ibu.

“Kau sudah besar,” ucap wanita itu pada Valen.

“Untuk apa kau ke sini?” tanya Valen dingin.

Saat wanita itu mendekatinya, Valen berjalan mundur menjauhi wanita itu.

“Memang tidak boleh? Aku ini Christina―ibumu,” jawab wanita itu santai. Sangat jelas, wataknya angkuh seperti Valen.

Valen mendengus lalu tersenyum sinis. “Aku tidak punya ibu. Aku tidak punya orang tua.”

“Aku tidak mengerti kenapa anakku tumbuh seperti ini,” wanita itu memijat dahinya. “Seharusnya kau berterima kasih padaku. Kau masih hidup karena aku masih rutin memberimu uang.”

“Aku tidak meminta kau untuk memberiku uang,” jawab Valen cuek lalu ia mengalihkan pandangannya pada Molly, “Makan malam dibawa ke kamar saja, aku tak mau makan bersamanya.” Valen berjalan melewati wanita itu dan menuju ke kamarnya.

“Kau sangat tahan, Molly?” tanya wanita itu.

“Aku sudah bisa mengontrolnya, Nyonya.”

“Hebat sekali,” puji Christina. “Duduk, Molly,” suruhnya.

“Ada apa?” tanya Molly.

“Aku tidak bisa menghubungi anakku yang satu lagi. Kau pikir aku akan ke sini jika anakku tidak kabur ke sini?”

“Jadi, anda ke sini bukan untuk Valen?” tanya Molly cemas.

“Aku sudah membuang Valen, Molly. Aku hanya perlu membiayai dia hidup,” jawab Christina.

Molly memejamkan matanya sebentar, ia tak menyangka ada seorang ibu seperti ini. “Berhentilah seperti itu. Anda tidak tahu betapa seringnya Valen menangis akibat anda?”

Christina tidak peduli dengan perkataan Molly.

“Anda juga sudah menikah lagi, bukan? Untuk apa memikirkan masa lalu? Saat itu Valen masih kecil, dia masih belum tahu banyak. Tiba-tiba ibunya meninggalkannya sendirian bersama para pembantu di rumah bertahun-tahun dan hanya mengirim uang tanpa menelepon anaknya?” lanjut Molly. “Meninggalkan anaknya yang Amnesia tanpa kasih sayang dari orang tuanya? Pikir baik-baik, Nyonya. Seharusnya Anda bersyukur mendapat anak seperti Valen. Dia jenius dan betapa bangganya aku setiap kali mengambil hasil nilai-nilainya di sekolah.”

Christina masih terdiam.

“Kau lebih menyayangi anak Anda yang kabur dari Amerika ke sini yang juga menghamburkan uang Anda? Selalu bolos sekolah atau apapun yang selalu kau ceritakan kepadaku waktu itu?” Molly menghela nafasnya sebentar, “Valen tidak seperti itu, Nyonya. Dia angkuh dan galak, tak banyak yang mau dekat dengannya di sekolah. Tapi prestasinya gemilang, dia tidak pernah menghamburkan uang, dia juga tidak pernah memamerkan harta kekayaan yang diam-diam selalu Anda kirimkan setiap bulan kepada teman-temannya.”

Christina menutup mukanya dengan kedua tangannya. “Aku tidak bisa menerimanya lagi seperti itu saja, Molly. Hatiku masih terlalu sakit, ditinggal oleh suami yang begitu aku cintai. Aku menikah lagi agar anak-anakku bisa hidup dengan layak,” jawab Christina.

“Untuk apa layak tetapi menjadi tidak karuan? Bagaimana cara Anda mendidik mereka? Maaf aku menjadi lancang, Nyonya.”

“Tak apa, Molly. Kau lebih dari seorang pembantu bagiku.”

“Sekarang Lucia sedang berkeliaran di Barcelona?” tanya Molly.

“Iya. Tapi dia tidak akan menoleh jika dipanggil Lucia,” jawab Christina gugup.

“Anda mengubah namanya?” Molly memegang dadanya karena terkejut. “Separah itukah Anda menyembunyikan semuanya dari Valen?”

“Aku hanya menambah namanya,” Christina buru-buru menambahkan, “Aku pikir Valen akan mencari tahu tentang adiknya jika sudah besar nanti.”

Molly mengusap lehernya. “Sayangnya dia bahkan tak pernah mencari anda. Siapa namanya? Dimana dia?”

“Aku belum mengecek keberadaannya sekarang. Ia tak mau mengangkat teleponku. Aku akan menelepon bank untuk mencari tahu dia sudah melakukan transaksi dimana saja. Namanya Bianca Lucia Lewis.”

Valen melempar tas ranselnya dengan kasar ke lantai kamarnya yang berlapiskan karpet. Ia berjalan kesana kemari, “Untuk apa wanita itu datang ke sini?” lalu Valen merebahkan badannya di kasur.

Rasanya tak pantas bagi Valen untuk memanggil wanita itu Mama. Dulu Bibi Molly bilang kalau Mama bersikap kepada keluarganya, sifat angkuhnya tidak pernah keluar.

Tapi, sekarang? tanyanya dalam hati.

“Aku sudah dibuang,” gumam Valen.

***

Lusa akhirnya tiba. Valen sedang bersiap-siap untuk makan malam bersama Dani dan Karen. Saat Valen sedang memoles tipis wajahnya dengan bedak, ponselnya berbunyi dan meninggalkan pesan SMS dengan nama Marc Marquez tertera di sana. Ia mengambil ponselnya lalu membaca SMS itu.

Aku sudah di depan rumahmu. Cepat.

Valen meletakkan kembali ponselnya. Sesudah ia memakai bedak, Valen menuju ke salah satu lemarinya untuk mengambil sepatu kets Nike kesayangannya yang berwarna merah marun dengan lambang Nike yang berwarna kuning. Sekali lagi ia menatap dirinya di kaca pintu lemarinya. Valen tampil simple dengan kaus Polo berkerah berwarna hijau muda serta celana jins berwarna biru gelap. Rambutnya ia kuncir ekor kuda seperti di sekolah. Valen mengambil tas selempang yang biasa ia pakai untuk berjalan-jalan, tak lupa juga ponselnya yang ia kantungi di dalam celana jinsnya lalu langsung bergegas menemui Marc.

Saat Valen melintasi ruang tamunya, Christina sedang duduk di sofa sambil menonton TV. Kelihatannya dia sedang menonton telenovela.

“Mau kemana?” tanya Christina lalu menyeruput sedikit teh di cangkir yang sepertinya daritadi belum ia minum.

“Bukan urusanmu,” jawab Valen dingin sambil tetap berjalan menuju pintu rumahnya.

Christina meletakkan cangkirnya kembali lalu mengedikkan bahunya, seperti tidak peduli dengan sikap anaknya.

Ketika sampai di depan pintu rumahnya, dari kejauhan Valen melihat Marc sedang berdiri menyandar pada mobil sedan Volvo-nya yang berwarna hitam metalik. Marc memakai kaus lengan panjang berwarna biru tua polos dan celana jeans berwarna sama dengan Valen. Rambutnya juga seperti biasa tampil acak-acakan seperti baru bangun tidur, tapi justru itu membuatnya terlihat seksi. Kali ini Valen tidak bisa menyembunyikan perasaannya kalau Marc benar-benar ganteng spektakuler. Ini membuat Valen harus melancarkan rencananya malam ini.

Valen berjalan menuju mobil Marc lalu langsung kena omelan darinya.

“Lama. Dandannya setebal apa? Heran sama cewek,” oceh Marc dengan tampang bete.

“Ya sudah, maaf. Ayo buruan,” jawab Valen dengan wajah biasa saja.

Maaf? pikir Marc. Seketika ia merasa heran lagi karena belakangan ini dia jarang berkelahi hebat dengan Valen.

Setelah Marc memasang sabuk pengamannya, ia langsung berangkat bersama Valen menuju restoran Bianchi.

Suasana Bianchi tak ramai seperti biasanya, karena hari ini hari biasa, bukan hari libur yang biasanya sampai harus memesan tempat dulu untuk bisa mendapatkan meja. Bianchi adalah restoran Italia paling terkenal di Barcelona, bahkan mungkin di seluruh Spanyol. Restoran ini sangat besar bernuansa warna krem yang hangat dengan campuran gaya arsitektur zaman Renaisans dan Romawi kuno abad ke-14. Didekorasi ala Italia seperti bendera hijau-putih-merah vertikal yang berarti bendera negara Italia, hiasan pizza, keju bahkan spageti yang menempel di beberapa sisi tembok restoran yang membuat restoran ini terkesan lucu dan unik. Para pelayan yang melayani pun berseragam khas bumi Italia.

Mata Valen dan Marc mencari-cari keberadaan Dani dan Karen, mata Marc tertuju pada Dani yang sedang melambaikan tangannya ke arah Marc dan Valen. Dani duduk di meja yang dekat dengan panggung live music. Terlihat Dani dan Karen baru memesan minuman karena menunggu Marc dan Valen datang.

“Akhirnya kalian datang, ayo cepat langsung memesan. Aku dan Karen baru saja memesan,” ajak Dani lalu ia memanggil pelayan.

“Aku mau beef lasagna, minumnya ice lemon tea saja,” pesan Valen pada pelayan.

“Sama,” kata Marc singkat kepada si pelayan.

Si pelayan mengangguk lalu langsung menuju tempat koki untuk menyampaikan pesanan Valen dan Marc.

Kira-kira lima belas menit setelah mereka memesan, akhirnya pesanan mereka tiba. Seketika celotehan mereka berhenti untuk menikmati makanan mereka masing-masing. Setelah selesai makan, Dani mengajak Marc untuk meminum bir.

“Ayolah, besok ‘kan kita libur. Guru-guru kita rapat, kau tidak perlu khawatir,” goda Dani.

“Baiklah, hanya satu kaleng. Aku menyetir,” kata Marc.

“Kalian gila,” ucap Karen. “Tidak mungkin hanya satu kaleng, percayalah padaku,” Karen mengedipkan satu matanya pada Valen. Valen hanya membalas dengan tertawa.

Benar saja, Dani dan Marc memesan berkaleng-kaleng bir hingga pembicaraan mereka mulai tak karuan. Valen dan Karen sudah mulai heran melihat Dani dan Marc.

“Kau tahu, Sayang? Dulu Marc itu dijahatin terus sama Valen,” kata Dani pada Karen. “Benar, Marc?”

“Betul,” kata Marc setengah tersadar. Ia mengalihkan pandangannya pada Valen yang ada di sebelahnya. “Kau tak tahu betapa jahatnya dirimu padaku, sekarang kau tidak mengingatku seperti orang yang habis terkena Amnesia.”

Valen hanya menatap Marc dalam diam. Perasaannya mendadak kacau karena perkataan Marc. Jadi, karena itulah selama ini ia merasa bersalah kepada Marc.

Karen menatap Valen dengan iba, “Habis bayar bill, kita pulang membawa dua bocah ini. Kau sudah lumayan lancar menyetir?”

Valen mengangguk, “Sudah, aku bahkan sudah punya SIM.”

Sesudah membayar tagihan restoran, Karen mengantar Dani sedangkan Valen mengantar Marc yang sudah seperti orang yang ingin kehilangan nyawa.

Dalam perjalanannya mengantar Marc, Valen sesekali menatap pria itu. Pria itu sudah tertidur semenjak Valen memasang sabuk pengamannya.

Marc terbatuk-batuk pelan. “Kau jahat, Valentina Garcia,” ucapnya yang masih dalam keadaan mata yang terpejam.

“Maafkan aku,” kata Valen pelan.

“Kau tak tahu rasanya jadi aku, terus dibilang bodoh olehmu,” Marc menelan ludahnya, “aku sangat tidak beruntung karena berkali-kali sekelas denganmu.”

Valen menatap lurus ke jalanan, tetapi tetap mendengar celoteh pria mabuk itu.

“Aku menyukaimu, tapi apakah kau pernah menyadarinya?” lanjutnya. “Hatiku semakin sakit saat kau tidak mengingatku. Mungkin kau hanya mengingatku seperti bocah ingusan yang bodoh, culun, dan menjijikkan. Betapa…”

Valen tiba-tiba menghentikan mobilnya di dekat taman kompleks rumahnya yang sepi karena sudah malam. Beberapa lampu jalanan menerangi taman itu, untuk itu Valen mematikan lampu sorot mobil Volvo milik Marc.

“Memangnya kita sudah sampai?” tanya Marc dengan tampang tak berdosa.

“Sepertinya kau sudah tidak terlalu mabuk.” Valen melihat ke sekitar taman untuk memastikan tidak ada orang disana. Jam di mobil Marc sudah menunjukkan pukul 10 malam, sudah dipastikan kompleks rumah mereka ini memang sudah sepi layaknya kuburan di atas jam 10. “Keluarlah,” suruh Valen pada pria itu.

“Untuk apa?” kali ini Marc sudah sedikit membuka matanya.

“Kalau kau penasaran, keluarlah.” Valen langsung keluar dari mobil Marc. Tak lupa ia membawa tasnya.

Marc menatap Valen dari kaca mobil yang sedang berjalan masuk ke dalam taman lalu berhenti di dekat air mancur yang berada di tengah taman itu. Ia mengusap kepalanya yang masih sedikit pusing akibat efek alkohol. Bahkan Marc mulai menyadari ucapan-ucapan yang ia lontarkan pada Valen saat ia tengah mabuk. “Apa yang sudah kukatakan padanya?” gumamnya. Akhirnya ia memutuskan untuk menemui Valen di luar.

Marc langsung berdiri berhadapan dengan Valen.

“Aku tak peduli apa yang kau ucapkan di mobil tadi ada di dalam atau luar alam sadarmu,” Valen menghela nafasnya sejenak lalu mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya.

Marc membelalakkan matanya karena terkejut oleh benda yang dipegang Valen. Itu adalah burung-burungan kertas yang pernah ia berikan pada Valen sewaktu kecil. “Kau masih menyimpannya? Apa sekarang kau sudah ingat padaku?”

“Tidak,” kata Valen pelan. “Aku tidak akan bisa mengingat siapapun dalam masa laluku.”

Marc menatap Valen dengan tatapan “kenapa”.

“Tidakkah Dani memberitahumu kalau aku pernah Amnesia atau kecelakaan atau semacamnya? Seperti yang kau bilang di restoran tadi. Ya, aku mengalaminya. Aku minta maaf pernah menyiksamu, aku minta maaf sering mengataimu bodoh dan sebagainya, aku minta maaf karna aku selalu kasar padamu, aku minta maaf…”

Marc langsung memeluk Valen tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Ia pun menghapus air mata yang mulai membasahi pipi Valen.

“Sudah, diamlah.” Marc kembali menghapus air mata Valen yang kelihatannya semakin deras. “Aku sebenarnya tidak mau memikirkan masa lalu itu, tapi makin lama aku makin kesal karena kau tidak mengingatku sama sekali. Aku juga minta maaf karena aku tidak tahu kau pernah Amnesia,” Marc melepaskan pelukannya lalu memijat pelipisnya pelan, “Tapi kapan?” tanyanya heran.

“Apa ini juga darimu?” Valen mengeluarkan secarik kertas yang ia temukan di jendela kamarnya waktu itu.

“Iya,” Marc mengambil kertas itu, “ini juga dariku.”

“Sepertinya semenjak kau meninggalkan kertas itu.”

“Benarkah?” tanya Marc dengan nada kaget.

“Memang kenapa?” tanya Valen heran.

“Sepertinya, sehabis kau kecelakaan, keesokannya aku pergi ke Amerika. Aku minta maaf, a―aku tidak tahu.”

“Ah, tidak. Itu bukan salahmu,” kata Valen sambil tersenyum.

“Apa kau mencoba mengingatku belakangan ini?” tiba-tiba Marc menggoda Valen.

“A―apa?” Valen mendadak salah tingkah. “Ya, jujur, pernah.” Ia mengingat rasa sakit kepala yang pernah ia alami waktu itu. “Sampai-sampai aku hampir pingsan karena dirimu.”

“Wah, benarkah? Apa aku sudah bisa mengisi hatimu?” canda Marc.

Valen tertawa, “Dasar kau. Setidaknya kita sudah bisa terbuka sekarang.”

“Bukannya kau dulu bisa main piano? Kayaknya kau jarang ke ruang musik.”

“Bagaimana aku mau main piano, Marc? Hilang sudah semua kunci yang pernah kupelajari. Sepertinya dulu aku lebih hebat darimu,” sombong Valen.

“Aku lebih hebat darimu asal kau tahu saja.”

“Apa kau dulu pernah memainkan lagu yang saat di ruang musik kau mainkan?” Valen duduk di bangku taman dekat air mancur.

“Ya, aku bahkan memainkannya di depanmu,” jawab Marc yang masih berdiri sambil memasukkan kedua tangannya ke kantung celana jinsnya. “Atau lebih tepatnya kau yang datang melihatku waktu itu,” lanjutnya.

“Aku datang melihatmu? Ya ampun.”

“Ya sehabis itu kau menghinaku seperti biasanya. Aku tidak pernah melewatkan satu momen tentangmu di kepalaku, Garcia,” kata Marc sambil menyunggingkan senyum miringnya.

Valen mengeluarkan sebuah foto berukuran 4R dari tasnya. “Kau yang mana?” tanya Valen sambil menyerahkan foto itu pada Marc.

Marc mencari-cari dirinya dalam foto itu, foto kelas waktu kelas 5 SD. Tapi ia enggan memberi tahu, “Carilah,” ia menyerahkan surat itu pada Valen lagi.

Valen mengambilnya kembali lalu mengamati foto itu dengan saksama. Perlahan raut muka Valen berubah bingung.

“Kau benar-benar tidak ingat, ya? Aku bocah paling jelek disana,” kata Marc.

Valen menggelengkan kepalanya. Akhirnya matanya tertuju pada bocah yang memakai kacamata dan sedang tersenyum menunjukkan deretan giginya yang berkawat. Tak sadar Valen tertawa geli lalu menatap Marc.

Marc tersenyum lalu mengedikkan bahunya, “Sepertinya kau sudah menemukannya.”

“Kau memang sangat culun.”

“Memang.” Marc berbalik menatap air mancur, “Aku berubah karenamu.”

“Diriku?”

“Ya, dirimu. Aku berubah karena aku tidak ingin terus diinjak-injak olehmu.”

“Apakah aku sejahat itu?” raut muka Valen berubah bingung.

“Apa kau tidak pernah menyadarinya?” Marc bertanya balik pada Valen. “Bahkan aku sempat berpikir kau tidak akan seperti dulu saat aku kembali ke sini, aku ingin mencoba bersamamu lagi. Tapi semua pikiran itu kandas di awal kita bertemu lagi di sekolah.” Marc menggelengkan kepalanya, “Kau makin parah.”

Valen masih terdiam, ia tidak berani menatap Marc meskipun lelaki itu sedang membelakanginya.

“Aku akui kau memang pintar, kau―kau amat brilian,” lanjutnya. “Tapi, attitude-mu,” Marc berbalik menatap Valen yang duduk tertunduk, “Nol, Valen.” Lelaki itu mengusap lehernya, “Kau sudah besar, aku tidak mau menasihatimu seperti ini, tapi aku menahannya dari dulu. Aku mencoba melupakanmu, aku pacaran dengan orang lain, tapi aku tetap memikirkanmu.”

“Dani selalu memberiku info tentangmu, bagaimana perkembanganmu saat kau jauh dariku. Tetapi sepertinya hanya percuma. Kecelakaanmu pun tak merubah apapun.”

“Ini semua karena ibuku,” kata Valen dengan suara pelan.

“Maaf?” tanya Marc heran.

“Ibuku.” Valen menghela nafasnya pelan. “Ibuku tiba-tiba kembali dan sepertinya ingin mengacaukan hidupku lagi.”

“A―aku tidak mengerti, apa yang terjadi dengan keluargamu sebenarnya? Memangnya ibumu selama ini tidak di rumah? Adikmu? Ka―kau… Kenapa hidupmu sepertinya berubah hancur?” tanya Marc bertubi-tubi, suaranya berubah panik.

“Ibuku pergi, Marc! Ayahku meninggal!” teriak Valen. Ia tidak peduli jika ada orang yang mendengar suaranya. “Ibuku pergi sehabis aku pulang dari rumah sakit. Ia menyalahkanku, ia membuangku! Dia bilang karena aku, ayahku meninggal, sedangkan saat itu aku Amnesia, aku tidak ingat apa yang aku alami! Dia membawa semua adikku, pergi begitu saja,” cerita Valen dengan penuh amarah. Seketika amarahnya pun mencair dalam bentuk air mata.

Marc menghampiri Valen, membantunya berdiri lalu mengajaknya masuk ke dalam mobil. Kali ini Marc sudah mampu menyetir.

“Kau mau aku temani?” tanya Marc pelan.

Valen mengangguk lemah.

Marc langsung menuju rumah Valen lalu membantunya turun juga menemaninya masuk ke dalam rumah. Seperti biasa, di ruang tamu duduklah Christina.

Saat Christina hendak angkat bicara, Valen langsung menyelaknya, “Tidak perlu perhatian.”

“Kau siapa?” tanya Christina pada Marc.

“Aku yang tinggal di blok sebelah, Tante. Aku Marc Marquez,” jawab Marc.

“Oh, Marquez,” Christina berpikir sejenak, “Anaknya Roser! Ya ampun, kau sangat tampan,” serunya.

Valen memutar bola matanya, tanda meremehkan ibunya.

“Terima kasih,” ucap Marc sambil tersenyum. “Aku boleh menemani Valen?”

“Oh, tentu, dulu ibumu juga sering ke sini dan dia sudah kuanggap seperti saudariku. Berarti kau juga sudah seperti keponakanku,” kata Christina.

“Tak usah basa-basi. Ayo,” Valen menggandeng tangan Marc dan menuntun menuju kamarnya. Sekarang Valen menambah daftar lelaki yang boleh masuk ke kamarnya, yaitu Marc.

 

to be continued…

 

agak kurang greget ya? :p sabar deh masih pemula lol. Okay like always, comments below or mention on my cutie twitter @felpercy.

Adiossssssssss

8 thoughts on “FF: The Genius One #11

  1. Gak nyangka si centil Bianca adeknya Valen 😮

    Keknya bibi Molly dan Marc yang bakalan nyatuin Christina, Valentina sama Bianca dah :/ dan kayaknya si Bianca bakalan jatohnya sama Alex, berhubung di chap kemarin mereka berdialog gitu 😀
    Gak mungkin kan kalau Alex sama Valen terus Marc sama Bianca :v *duaaak* ato Dani sama Valen, Karen sama Marc teros si Bianca sama Alex :v *jduuuaaar*

    Udah ah basa-basinya. Lanjutin dah ni ff :). I’ll keep wait.

  2. Senyum2 gaje pas baca di scane marc setengah sadar dia ngaku sama si valen.. Hehehe 😀
    Ayo dong kak lanjutin.. kalo bisa secepatnya deh
    Keep writing ya ka.. Semangattt!!! 😉

Leave a comment