4

Pastelería: Red Velvet

red velvet

Being deeply loved by someone gives you strength, while loving someone deeply gives you courage.”
― Lao Tzu

 

Kylie sedang memanggang croissant buatannya untuk disajikan ke pelanggan-pelanggannya. Syukurlah dalam tiga tahun terakhir ini, usahanya di bidang pastry terbilang sukses. Awalnya, bakery yang ia namai Pastelería ini memulai usahanya lewat online shop yang sedang marak sekarang ini. Karena melihat kegigihan putrinya, ayah Kylie memberi Kylie modal untuk usaha ini.

Keluarga Kylie terbilang terpandang dan kaya. Tapi, Kylie selalu mencoba untuk hidup sederhana. Makanya, ia tertarik untuk membuka usaha sendiri hingga sekarang.

Sebenarnya Kylie tidak kuliah di jurusan yang berhubungan dengan pastry, bahkan kuliner. Kylie lulus dengan gelar S1 bidang Psikologi. Ia mempelajari semua resep dari internet lalu memodifikasinya sedemikian rupa. Bahkan ia menerima pesanan request dari pelanggan-pelanggannya. Terutama dalam hal kue ulang tahun. Tangan Kylie sangat mahir dalam memainkan icing untuk kue. Ia bisa membentuk berbagai macam karakter dengan icing tersebut. Entah bakat dari mana asalnya.

Sesudah menunggu croissant-nya matang, ia langsung menyajikannya di meja display untuk memajang berbagai roti dengan aneka rasa. Kylie lebih suka kue-kue klasik macam croissant, baguette dan kawan-kawannya untuk disajikan ke bakery-nya yang sudah seperti kafe dan selalu ada saja pelanggan yang bersantai di kafenya.

Karyawannya pun sudah lumayan banyak; 3 orang pembuat minuman, 2 orang penjaga kasir, 3 orang asisten Kylie di dapur, serta 4 pelayan untuk melayani pengunjung dan juga membantu membereskan meja display.

Saat ingin kembali ke dapur, Kylie melihat sosok misterius yang duduk di salah satu meja kafenya.

“Jeanette,” Kylie memanggil salah satu pelayannya.

“Ada apa, Ky?” tanya Jeanette.

“Orang itu sudah kau layani?” Kylie menunjuk sosok yang sedang memakai snapback hitam bertuliskan “BOY” berwarna putih, rambutnya diselipkan ke dalam topinya, kemeja kotak-kotak berwarna biru campur hijau yang melapisi tank top-nya yang berwarna putih, celana jins berwarna biru navy, serta sepatu kets berwarna hijau tua.

“Sudah, tapi dia hanya diam saja dan menunduk seperti itu,” jawab Jeanette.

“Aku akan coba bertanya,” lalu Kylie menghampiri gadis misterius itu.

“Apakah anda mau memesan?” tanya Kylie.

Seketika gadis itu melepaskan topinya lalu mendongakkan kepalanya pada Kylie. Tak disangka, Kylie langsung menjitak kepala gadis itu.

“Dasar kau tukang onar,” kata Kylie sambil tertawa.

“Sakit, Ky!” omel gadis itu sambil mengusap kepalanya.

“Kau ngapain balik ke sini, Nona Khenna Jevonnia?”

“Oh… Jadi kau tidak merindukan adikmu yang cantik ini, Kylie Jevonnia?”

“Aku hanya punya adik yang tukang bikin orang repot!” jawab Kylie. “Sudah puas kabur ke Singapura? Apa nanti mau balik lagi? Untung Papa masih memberimu uang. Coba kalau tidak? Menghubungiku saja kau hampir tidak pernah,” protesnya.

“Apa masa lalu kita masih tidak menjelaskan kenapa aku kabur?”

“Baiklah, kita tidak perlu membahasnya.” Kylie duduk berhadapan dengan Khenna, “Kau kuliah, ‘kan?”

“Tentu, aku bahkan jadi mahasiswi terbaik di sana,” pamer Khenna.

“Wah, benarkah? Mana buktinya?”

Khenna mengeluarkan iPhone-nya lalu menunjukkan foto wisudanya yang sedang bersalaman dengan Pemimpin tertinggi kampus tersebut. Ia memegang secarik sertifikat bertuliskan:

CULINARY INSTITUTE OF AMERICA

SINGAPORE CAMPUS

Congratulations for Mrs. JEVONNIA, Khenna

BEST STUDENT OF THE YEAR

Kylie menatap foto itu dengan kagum. Ia tidak menyangka akhirnya adiknya bisa bangkit dari masa lalu.

“Aku tidak menyangka kau masuk ke kuliner. Bukannya waktu itu Papa memasukkanmu ke bisnis?” tanya Kylie heran.

“Ya, memang. Aku meminta Papa untuk memindahkanku. Awalnya dia tak senang, tapi ternyata dia tetap mengabulkannya.”

“Kau mau Green Tea Frappe?” tawar Kylie sambil tersenyum.

“Kau menyediakannya di sini? Oh, tentu saja aku mau,” seru Khenna.

“Stefan! Tolong Green Tea Frappe untuk adikku ini,” teriak Kylie.

“Siap!” balas Stefan yang berwajah ganteng itu.

Khenna memperhatikan kafe kakaknya itu, “Semua karyawanmu ganteng-ganteng dan cantik-cantik. Dari mana kau dapatkan mereka?”

“Mereka semua teman-temanku, Khen. Kau mungkin hanya lupa pada mereka.”

Stefan datang membawa pesanan Kylie untuk Khenna.

“Wah, wah, tumben nganterin langsung,” goda Kylie.

“Ya, lagi enggak gitu ramai, kok. Sambil kenalan sama calon adik ipar,” balas Stefan.

“Tunggu,” sela Khenna. “Kau mantan Kylie waktu SMA ‘kan?”

Kylie hanya tersenyum malu. Begitupun Stefan yang mengedipkan satu matanya pada Khenna dan Kylie lalu kembali ke station-nya.

Daebak!” seru Khenna. “Stefan mengalami masa pubertas yang dahsyat. Kau harus kembali padanya.”

“Ah, aku tidak bisa. Dia sudah bertunangan,” wajah Kylie tampak sedih.

Khenna yang sedang menyeruput Frappe-nya tersedak, “Apa?! Dengan siapa? Dari dulu aku selalu mendukung hubunganmu dengannya.”

“Dia dijodohkan,” Kylie menyibak rambut panjangnya ke belakang, “dengan yang merusak hubunganku waktu itu.”

Khenna mendengus sebal, “Si Alexa itu? Yang pernah menjambak-jambak rambutmu?”

“Iya, dan kau membalasnya dengan menguncinya di toilet sekolah.” Kylie tertawa mengingat kelakuan adiknya waktu itu. “Lalu bagaimana denganmu? Kau tak dapat pacar di sana?”

“Ah, entah aku malas. Aku tidak mau membahas tentang jodoh.” Khenna mengaduk-ngaduk Frappe-nya, “Boleh aku meminjam dapurmu untuk berlatih?”

“Oh, tentu saja boleh. Kau bahkan boleh menambahkannya ke daftar menu-ku,” jawab Kylie. “Kau tertarik di bagian apa?”

“Sama denganmu, pastry.” Khenna melihat ke dinding yang ditempel oleh bingkai foto ukuran 40×50 cm bergambar seorang wanita cantik yang memakai baju koki sambil memegang kue Sachertorte (chocolate sponge cake with apricot jam and chocolate icing on top) berdiameter 20 cm.

“Sama dengan Mama, lebih tepatnya. Kita adalah duplikat Mama, bukan Papa,” Kylie ikutan memandang wanita di bingkai foto yang ternyata ibu mereka.

Continue reading