Pastelería: Red Velvet

red velvet

Being deeply loved by someone gives you strength, while loving someone deeply gives you courage.”
― Lao Tzu

 

Kylie sedang memanggang croissant buatannya untuk disajikan ke pelanggan-pelanggannya. Syukurlah dalam tiga tahun terakhir ini, usahanya di bidang pastry terbilang sukses. Awalnya, bakery yang ia namai Pastelería ini memulai usahanya lewat online shop yang sedang marak sekarang ini. Karena melihat kegigihan putrinya, ayah Kylie memberi Kylie modal untuk usaha ini.

Keluarga Kylie terbilang terpandang dan kaya. Tapi, Kylie selalu mencoba untuk hidup sederhana. Makanya, ia tertarik untuk membuka usaha sendiri hingga sekarang.

Sebenarnya Kylie tidak kuliah di jurusan yang berhubungan dengan pastry, bahkan kuliner. Kylie lulus dengan gelar S1 bidang Psikologi. Ia mempelajari semua resep dari internet lalu memodifikasinya sedemikian rupa. Bahkan ia menerima pesanan request dari pelanggan-pelanggannya. Terutama dalam hal kue ulang tahun. Tangan Kylie sangat mahir dalam memainkan icing untuk kue. Ia bisa membentuk berbagai macam karakter dengan icing tersebut. Entah bakat dari mana asalnya.

Sesudah menunggu croissant-nya matang, ia langsung menyajikannya di meja display untuk memajang berbagai roti dengan aneka rasa. Kylie lebih suka kue-kue klasik macam croissant, baguette dan kawan-kawannya untuk disajikan ke bakery-nya yang sudah seperti kafe dan selalu ada saja pelanggan yang bersantai di kafenya.

Karyawannya pun sudah lumayan banyak; 3 orang pembuat minuman, 2 orang penjaga kasir, 3 orang asisten Kylie di dapur, serta 4 pelayan untuk melayani pengunjung dan juga membantu membereskan meja display.

Saat ingin kembali ke dapur, Kylie melihat sosok misterius yang duduk di salah satu meja kafenya.

“Jeanette,” Kylie memanggil salah satu pelayannya.

“Ada apa, Ky?” tanya Jeanette.

“Orang itu sudah kau layani?” Kylie menunjuk sosok yang sedang memakai snapback hitam bertuliskan “BOY” berwarna putih, rambutnya diselipkan ke dalam topinya, kemeja kotak-kotak berwarna biru campur hijau yang melapisi tank top-nya yang berwarna putih, celana jins berwarna biru navy, serta sepatu kets berwarna hijau tua.

“Sudah, tapi dia hanya diam saja dan menunduk seperti itu,” jawab Jeanette.

“Aku akan coba bertanya,” lalu Kylie menghampiri gadis misterius itu.

“Apakah anda mau memesan?” tanya Kylie.

Seketika gadis itu melepaskan topinya lalu mendongakkan kepalanya pada Kylie. Tak disangka, Kylie langsung menjitak kepala gadis itu.

“Dasar kau tukang onar,” kata Kylie sambil tertawa.

“Sakit, Ky!” omel gadis itu sambil mengusap kepalanya.

“Kau ngapain balik ke sini, Nona Khenna Jevonnia?”

“Oh… Jadi kau tidak merindukan adikmu yang cantik ini, Kylie Jevonnia?”

“Aku hanya punya adik yang tukang bikin orang repot!” jawab Kylie. “Sudah puas kabur ke Singapura? Apa nanti mau balik lagi? Untung Papa masih memberimu uang. Coba kalau tidak? Menghubungiku saja kau hampir tidak pernah,” protesnya.

“Apa masa lalu kita masih tidak menjelaskan kenapa aku kabur?”

“Baiklah, kita tidak perlu membahasnya.” Kylie duduk berhadapan dengan Khenna, “Kau kuliah, ‘kan?”

“Tentu, aku bahkan jadi mahasiswi terbaik di sana,” pamer Khenna.

“Wah, benarkah? Mana buktinya?”

Khenna mengeluarkan iPhone-nya lalu menunjukkan foto wisudanya yang sedang bersalaman dengan Pemimpin tertinggi kampus tersebut. Ia memegang secarik sertifikat bertuliskan:

CULINARY INSTITUTE OF AMERICA

SINGAPORE CAMPUS

Congratulations for Mrs. JEVONNIA, Khenna

BEST STUDENT OF THE YEAR

Kylie menatap foto itu dengan kagum. Ia tidak menyangka akhirnya adiknya bisa bangkit dari masa lalu.

“Aku tidak menyangka kau masuk ke kuliner. Bukannya waktu itu Papa memasukkanmu ke bisnis?” tanya Kylie heran.

“Ya, memang. Aku meminta Papa untuk memindahkanku. Awalnya dia tak senang, tapi ternyata dia tetap mengabulkannya.”

“Kau mau Green Tea Frappe?” tawar Kylie sambil tersenyum.

“Kau menyediakannya di sini? Oh, tentu saja aku mau,” seru Khenna.

“Stefan! Tolong Green Tea Frappe untuk adikku ini,” teriak Kylie.

“Siap!” balas Stefan yang berwajah ganteng itu.

Khenna memperhatikan kafe kakaknya itu, “Semua karyawanmu ganteng-ganteng dan cantik-cantik. Dari mana kau dapatkan mereka?”

“Mereka semua teman-temanku, Khen. Kau mungkin hanya lupa pada mereka.”

Stefan datang membawa pesanan Kylie untuk Khenna.

“Wah, wah, tumben nganterin langsung,” goda Kylie.

“Ya, lagi enggak gitu ramai, kok. Sambil kenalan sama calon adik ipar,” balas Stefan.

“Tunggu,” sela Khenna. “Kau mantan Kylie waktu SMA ‘kan?”

Kylie hanya tersenyum malu. Begitupun Stefan yang mengedipkan satu matanya pada Khenna dan Kylie lalu kembali ke station-nya.

Daebak!” seru Khenna. “Stefan mengalami masa pubertas yang dahsyat. Kau harus kembali padanya.”

“Ah, aku tidak bisa. Dia sudah bertunangan,” wajah Kylie tampak sedih.

Khenna yang sedang menyeruput Frappe-nya tersedak, “Apa?! Dengan siapa? Dari dulu aku selalu mendukung hubunganmu dengannya.”

“Dia dijodohkan,” Kylie menyibak rambut panjangnya ke belakang, “dengan yang merusak hubunganku waktu itu.”

Khenna mendengus sebal, “Si Alexa itu? Yang pernah menjambak-jambak rambutmu?”

“Iya, dan kau membalasnya dengan menguncinya di toilet sekolah.” Kylie tertawa mengingat kelakuan adiknya waktu itu. “Lalu bagaimana denganmu? Kau tak dapat pacar di sana?”

“Ah, entah aku malas. Aku tidak mau membahas tentang jodoh.” Khenna mengaduk-ngaduk Frappe-nya, “Boleh aku meminjam dapurmu untuk berlatih?”

“Oh, tentu saja boleh. Kau bahkan boleh menambahkannya ke daftar menu-ku,” jawab Kylie. “Kau tertarik di bagian apa?”

“Sama denganmu, pastry.” Khenna melihat ke dinding yang ditempel oleh bingkai foto ukuran 40×50 cm bergambar seorang wanita cantik yang memakai baju koki sambil memegang kue Sachertorte (chocolate sponge cake with apricot jam and chocolate icing on top) berdiameter 20 cm.

“Sama dengan Mama, lebih tepatnya. Kita adalah duplikat Mama, bukan Papa,” Kylie ikutan memandang wanita di bingkai foto yang ternyata ibu mereka.

Khenna memandang seluruh kafe kakaknya yang bernuansa hijau muda lembut yang membuat semua pelanggannya nyaman berlama-lama di sini. Ia juga melihat isi lemari display untuk kue yang harus dalam keadaan dingin.

“Kau tidak punya macaroon?” tanya Khenna.

“Entah kenapa aku selalu gagal membuat macaroon. Kadang bantet, kadang malah terlalu garing jadi hancur,” jawab Kylie. “Kau bisa membuatnya dengan baik?”

“Tentu! Aku jagonya macaroon,” canda Khenna.

Tiba-tiba seorang pelanggan datang. Ia seorang lelaki muda seumuran Khenna, wajahnya lebih tampan daripada Stefan yang keturunan Jerman.

Lelaki itu menuju ke kasir, “Mocha Latte, hot.”

Setelah membayar pesanannya, lelaki itu duduk di meja yang paling ujung bahkan di sudutnya. Padahal ada tulisan reserved di situ.

Lelaki itu tampil simple menggunakan kaus hitam polos dan celana jins dipadu dengan sepatu Wakai yang dipakainya. Ia mengeluarkan laptop dari tasnya dan mulai berkutat pada laptop itu.

“Bukannya itu ada tulisan reserved?” tanya Khenna.

“Memang, di-reserved untuk dia. Dia selalu datang ke sini, Khenna. Entah apa yang dia lakukan. Tapi dia pendiam dan dingin, makanya kami jarang tegur sapa,” jawab Kylie.

“Siapa namanya?” kali ini Khenna amat penasaran.

“Kau tertarik dengannya?” Kylie tertawa kecil.

To-the-point banget, Ky?” Khenna menggerutu sebal pada kakaknya.

“Namanya Alvaro Morata. Orang tuanya tinggal di Spanyol sedangkan dia menetap di sini sendirian.” Kylie berbisik pada Khenna, “Ia jarang membeli kue di sini, ia hanya selalu membeli minuman. You know what you have to do, Sweetheart. I’m off,” lalu Kylie kembali ke dapurnya.

Khenna menatap Alvaro dari kejauhan. Karena merasa ditatapi, lelaki itu menoleh ke arah Khenna yang langsung membuat Khenna kelabakan dan langsung sok-sok sibuk. Dalam diam, Alvaro menyunggingkan senyum kecil di sudut bibirnya.

Dalam hati, Alvaro tertarik pada sosok Khenna. Ia jarang sekali tertarik dengan gadis karena tingkah mereka yang terkadang aneh baginya. Tapi, ia merasa Khenna berbeda.

Karena Khenna merasa gugup terus berada di sana, ia masuk ke dapur untuk menenangkan dirinya. Dapur selalu membuatnya merasa nyaman.

Di luar, Stefan yang lagi tidak ada kerjaan menyapa pelanggan setianya itu dari station kerjanya. “Bagaimana Mocha-ku kali ini?”

Fabulous like always,” jawab Alvaro sambil tersenyum. Rasanya senyum Alvaro dapat membuat semua gadis pingsan seketika.

“Bagaimana pendapatmu tentang adik Kylie?” tanya Stefan.

“Oh, itu adiknya? Seperti kembar saja. Mereka mirip sekali.”

“Percaya padaku, kalau kau ke sini besok, akan ada sesuatu yang spesial di atas mejamu,” kata Stefan.

“Apa?” tanya Alvaro dengan heran.

Back to work,” kata Stefan dan langsung membuat pesanan pelanggan.

***

Alvaro kembali ke apartemennya yang tak jauh dari kafe Kylie. Ketika pintu lift mau tertutup, tiba-tiba ada yang berlari menahan pintu lift.

“Maaf-maaf,” lalu gadis itu masuk dan berdiri di sebelah Alvaro dengan rambut yang agak acak-acakkan dan nafas yang tersengal-sengal.

“Adiknya Kylie, ya?” tanya Alvaro.

“Ah,” mendadak Khenna jadi salah tingkah, “i―iya, a―aku adik Kylie.”

“Kupikir kau kembar identik,” kata Alvaro tanpa menatap Khenna. “Kau tidak memencet nomor lantaimu?”

Khenna menatap tombol-tombol lift. Sudah dipencet, apa jangan-jangan

“Kau tinggal di sini?” tanya Khenna.

“Ya, aku baru pindah tadi pagi.”

Pintu lift terbuka lalu mereka keluar bersama-sama.

“Ternyata kita tinggal di lantai yang sama,” kata Alvaro.

Khenna langsung berbelok ke arah kiri menuju apartemen yang ditinggali kakaknya. Kopernya ia tinggal di rumah aslinya karena malas membawanya ke sini.

Sedangkan Alvaro belok ke arah kanan.

“Kenapa pas banget?” gumam Khenna setelah masuk ke apartemennya.

***

Khenna keluar dari apartemen meninggalkan kakaknya yang masih tertidur. Jam tangan gadis itu menunjukkan pukul setengah enam pagi. Tak lupa ia membawa kunci kafe kakaknya.

Gadis itu menuju supermarket yang tak jauh dari apartemen itu. Maklum, apartemen ini letaknya sangat strategis. Ia mencari-cari buah bit yang biasanya menjadi pewarna merah alami pada makanan. Khenna sangat menyukai buah itu.

Sesudah menemukan buah yang dicarinya, ia langsung berangkat menuju kafe kakaknya. Sesampainya di sana, Khenna langsung menyiapkan bahan-bahan dan alat yang akan dipakainya.

Khenna mengambil blender untuk menghaluskan buah bit yang sudah dibersihkan lalu ia saring untuk membuang ampasnya. Setelah mencampurkan semua bahan, ia aduk menggunakan mixer dengan kecepatan medium. Sesudah semuanya teraduk rata, ia menuangkan adonannya ke paper baking cups sampai penuh 3/4 bagiannya karena saat di oven, adonannya akan mengembang.

Adonan yang sudah dituangkan tadi, dimasukkan ke dalam oven yang dari tadi sudah Khenna panaskan dengan suhu 170 derajat Celsius. Dipanggang selama 20 menit.

Sambil menunggu adonannya matang, Khenna membuat frosting Oreo cream cheese untuk topping cupcake-nya.

Setelah matang, ia mengistirahatkan cupcakes yang  ia buat. Saat sudah agak dingin, baru Khenna menghias puncak cupcakes-nya dengan frosting yang sudah ia buat.

Khenna menata hasil karyanya di atas piring lalu tiba-tiba kakaknya masuk ke dapur.

“Hmm, Red Velvet Cupcakes,” kata Kylie yang menikmati wangi cupcakes yang masih mengudara di dapurnya. Lalu menghampiri mangkuk frosting yang masih tersisa dan menyoleknya sedikit untuk mencobanya, “Enak sekali, Khenna. Manisnya pas!” pujinya.

“Terima kasih,” Khenna senang bisa dipuji kakaknya.

“Kau mau menjualnya atau apa?” tanya Kylie.

“Enak saja, ini tidak di-ju-al.”

“Terus?”

“Seharusnya kau tahu,” jawab Khenna.

Kylie tampak berpikir sebentar, “Oooooooh! Untuk Alvaro, iya ‘kan?”

Khenna mengangguk, “Dan aku akan menyimpannya di dapur, no one will touch this.”

***

Orang yang Khenna tunggu pun datang dan duduk di tempat biasanya.

Khenna sedang merapi-rapikan roti-roti yang ada di meja display langsung berlari menuju dapur untuk mengambil cupcakes yang tadi ia buat. Ia membungkusnya dengan kotak yang biasa dipakai untuk membungkus kue tart. Ia mengisi enam buah cupcakes di dalamnya.

Khenna keluar dari dapur lalu memberikannya pada Alvaro.

“Apa ini?” tanya Alvaro.

“Aku harap kau suka.”

Alvaro membuka kotak itu lalu melihat jejeran cupcakes berwarna merah itu.

“Aku tidak suka kue, apalagi cupcakes,” suara Alvaro berubah dingin.

Rasanya Khenna ingin menjatuhkan dirinya dari tebing yang tinggi.

“Ke―kenapa?” Tak disangka, mata Khenna mulai berair.

“Kau merusak mood-ku,” Alvaro langsung pergi meninggalkan Khenna yang hanya bisa terdiam.

***

“Hai, Sayang,” Alvaro jongkok di depan sebuah makam lalu menaruh bouquet bunga aster berwarna kuning di atasnya.

“Kemarin aku bertemu seorang gadis yang sifatnya mirip denganmu,” lanjutnya. “Sepertinya dia juga pintar membuat kue sepertimu. Tapi aku tidak yakin kalau buatannya lebih enak daripada punyamu.”

“Dia bahkan memberiku kue yang sama seperti kau dulu, Red Velvet,” Alvaro tersenyum pada makam yang bertuliskan nama Audrey Yoshia yang meninggal dua tahun yang lalu.

Audrey adalah kekasih Alvaro yang meninggal akibat kanker paru-paru yang menyiksanya sejak kecil. Padahal, Audrey divonis tidak akan melewati umur 17 tahun, tetapi Tuhan memberinya waktu sampai umur 22 tahun.

Audrey seumuran dengan Alvaro, mereka sudah berpacaran semenjak SMA. Tapi memang tak disangka, Audrey sudah dipulangkan oleh Yang Mahakuasa.

Gadis pujaan Alvaro ini memang hobi bikin kue. Ia pun berkuliah di jurusan perhotelan, tetapi memfokuskan dirinya ke bidang kuliner. Sempat setahun sebelum ia koma, gadis itu bekerja di salah satu hotel ternama di Jakarta pada bagian pastry.

Kejadian ini membuat Alvaro sangat terpukul. Ia sempat menyalahkan dirinya sendiri karena menganggap dirinya tak bisa menjaga Audrey dengan baik.

Akhirnya Alvaro bisa bangkit dan tetap melanjutkan karirnya. Sekarang ia bekerja di sebuah perusahaan pangan dan menempati posisi asisten manajer.

“Tapi, aku tertarik dengan gadis ini. Apa kau tidak keberatan? Entah, aku juga tidak mengerti. Kepribadiannya sepertinya mirip denganmu. Rasanya seperti kau menjelma ke dalam dirinya. Ya, aku tahu kalian pasti juga ada perbedaannya. Bagaimana?” tanya Alvaro pada makam itu.

Tiba-tiba ada burung merpati berwarna putih mendarat di atas batu nisan Audrey. Senyum lebar pun mengembang di wajah Alvaro.

***

Bukan Khenna namanya kalau cepat menyerah. Ia kembali ke apartemennya lalu menaruh cupcakes-nya di depan pintu apartemen Alvaro. Ia tak peduli kuenya akan ditolak lagi, lelaki itu harus menerimanya. Sehabis itu Khenna langsung kembali ke apartemennya.

Alvaro kembali ke apartemennya lalu melihat kotak yang sepertinya ia kenal. Ya, itu kotak kue yang tadi mau diberikan Khenna. Awalnya, ia ragu-ragu ingin mengambilnya atau tidak. Tapi, akhirnya Alvaro mengambilnya.

Lelaki itu membuka kotaknya lalu mengambil salah satu isinya.

“Red Velvet,” gumamnya.

Ia memakan cupcake itu, sejenak ia terdiam karena…

“Ini enak sekali,” ucapnya. “Maafkan aku, Audrey, tapi ini lebih enak daripada punyamu,” ucapnya lagi.

Alvaro mulai percaya dan yakin kalau Khenna gadis yang spesial. Sejak bertemu pertama kali pun, ada rasa keingintahuan yang besar untuk mengenal gadis itu lebih dekat. Tapi, ia takut tidak siap dan masih trauma atas kepergian Audrey, kekasihnya.

Ia menatap Red Velvet dalam genggaman tangannya. Aku harus bertindak cepat, aku tidak mau dia dimiliki orang lain, batinnya.

***

“Kau sudah bekerja sangat keras,” Kylie menepuk pundak adiknya pelan.

Khenna yang masih berlumuran keringat akibat berjam-jam berada dalam panasnya udara oven di dapur langsung meminum Chocolate Chip Frappe yang diberikan Kylie. “Ah, terima kasih. Aku senang bisa membantumu di sini.”

“Baiklah, aku kembali ke dapur dulu,” kata Kylie.

Karena tak betah duduk, Khenna menghampiri meja display yang berisi berbagai macam roti-roti klasik lalu merapi-rapikannya. Tadi ada rombongan besar yang membeli roti-rotinya dan membuat susunan rotinya kacau.

Khenna merasa ada yang menghampiri meja tempat ia menaruh Frappe-nya dan menaruh sesuatu di sana.

Khenna spontan berbalik, “Apa yang kau lakukan, Stefan?”

Sontak Stefan kaget dan hampir menjatuhkan piring yang dibawanya.

“Hah?” tanyanya dengan muka seperti orang hilang arah.

“Kamu ngapain?” tanya Khenna lagi.

“Buat kamu,” ia menaruh piring yang berisi sepotong kue di atas meja Khenna.

Khenna menghampiri Stefan. “Kau yang buat?”

Stefan langsung pergi sesaat setelah Khenna bertanya padanya. Khenna semakin bingung.

Sepotong kue di atas piring itu adalah Red Velvet Cake.

Khenna mencicipi krim yang menutupi bagian atas kue itu. “Cream cheese,” gumamnya. Lalu ia memotong sedikit kue itu dan memasukkannya ke dalam mulutnya. “Enak sekali.”

Gadis itu melihat ke sekeliling kafe kakaknya. Matanya tertuju pada lelaki yang duduk di sudut ruangan sambil membaca koran. Di mejanya, ada kue yang sama dengannya.

“Kylie…” panggil Khenna pelan. Kebetulan Kylie baru keluar dari dapur.

“Kenapa?” tanya Kylie.

“Apa kau yang membuat ini?”

“Tidak, aku agak jarang bikin Red Velvet.” Kylie mencoba kue yang ada di meja Khenna. “Enak sekali, rasa krimnya mirip dengan punyamu. Bedanya, tanpa Oreo. Aku masuk lagi, ya.”

Khenna menunduk sambil memain-mainkan garpunya di atas piring kue itu. Ia tidak percaya apa yang dipikirkannya sekarang.

“Jangan dimainin, dimakan.”

Khenna tersentak bangun dan Alvaro sudah ada di depannya. Alvaro meletakkan piring yang berisi kue Red Velvet juga.

“Punyaku tidak seenak punyamu, karena aku memakai pewarna makanan, tidak dengan buah bit. Aku tidak bisa mencari buah bit di malam hari, bukan?” kata lelaki itu.

“Kau yang membuat… ini?” tanya Khenna heran.

“Ya. Kau tidak percaya?”

“Eh… bukan begitu. Ini enak,” kata Khenna yang jantungnya masih berdebar-debar cepat.

“Maaf aku membohongimu kemarin,” Alvaro menatap Khenna, “aku suka kuemu. Aku sangat suka kue Red Velvet.”

Khenna masih larut dalam diam.

Alvaro menceritakan semuanya, semua masa lalunya bersama Audrey juga betapa miripnya Khenna dengan Audrey. Bagaimana ia belajar membuat kue bersama Audrey. Semua kenangan bersama Audrey.

Khenna sempat menitikkan air mata karena ia tak menyangka seorang Alvaro yang dingin dan pendiam, ternyata mempunyai luka yang besar di hatinya dan kesetiaannya yang besar kepada kekasihnya yang sudah meninggal. Entah apa aku bisa mengisi hatinya, batin Khenna.

“Aku ingin membuka hati pada orang lain.”

Perkataan Alvaro tadi membuat Khenna sedikit tersentak.

“Aku ingin memulainya denganmu,” kata lelaki itu pelan. “Aku masih ingin mengenalmu lebih dekat. Temani aku.”

Khenna mengangguk dengan senang. Ia tak menyangka kegigihannya membuahkan hasil.

Kylie dan Stefan menatap dua sejoli itu dari jauh. Mereka tersenyum bahagia. Tak sadar, Stefan merangkul Kylie.

“Stefan…” Kylie menunjuk lengan Stefan yang melingkar di bahunya.

“Oh, maaf,” Stefan tertunduk malu.

 

 

Okay, sebenarnya cerita ini dalam bentuk oneshot tapi akan to be continued. Tokoh cowoknya akan aku pakai dari sepakbola atau motogp. Yang di atas itu aku pakai Stefan Bradl dan Alvaro Morata.

Kenapa Alvaro Morata? Soalnya aku lagi sedih dia pindah ke Juventus 😥 

Dan oneshot-oneshot ini judulnya tentang kue-kue. Nanti bisa dicek di kategori Pasteleria.

Tujuan buat ini? Hmm, karena pengen sesuatu yang berbau pastry aja dan sekalian mengisi kekosongan blog. Soalnya The Genius One aku lagi terbengkalai huhuhu tapi tenang aja tetap aku lanjutin kok tapi mungkin akan dalam waktu yang agak lama, sorry >< 

Hope you enjoy this one. Ciao!

 

4 thoughts on “Pastelería: Red Velvet

  1. Morata eh? Hufhhhh,,, Karena gak ada tulisan Morata-nya, eh, aku malah ngebayanginnya si Alvaro Bautista *lemes*
    Hm, ceritanya ringan. Sepi konflik. Tapi, aku suka 😀

  2. Dasar dikepalaku ff itu motogp sampai bawah yg di cari nama rider. Sama kayak rita bayangin alvaro malah alvaro bautista jadi agak ngga sinkron waktu aku bayangin muka kek alvaro bautista bikin cewek pingsan. Hahaha
    Rajin banget sih fel….aku ngga bisa baking or masak kue loh km hebat bisa bikin deskripsi kek gitu. Btw pas ultah kmaren juga ada red velvet loh enakkk

Leave a comment