Pastelería: Macaroon

Maaf semuanya baru post sekarang! Padahal janjinya minggu kemaren 😦 soalnya udah mulai kuliah dan sibuk banget aaaaa bakal jadi jarang nulis. Tapi i’ll try the best buat menghibur kalian semua dengan cerita-ceritaku hehehe :p 

Oke, enjoy!!

macaroon

“I’m in love with you,” he said quietly.

“Augustus,” I said.

“I am,” he said. He was staring at me, and I could see the corners of his eyes crinkling. “I’m in love with you, and I’m not in the business of denying myself the simple pleasure of saying true things. I’m in love with you, and I know that love is just a shout into the void, and that oblivion is inevitable, and that we’re all doomed and that there will come a day when all our labor has been returned to dust, and I know the sun will swallow the only earth we’ll ever have, and I am in love with you.”
John Green, The Fault in Our Stars

Kylie keluar dari dapur membawa nampan berisi cup-cup Tiramisu yang tampak menggiurkan. Ia menyusunnya di lemari display yang dingin.

Hari ini Khenna menemani Alvaro bertemu klien di Bandung, jadi hari ini Kylie tidak dibantu adik kesayangannya itu. Tapi, nanti malam Khenna akan tetap pulang ke Jakarta.

Saat sedang menyusun, lonceng pintu kafe Kylie berbunyi, menandakan ada pelanggan yang masuk. Ternyata bukan pelanggan yang masuk…

“Hai, Sayang!” Gadis itu seumuran Kylie, memakai gaun merah muda ukuran selutut tak berlengan bercorak polkadot putih serta flat shoes berwarna hitam dan tas mewah ber-merk Hermes.

Kylie mengernyit jijik pada gadis itu.

“Aku sudah bilang, JANGAN ke tempat kerjaku,” Stefan membuat penekanan pada kata ‘jangan’.

“Ya, aku hanya mau menghampiri TUNANGANKU,” gadis itu menekankan kata ‘tunanganku’ pada Kylie.

“Hah,” dengus Kylie yang masih merapi-rapikan lemari display-nya.

“Lagian kamu ngapain masih kerja di sini? Mau godain manajer kamu? Iya?” oceh gadis itu.

“Alexa, mending sekarang kamu pergi. Jangan ganggu aku kerja. Jangan bikin ribut siang-siang di sini,” kata Stefan.

“Ya justru karena kafe ini sepinya pas siang, makanya aku datangnya siang. Kamu harusnya senang tunangan kamu ke sini,” kata gadis bernama Alexa itu.

“Senang? Geli aku, Lex,” balas Stefan sambil menyeringai jijik pada Alexa.

“Dasar jahat.” Alexa berjalan menuju pintu tetapi ia berhenti sebentar di depannya, “Ada makan malam di rumah aku, aku harap kamu datang.”

“Bodo amat,” gumam Stefan yang sebenarnya terdengar oleh Alexa.

Alexa mendengus kesal lalu langsung meninggalkan kafe.

Kylie yang sudah selesai dengan pekerjaannya, langsung kembali ke dapur.

“James,” panggil Stefan.

“Hmm?” jawab James yang sedang mencuci blender.

“Jaga station bentar. Mau ke belakang.”

“Oke,” balas James.

Di dalam dapur kafe Kylie ada satu ruangan yang tidak terlalu besar. Ruangan itu adalah ruangan pribadi Kylie, tempat gadis itu mengatur keuangan serta data-data kafenya. Ruangan itu berisi meja kerja, sofa, juga rak buku. Di atas meja kerja itu terdapat sebuah laptop, printer, telepon dan mesin fax. Sedangkan rak bukunya berisi berkas-berkas tentang kafe dan beberapa novel favorit Kylie. Jadi, kalau tak ada kerjaan, Kylie bisa membaca novel-novelnya.

Stefan masuk ke dalam ruangan itu.

“Aku heran kenapa kau punya tunangan kayak dia,” oceh Kylie yang sedang berkutat pada laptopnya.

“Siapa yang mau?” Stefan duduk di atas sofa ruangan Kylie. “Harusnya kamu yang jadi tunangan aku, bukan dia.”

“Ya hubungan kita hancur karena dia.”

“Kamu berjuang juga dong buat kita. Dulu kamu malah ngelepasin aku gitu aja sama si cewek enggak jelas begitu.”

“Aku harus gimana lagi? Sudahlah, hubungan kita sudah selesai.”

“Kamu gampang bilang begitu,” Stefan mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangannya, “Aku kerja di sini karena siapa? Karena ada kamu.”

Kylie hanya diam. Yang terdengar hanyalah suara ketikan keyboard laptop Kylie.

“Aku sudah dari dulu coba move on. Tapi enggak bisa, Ky. Ka―kamu terlalu berarti buat aku. Kamu terlalu hebat dan sempurna di mata aku. Susah buat aku lupain kamu gitu aja.”

Tiba-tiba Kylie berhenti mengetik mendengar pernyataan Stefan.

“Kamu enggak tahu rasanya waktu aku lihat kamu dekat sama Scott, sahabat aku sendiri. Aku khawatir banget soalnya dia suka mainin cewek. Setiap kamu dekat sama lelaki mana pun, aku khawatir. Aku takut mereka enggak bisa jaga kamu baik-baik.”

“Stef, please, cukup. Percuma kamu kayak gini, enggak akan merubah apapun,” suara Kylie mulai bergetar.

Stefan menghampiri meja Kylie, “Kamu masih sayang sama aku, Ky.”

“Enggak, Stef.”

“Jangan bohong. Lihat aku, Ky.”

“Stefan, please!” Kylie berdiri sambil menggebrak meja kerjanya. “Can you justgo? Aku pusing. Jangan bikin aku makin banyak pikiran.”

Okay, I’ll go. I think we can build this relationship again. Think it, Ky,” lalu Stefan langsung keluar dari ruangan Kylie. Ia agak sedikit membanting pintu ruangan gadis yang ia sayangi itu.

Kylie terduduk di kursi kerjanya, “We can’t,” gumamnya.

***

“Varo…” panggil Khenna yang sedang memotong coklat batangan.

“Alvaro?” panggil gadis itu lagi.

Khenna melihat ke belakang dan melihat lelaki itu duduk tertidur di lantai dapur sambil bersandar pada lemari.

“Morata!”

Alvaro langsung terkesiap bangun, “Iya, Pak!”

Khenna langsung tertawa terbahak-bahak melihat kelakuan Alvaro. Maklum, lelaki itu takut jika sudah dipanggil dengan nama belakang oleh manajernya di kantor.

“Kamu jahat banget. Aku ngantuk tahu,” kata Alvaro sambil mengucek-ngucek matanya.

“Iya, maaf. Kamu mending bantuin aku biar enggak ngantuk. Hari ini kamu masuk jam 1 ‘kan?”

“Iya, aku masuk jam 1. Justru aku masuk siang biar bisa bangun siang. Bukannya bangun pagi begini.” Alvaro melihat jam tangannya, “Jam 6 pagi begini kamu sudah suruh aku ke kafe.”

“Oh, jadi kamu enggak mau temenin aku?” raut muka Khenna berubah masam.

“Ya, mau.”

“Terus? Kamu belakangan ini sibuk banget. Jarang ke kafe juga. Gimana aku enggak minta ditemenin terus?” oceh Khenna.

Alvaro bangun lalu melingkarkan lengannya di pinggang Khenna, “Maaf aku terlalu sibuk. Soalnya lagi ada order yang banyak dari klien, mau gak mau aku harus bantuin Bos aku terus.” Lelaki itu mengelus rambut panjang Khenna, “Kamu mau aku ambilin apa?” tanyanya lembut.

“Mangkuk kaca yang ada di lemari yang kamu sandarin tadi.”

Okay,” kata Alvaro sambil mengambil mangkuk yang dimaksud Khenna.

Morning,” Kylie masuk ke dapur lalu menghampiri Khenna dan Alvaro.

“Coklat yang dark?” tanya Khenna pada Kylie.

“Enakan dark, itu bagus banget coklatnya. Mahal, sehat,” kata Kylie. “Dan pahit banget,” lanjutnya.

“Aku campur cream lagi kali ya? Ini pahit banget tahu, Ky. Kamu mau nyuruh pelanggan diet pakai coklat kamu ini?” kata Khenna sambil tertawa.

“Ya, enggak sih. Kamu tahu aku perfeksionis banget. Serba ber-ku-a-li-tas!”

“Siap, Bos!” seru Khenna.

Saat sedang mengaduk coklat, Khenna merasa ada yang tidak enak pada hidungnya. “Kamu aduk bentar, Var.” Khenna langsung berlari menuju kamar mandi.

Saat menatap cermin, darah segar mulai keluar dari lubang hidung Khenna. Dengan segera gadis itu mengusap hidungnya dengan air dari wastafel. Karena belum berhenti, Khenna menekan cuping hidungnya selama beberapa menit. Ternyata berhasil. Segera ia membersihkan kembali hidungnya yang masih ada bekas darah.

“Kamu kenapa?” tanya Alvaro setelah Khenna kembali dari toilet.

“Aku cuma pilek,” dusta Khenna.

“Tapi tadi enggak kenapa-kenapa?” Alvaro bertanya dengan heran.

“Barusan, kok.” Khenna tidak ingin Alvaro khawatir dengannya.

Stefan masuk ke dapur secara tiba-tiba, “Kylie!”

Kylie langsung masuk ke dalam ruangannya tanpa meladeni Stefan.

Alvaro dan Khenna terdiam melihat tingkah Stefan dan Kylie.

“Eh! Aduk nanti krimnya menggumpal!” teriak Khenna.

“Oh iya!” Alvaro langsung mengaduk coklatnya kembali.

***

Sedari tadi Alvaro dan Khenna duduk di kafe sembari memperhatikan Kylie dan Stefan yang bertingkah aneh. Mereka tidak bercanda seperti biasanya bahkan mengobrol. Stefan terus memerhatikan Kylie yang bolak-balik dapur dengan tatapan tajam. Sedangkan Kylie bersikap semasa bodoh pada Stefan.

“Aku pergi kerja dulu, ya,” pamit Alvaro pada Khenna. “Kerja dulu, ya!” pamitnya juga pada Kylie dan Stefan. Mereka tidak membalas pamitan Alvaro seperti biasa.

Alvaro menyeringai pada Khenna.

“Sudah, biarkan saja,” gumam Khenna pada Alvaro.

Khenna mengambil ponselnya lalu menghubungi supplier tepung langganan Kylie yang bernama Sebastian. Seb―panggilan akrabnya―melanjutkan bisnis tepung orang tuanya. Dia adalah teman Kylie sewaktu SMA.

“Halo? Seb? Aku pesan tepung Almond, ya. Nanti aku transfer. Thanks.”

Khenna menghampiri Stefan yang masih tidak bersemangat kerja, “Nanti malam sibuk?” tanyanya.

Stefan menggelengkan kepalanya.

“Bantu aku, yuk,” ajak Khenna.

“Ngapain?” tanya Stefan sambil mengelap cangkir.

“Pokoknya bantuin. I just wanna make you feel better,” kata Khenna.

Your sister? Just ask her,” balas Stefan dengan tampang masam.

Nope. Aku sudah bosan ditemani dia. Kau ‘kan tak pernah menemaniku. You won’t regret this. I promise,” bujuk Khenna.

Well…”

“Dari pada digangguin tunangan kamu yang crazy itu, mending sama aku.”

Okay, okay.”

“Senyum dong biar ganteng,” goda Khenna.

Stefan tersenyum memamerkan deretan giginya, agak maksa sih senyumnya.

“Nah, gitu ‘kan enak diliatnya. Back to work, chop-chop!” Lalu Khenna masuk ke dalam dapurnya.

***

“Kamu mau buat apa?” tanya Stefan.

“Coba tebak. I have almond flour right there, that’s the easiest clue.”

“Macaroons,” jawab Stefan sambil tersenyum.

Yup. Macaroon itu enak, kecil tapi berharga. Kalau menurut aku, cinta itu kayak Macaroon.” Pernyataan Khenna sukses membuat Stefan bingung.

Why?” tanya Stefan heran.

“Prosesnya, RIBET,” Khenna menekankan kata ‘ribet’.

Well, quote yang bagus,” puji Stefan lalu tertawa kecil sambil menggelengkan kepalanya. “Dari mana kamu dapat quote begitu?”

It’s my own quote. Quote itu datang sendiri ketika aku pertama kali bikin Macaroon di Singapore.”

“Kenapa?” tanya Stefan.

“Ayo, sambil bikin, aku sambil cerita.”

Khenna mengambil ayakan untuk mengayak gula halus dan tepung almond. “Kamu ayak gula halus dulu.”

Stefan mengayak gula halus tersebut. Beberapa partikel kasar tertahan di dalam ayakan.

“Kamu liat gula yang kasar?”

Stefan mengangguk.

“Partikel kasar itu adalah pengganggu. Macaroon hasilnya tak akan bagus jika kita membiarkan partikel itu masuk. Sama kayak hubungan, pengganggu tidak akan pernah membuat sebuah hubungan berjalan lancar. Itu hanya membuat hubungan kamu hancur kayak Macaroon kalau sudah jadi. Get it?”

“Wow,” kata Stefan. Lalu ia melanjutkan mengayak tepung almond. Beberapa partikel kasar juga terdapat di ayakan itu.

“Jadi, yang kasar itu pantasnya di?” Khenna menyeringai pada Stefan.

“Buang,” jawab Stefan sambil tersenyum. Ia mulai merasa nyaman dengan penjelasan Khenna.

Khenna mengambil mangkuk yang berisi gula halus dan tepung almond yang sudah diayak Stefan tadi, lalu mengaduknya agar tercampur dengan rata.

“Macaroon itu perfeksionis, makanya harganya mahal. Tapi, tetap sebanding sama rasanya,” jelas Khenna.

Khenna mengambil mangkuk yang lain lalu menyediakan gula biasa dan telur dalam suhu ruangan.

“Sebenarnya, bahan-bahannya gampang,” kata Khenna sambil memisahkan putih telur dan kuningnya, “tapi, cara bikinnya itu. Ambil mixer sama cup itu.”

Stefan mengambil alat yang disuruh Khenna.

“Kita hanya pakai putih telurnya. Nah, kebanyakan orang gagal bikin Macaroon karena waktu. Kadang ada yang over, alias ngaduknya kelamaan atau bahkan sebaliknya. Sama kayak cinta, ada waktunya. Kita harus tahu kapan harus nembak dia, kapan harus berusaha atau berjuang buat dia, kapan harus ngelamar dia. Semua pasti ada waktu yang tepat,” terang Khenna.

“Putih telur ini harus dikocok pakai mixer exactly 8 minutes,” lanjut gadis itu. “Empat menit dikocok, empat menit yang lainnya akan dikocok sambil dituangin gula biasa. Kamu kocok putih telurnya, medium speed.”

“Ribet, ya. Harus pakai waktu,” kata Stefan sambil mengocok putih telur. Ia melihat Khenna menyalakan stopwatch agar tak lupa waktu.

“Makanya, waktu itu penting. Enggak cuma di baking,” jawab Khenna.

Khenna mengambil satu cup gula biasa. Setelah empat menit, Khenna menambahkannya perlahan-lahan ke dalam mangkuk putih telur.

“Kenapa harus perlahan-lahan?” tanya Stefan.

“Tidak tahu,” jawab gadis itu sambil tertawa, “aku ini chef yang aneh. Aku jarang bertanya kepada para pengajarku di sana. Aku hanya selalu menghafalkan langkah-langkah yang mereka lakukan. Makanya aku berani ambil resiko dari setiap masakanku. Tetapi setahuku, agar tidak menggumpal dan tercampur lebih rata.”

“Sama kayak cinta lagi dong,” kata Stefan.

“Kenapa?”

Smooth, perlahan, tidak terburu-buru,” jawab lelaki blasteran itu.

Oh la la,” Khenna menggunakan aksen Prancis.

I finally got it,” kata Stefan. “What’s next?”

Khenna membuka lemari yang ada di atasnya. Lemari itu berisi berbagai macam food coloring. “Mau warna apa?”

Pink, she loves pink.”

Okay,” Khenna mengambil food coloring warna pink. “Tunggu, aku hampir lupa menambahkan sedikit garam.” Khenna mengambil garam lalu memasukkan sedikit garam ke dalam putih telurnya.

Khenna mengambil pewarna makanannya lalu memasukkan sedikit lebih banyak dari garam agar warnanya lebih keluar dan terang.

Stefan mengocok lagi dengan mixer agar warnanya tercampur merata.

Khenna mengambil mangkuk berisi campuran tepung almond dan gula halus tadi.

“Di sini adalah part tersulit,” kata Khenna, “banyak yang tidak tahu harus diaduk exactly berapa kali. Masalahnya adalah; kalau overmix, Macaroon-nya akan bantet sedangkan kalau undermix, Macaroon-nya akan terlalu lembut dan jadi hancur.”

“Jadi harus berapa kali?” tanya Stefan heran.

“Kira-kira 50-60 kali. Tapi, aku akan pakai 60 kali. Jadi setiap 20 kali, kau akan membantuku untuk memasukkan sedikit demi sedikit tepung campuran itu. Got it?”

Yeah,” jawab Stefan.

“Sama lagi nih kayak cinta. Kita enggak boleh terlalu over atau too much perhatian karena nanti kita akan jadi posesif sama dia alias dia malah down or bantet kayak Macaroon, tapi juga enggak boleh less perhatian karena pasti dia bakal pergi ninggalin kita alias dia hancur kayak Macaroon karena kelakuan kita.”

Stefan mengangguk pelan. Ia membantu Khenna memasukkan tepung sedangkan Khenna menghitung adukan dalam kepalanya.

Sesudah mangaduk, Khenna memasukkan adonan ke dalam plastik khusus agar rapi membentuk bulatan kecil Macaroon ke dalam loyang. Sehabis itu ia mengetuk-ngetuk loyangnya agar udara dalam adonan yang sudah terbagi menjadi kecil-kecil itu hilang. Lalu ia mendiamkan adonan itu selama 30 menit. Selama itu, Khenna dan Stefan mengobrol sebentar.

“Aku masih menyayangi Kylie,” kata Stefan sambil mengambil buah stroberi lalu memakannya.

“Sangat jelas kau masih suka padanya. Tapi kenapa kau tidak memperjuangkannya?” kata Khenna.

“Aku? Aku tidak memperjuangkannya? Kau salah besar. Semua orang hanya tahu kalau aku yang mengakhiri semuanya.”

“Tetapi tidak,” lanjut pria itu. “Kakakmu tak punya nyali sedikit pun untuk memperjuangkan ini semua. Meskipun aku sudah tunangan dengan gadis aneh itu, tapi aku tetap melawan orang tuaku untuknya.”

Setelah berbincang-bincang lagi sebentar, Khenna memasukkan adonan yang tadi ia istirahatkan ke dalam oven 115 derajat Celsius selama 20 menit.

Selama 20 menit itu, Stefan membantu Khenna membuat strawberry buttercream frosting. Sesudah adonan Macaroon-nya matang, Khenna mengoles buttercream-nya lalu menyajikannya di atas piring.

“Berikan pada gadismu,” Khenna menyerahkan piring berisi Macaroon itu.

***

Keesokan paginya Kylie masuk ke kantor kecilnya lalu melihat ada sepiring Macaroon berwarna pink cantik di atas meja kerjanya. Tak sadar, Stefan berdiri di belakang Kylie.

For you,” kata pria itu.

“Untuk apa?” tanya Kylie yang masih membelakangi Stefan.

“Cinta.”

 

hahaha agak gak jelas ya ending-nya? Yaudahlah lagi pusing sama jadwal kuliah lol thanks for reading!!

and aku liat resep Macaroon itu dari video Youtube-nya Rosanna Pansino di sini. Dia pinter banget bikin kreasi kue-kue yang lucu-lucu. ^^

5 thoughts on “Pastelería: Macaroon

  1. aaakkkk entah knpa aku sukak banget sama ni ff. apalagi tentang bikin kue, masak-masak(?) dsb nya, suka banget :’3 iya Kylie perjuangin juga dong cintamu sama Stefan hhahahah 😀 lanjut kak Felic:*

  2. Selesai ospek langsung capcus kemari hihihi….
    Eh, coba deh liat kalimat ini.
    Sedari tadi Alvaro dan Khenna duduk di kafe sembari memperhatikan Kylie dan Stefan yang bertingkah aneh. Mereka tidak bercanda seperti biasanya bahkan mengobrol. Stefan terus memerhatikan Kylie yang bolak-balik dapur dengan tatapan tajam.
    Ada yang aneh gak?
    Btw, aku suka filosofi cintanya. Imajinasi sendiri? Hihihihi…
    Khenna sakit?
    Jangan sampe sad ending.

Leave a comment