0

Welcome!!

Hai semuanya! ❤
animated-chick-image-0025animated-chick-image-0026animated-chick-image-0001

Aku adalah seorang mahasiswi Fakultas Teknik-Prodi Industri di salah satu universitas swasta di Jakarta. Sangat bahkan super sibuk dengan tugas dan laporan yang menumpuk. Jadi, menulis blog ini bukan rutinitas, ya!!

Fiction is better than reality. Yes, itu yang mendorong aku untuk iseng-iseng menulis. ENGGAK fokus buat menjadikan ini profesi, hanya hobi semata. Jadi, jika ada tata cara penulisan yang salah, mohon dimaklumi.

Peraturan? Ada.

NO COPYING
NO PLAGIARIZING
just read it by your own way (:

animated-chick-image-0009animated-chick-image-0029

Silahkan tinggalkan respon atau komen kalian yang sangat berarti untukku, si penulis, di kotak komentar setiap cerita.

Bisa juga lewat Twitter:@felpercy

Atau Ask.fm:@felpercy

Punya satu blog lagi yaitu feliciamarquez.tumblr.com, isinya macam-macam dan paling banyak tentang MotoGP dan Real Madrid. Boleh di follow :3

Sekian dariku, selamat bongkar-membongkar blog ini! ❤

animated-chick-image-0012

0

MY FIRST WHAT’S INSIDE VIDEO!

[What’s Inside] DIOR LES PARFUMS

Jadi, gue dapet paket parfum dengan botol-botol lucu ini dari sahabat gue tercinta.

Nah karena iseng dan gaada kerjaan, jadilah video singkat ini buat ngasih liat ke kalian kayak apa sih dalemnya…

Ujung-ujungnya juga dijadiin pajangan ama nyokap! hahahaha

Ayo ditonton dan jangan lupa LIKE dan SUBSCRIBE ya! ❤

Gue akan bikin What’s Inside video lagi dengan unboxing paket parfum lagi nih. Kali ini dibeliin kemaren sama bokap. Buat nyokap jadiin pajangan juga lol. Coba tebak merk apa hayooooo?? Makanya subscribe ya! hahahahaha

BIG BIG THANK YOU !

0

HAPPY NEW YEAR 2016

Fireworks

Thank You banget semuanya yang udah ngunjungin blog ini sepanjang tahun 2015. Meski post tahun ini dikit banget (bahkan cuma 3 post), tapi aku masih mau usahain buat blog ini, cuma karena kuliah yang padat dan tugas yang banyak makanya baru bisa aktif lagi sekarang. Bahkan semester depan juga pasti vakum lagi nih dari blog. Terima kasih yang sebesar-besarnya untuk kalian semua pembaca rutin yang selalu stay tuned di blog ini. Views, comments dan likes kalian sungguh teramat berarti.. ❤ 

A BIG BIG THANK YOU 😀

animated-thank-you-image-0070

HAPPY NEW YEAR 2016 FOR MY LOVELY READERS!!! ❤ ❤ ❤ 

animated-new-year-image-0191

Sebagai hadiah, kalian boleh ngeliat annual report-ku  di bawah ini 🙂

Continue reading

2

Manhattan, You #3

Hello my lovely readers!! Jangan pukulin aku ya karena baru nongol lagi wuahahaha maafin loh soalnya semester kemarin ini aku suuuupeeerrrrr dupeeeerrrrrr banyak tugas yang astaganaga amit amit naujubilehhhhhhh banyaknya alias laporan-laporan lab ku yg sungguh melelahkan dan menyita waktu. Thank God, LULUS! Jadi ga perlu ulang deh bikin kayak begituan lagi ahahah. By the way, aku ngelanjutin Manhattan, You dulu ya soalnya file yang lain-lain entah kemana. Bahkan The Genius One pun terancam ga lanjut karena filenya ada di laptopku yg rusak 😦 

Semoga kalian enjoy, ya. Aku lagi ga banyak inspirasi nih so sorryyyyy! Yang lupa cerita yang kemaren bisa baca post sebelum ini, ya! Thanks! 

3

Have you ever been in love? Horrible isn’t it? It makes you so vulnerable. It opens your chest and it opens up your heart and it means that someone can get inside you and mess you up.
Neil Gaiman, The Sandman, Vol. 9: The Kindly Ones

 

 

“Bagaimana kabarmu, Emma?” tanya Julie.

“Ya, sungguh baik. Bekerja di Gedung Putih sangat melelahkan, kau tahu,” jawab Emma. “Kau?”

“Aku juga baik, hmm, tetapi tidak juga,” Julie mendadak murung.

“Oh? Ada apa?” tanya Emma bingung.

“Ini tentang Clarissa.”

Emma terdiam. Emma sangat membenci Clarissa sejak kejadian pesta perpisahan yang diceritakan sahabatnya itu. Padahal dulu Emma, Clarissa dan Julie adalah tiga sekawan yang tak bisa dipisahkan waktu mereka SMA. Apalagi Emma melanjutkan sekolahnya di University of Yale—mengambil Ilmu Politik—yang menyita waktunya untuk bertemu dengan Julie. Sekarang ia bekerja di Gedung Putih, melihat Presiden adalah kesehariannya.

“Apalagi yang ia perbuat padamu?” tanya Emma dingin.

“Ia sudah punya anak,” jawab Julie datar.

“Wow,” Emma menyesap greentea latte-nya, “Sudah terbukti kalau dia memang wanita jalang, bukan?”

“Kau sangat membencinya, padahal aku yang mengalaminya,” tawa Julie pelan.

“Oh, ayolah, aku menyayangimu, Julie,” katanya sambil mengenggam tangan Julie. “Aku tak bisa memaafkan perbuatannya padamu. Dia bersalah.”

“Baiklah, baiklah, jangan keluarkan ilmu politikmu di sini, oke?” kata Julie sambil tertawa.

“Tentu, aku tahu kau sudah muak dengan pekerjaanku, aku juga muak,” canda Emma. “Kau sudah menemukan tambatan hati baru?”

“Hmm, sudah.”

“Benarkah?”

“Ya…”

“Tetapi?” tanya Emma penasaran.

“Dia adalah kakak tiri Clarissa,” jawab Julie pelan.

Ekspresi wajah Emma berubah muram lagi. “Kau mau menjadi saudari ipar Clarissa?” Hmm??”

“Aku juga baru tahu kemarin, Em.”

Tiba-tiba ponsel Emma berdering. “Wait a sec,” katanya sambil mengacungkan jari telunjuknya.

Julie mengacungkan jempolnya. Dasar political nerds, tawa Julie dalam hati.

“Ya, baiklah… Oke aku akan segera ke sana… Sabarlah, aku tidak hidup hanya untuk itu… Aku tahu semua kacau… Baiklah… Tentu akan aku lakukan, Fred.”

Julie memutar bola matanya.

“Maaf soal itu,” kata Emma. “Aku pusing dengan politik yang tak stabil ini. Orang-orang begitu egois.”

“Aku tahu kau sangat sibuk, kita bisa berbincang lain kali,” kata Julie lembut.

“Baiklah, aku sangat minta maaf, Julie.”

“Tak apa, Em.”

“Apa kau tahu? Orang yang tadi aku telepon adalah juru bicara presiden termuda. And he is pretty hot, you must know that.”

Well, I’ll give it to you, Lady.”

Emma memasang senyum manisnya, memeluk Julie lalu bergegas pergi.

***

Scott meletakkan bouquet bunga mawar putih di atas batu nisan yang bertuliskan nama “Jeanine Hayley Roberts”. Ia mencabut beberapa rumput liar yang mengganggu makam tersebut.

“Hai, Jean,” kata lelaki itu.

Di atas makam itu juga terdapat foto wanita yang persis dengan foto wanita yang ditempel Scott di dinding ruang kerjanya.

“Kemarin Julie sudah melihat fotomu dan aku sepertinya bersikap sedikit dingin padanya. Maafkan aku, ya.”

“Aku benar-benar menyukainya,” lanjut Scott. “Dia sepertimu, tetapi tidak… Dia agak berbeda. Aku suka dia.”

“Terima kasih,” kata Scott pelan lalu meninggalkan makam itu.

***

“Hai, Julie,” sapa Scott.

“Hmm, hai,” jawab Julie sambil membereskan buku-bukunya.

“Aku minta maaf soal kemarin.”

Julie bingung. “Kau tidak salah apa-apa padaku. Mengapa minta maaf?”

“Kemarin aku bersikap tak pantas padamu,” jawab Scott.

“Oh, ya ampun. Harusnya aku yang meminta maaf. Itu privasimu, Scott.”

Scott mengambil salah satu kursi di ruangan kelas tersebut lalu duduk di atasnya, menghadap ke arah Julie. Julie bersandar di meja kelas itu.

“Wanita itu adalah pacarku.”

Julie tersentak ke belakang hingga meja yang ia sandar terdorong sedikit ke belakang, tetapi mulutnya tetap terkatup diam.

“Dulu,” lanjut Scott. “Dia sangat pintar dan cantik.”

“Ya, aku melihat betapa cantiknya dia di foto itu.”

“Aku tidak tahu mengapa ia sangat pintar. Meraih cum laude Sarjana Teknik di Harvard, kau tahu? Dia adalah seorang wanita,” Scott tersenyum membayangkan. “Tetapi ia pergi meninggalkanku karena pekerjaan sampahnya itu.”

“Dia mengalami kecelakaan kerja?” tanya Julie perlahan.

“Ia bekerja di salah satu perusahaan perminyakan dan ia terjatuh…,” air mata Scott mulai turun ke pipinya.

“Sudah, sudah,” Julie berlutut di hadapan bangku Scott, “Kau tidak perlu melanjutkan lagi, aku tahu rasanya ditinggalkan seseorang.”

Julie mengusap air mata Scott, “Itu semua masa lalu, kita harus merelakannya dan merangkai masa depan.”

Scott menatap Julie, “Aku ingin merangkainya bersamamu.”

Continue reading

2

Manhattan, You #2

Part 2!! Enjoy yaaaaa hahaha sambil curhat dikit, gak curhat sih sbenernya, cuma lagi kesengsem aja nih ama novel Fifty Shades the series. Yak, memang itu novel agak-agak…. Hmm, yaaaa, kalo di bawah umur 18 jangan baca lah yaw wkwk but sbenernya novel itu jika tanpa adegan2 “begitu-begitu”-nya, actually it’s kinda good and soooooo romantic. Sekarang lagi baca buku yang kedua yaitu Fifty Shades Darker, buku pertama itu Fifty Shades of Grey, dan yang ketiga Fifty Shades Freed. Gak begitu suka sama buku pertama karena, as you know yang udah nonton filmnya, itu sama persis. Di buku kedua ini udah mulai luar biasa romantis si Christian Grey, dia si makhluk paling sempurna dalam novel ini hahaha karena bukunya ga keluar di indonesia, jadi aku berhasil nemuin pdf berbahasa indonesia di google. Aku tidak mau menjerumuskan kalian so aku gakmau naro linknya disini. Ask me if you wanna know lewat twitter aja: @felpercy karena ask.fm dan facebook ku udah ga begitu aktif dan jangan lupa konfirmasi umur. I will share anything but I know the limits. This is just my book recommendations. 

So, selamat membaca! —–> membaca yang di bawah ini maksudnya hahaha bukan fifty shades :p 

2

Clarissa menatap lembut buah hati kecilnya yang sedang tidur terlelap. Tak terasa begitu cepat anaknya tumbuh besar dan sudah menginjak umur 5 tahun.

“Aku berharap ayahmu mau mengakuimu, Nak,” bisik wanita itu lirih.

Memori lima tahun lalu selalu terngiang-ngiang dalam benaknya. Entah bagaimana ia begitu bodohnya memercayai Edward yang meninggalkannya begitu saja setelah tahu bahwa dirinya hamil. Ketika bagaimana Clarissa mencoba untuk membunuh janin dalam rahimnya, bingung ketika ia harus memberitahu kedua orang tuanya bahwa ia hamil.

“Belakangan ini makanmu banyak, Sayang,” kata Renee, ibu Clarissa.

Clarissa agak panik, “Tidak apa-apa, Mom. Aku hanya ingin makan banyak saja, kau tahu aku ini kurus, bukan?”

“Tapi kau juga mulai terlihat gemuk,” celetuk Wayne, ayah tiri Clarissa.

“Iyakah? Aku tidak yakin, Wayne,” jawab Clarissa ragu-ragu.

“Mungkin perasaanku saja,” kata Wayne sambil tertawa.

Tiba-tiba Clarissa merasa mual lalu langsung berlari ke toilet dengan sangat panik. Karena khawatir, Renee mengikuti anaknya itu.

“Kau ini kenapa? Kau bertingkah sangat aneh belakangan ini,” ucap Renee.

Clarissa menangis lalu memeluk ibunya.

“Aku minta maaf, Mom. Aku sangat minta maaf, aku tidak tahu mengapa ini bisa terjadi padaku. Aku minta maaf…” Clarissa kini memeluk kedua kaki ibunya.

Renee hanya bisa terdiam, terpaku mendengar pernyataan putri semata wayangnya itu.

“Aku mencoba membunuhnya, tapi aku tidak bisa, Mom.”

Renee terbangun dari lamunannya lalu mengangkat putrinya bangun, “Tidak, tidak, tidak. Kau tidak boleh membunuhnya, Sayang. Ingat, Tuhan tidak mengizinkan kita untuk membunuh,” Renee mengusap air mata Clarissa.

“Baiklah aku marah, aku kaget mendengar putriku seperti ini. Tapi tetap saja yang ada di rahimmu ini adalah hadiah dari Tuhan, kau mengerti?” lanjutnya.

“Baik, Mom. Aku akan menjaganya baik-baik.”

“Mom akan coba memberitahu Wayne, dia bukan tipe laki-laki pemarah, kau tahu?” kata Renee sambil tersenyum.

Enam bulan setelah insiden memberitahu ibunya itu, Clarissa melahirkan anak perempuannya yang ia beri nama Eleanor Young. Young adalah nama belakang ayah kandung Clarissa.

Seorang laki-laki masuk ke kamar Clarissa, “Dia sudah tidur?” tanya lelaki itu.

“Sudah, Scott,” kata Clarissa. “Kau pulang ke rumah hari ini?”

“Ya, besok aku tidak ada jadwal mengajar,” kata Scott sambil melepas dasinya. “Elle besok libur, ‘kan? Aku ingin mengajaknya jalan-jalan.”

“Kau baik sekali, padahal dulu kau membenciku dan Eleanor,” sindir Clarissa.

“Aku membencimu setelah menemukan test pack dalam tong sampah kamar mandimu, lalu kembali menyayangimu setelah kau melahirkan Elle.”

“Kenapa bisa begitu, Tuan Redding?”

“Melihat perjuanganmu merawat Elle saat masih dalam kandungan? Itu cukup membuatku tak benci padamu lagi.”

“Sebenci-bencinya kau padaku, kau tetap selalu di sampingku ketika aku butuh bantuan. Terutama saat aku mengidam.”

“Kau mengidam bunga mawar putih di malam hari, bagus sekali Clary. Aku ini kakakmu bukan suamimu,” kata Scott sambil tertawa.

“Hei, sekarang kau lihat sendiri betapa cantiknya Elle seperti mawar putih itu,” balas Clarissa.

“Ya sudah, kau tidurlah. Besok aku akan menjaga Elle. Selamat malam,” Scott langsung keluar dari kamar Clarissa.

Clarissa sangat senang mempunyai kakak tiri seperti Scott. Meskipun dulu dia membenci Clarissa, tetapi tak bisa dipungkiri kalau lelaki itu adalah tipe yang sangat penyayang. Terkadang Clarissa berharap Scott bisa menjadi suaminya, tetapi ya… Tuhan berkehendak lain.

***

Scott membawa Eleanor si gadis kecil kesayangan Clarissa ke Central Park. Meskipun hari Kamis, tetapi Central Park selalu dipenuhi orang-orang yang berpiknik, olah raga, bersantai, dan lain-lain.

“Uncle Scott, lihat ada cotton candy! Elle mau, Uncle…” rengek Eleanor.

“Baiklah, tapi kali ini saja, ya. Jangan bilang Mommy kalau kau membeli cotton candy, nanti dia marah. Okay?” kata Scott lembut.

Eleanor mengacungkan ibu jari mungilnya, “Okay, Uncle!” serunya.

Di sisi lain taman besar yang berada di tengah-tengah Manhattan itu, ternyata Julie sedang lari pagi di sana. Tubuhnya sudah dibanjiri keringat karena ia sudah berlari dari pagi-pagi sekali.

Saat hendak membeli minuman, Julie melihat seorang anak kecil duduk di bangku taman sendirian. Karena khawatir, Julie memutuskan untuk menghampiri anak itu.

“Hai, apa kau tersesat?” tanya Julie sambil tersenyum.

Anak itu agak terkejut karena Julie tiba-tiba duduk di sebelahnya lalu mengajaknya bicara. “Tidak, Auntie. Aku sedang menunggu Uncle-ku membelikanku cotton candy.”

Lucu sekali anak ini, pikir Julie. “Wah, kau berani sekali menunggu sendirian. Siapa namamu?”

“Namaku Eleanor Young,” kata Eleanor dengan muka polos khas anak-anak. Begitu menggemaskan.

Young? Julie sedikit tersentak mendengar nama keluarga Young. Wajah gadis kecil ini juga mengingatkannya pada Clarissa yang mempunyai nama keluarga yang sama dengan anak ini. Tetapi mungkinkah ini anak Clarissa? batinnya. Tetapi Julie langsung menepis jauh-jauh pikirannya itu. Di dunia ini yang mempunyai nama keluarga Young banyak, bukan?

“Bagus sekali namamu…”

“Nah ini dia,” Scott tiba-tiba datang lalu memberikan cotton candy pada keponakannya itu.

“Scott?” panggil Julie.

“Julie?” Scott terkejut lalu tersenyum, “Apa yang kau lakukan di sini?”

“Jadi kau Uncle-nya gadis kecil lucu ini?” tanya Julie yang gemas melihat Eleanor langsung melahap cotton candy-nya.

“Uncle kenal Auntie ini?” tanya Eleanor yang mulutnya belepotan gula.

“Iya, Sayang. Ini Auntie Julie. Dia adalah teman kerja Uncle,” kata Scott.

“Salam kenal ya, Auntie,” kata Eleanor sambil mengulurkan tangannya yang sedikit lengket karena cotton candy-nya.

“Salam kenal juga, Eleanor,” Julie menyambut tangan mungil Eleanor.

Karena Eleanor terus menempel pada Julie, wanita itu memutuskan mengajak anak kecil dan pamannya itu menemaninya berbelanja.

Julie sedang melihat-lihat sayuran lalu di sebelahnya ada seorang wanita bertanya, “Permisi, apa kau tahu di mana rak bumbu-bumbu dapur?”

Julie melihat wajah wanita itu lalu diam terpaku, begitu juga wanita itu.

“Cla—Clarissa?”

Continue reading

5

Manhattan, You #1

Hello semua! Jangan pada marah ya kalau aku baru nongol! hahahah maaf nih tugas banyak banget dan bikin aku stress makanya ampe ga sanggup buat nulis. Ampe mau berjamur dan penuh sarang laba-laba di blog ini, jadi basi banget hahaha ini cerita aja juga ga sengaja kebikin dan ternyata keasikan bikinnya hahaha. Mengambil latar kota Manhattan kali ini. Kenapa ya? Hmm… Gak tahu juga deh ini inspirasi dari mana gak ngerti! 

Dan untuk the genius one, teriman kasih responnya karena kalian sangat luar biasa hahaha, semoga banget nih aku bisa ngelanjutin tapi ga janji. Soalnya udah buntu bgt sama cerita itu daaaannnnn kelanjutan ceritanya ternyata nge stuck di laptopku yang rusak wuahahahaha luarrrr biasa. 

Terus buat Pasteleria juga masih lanjut so don’t worry but ceritanya ada di laptop papiku! hahahaha entah deh nulisnya amburadul dan ada dimana mana hahahaha sekarang aku sudah punya laptop baru. Nanti akan kupindahin kelanjutan pasteleria ke laptopku kalau aku bertemu dengan laptop papiku hahahaha spoiler dikit deh biar seneng, pasteleria selanjutnya aku ambil kue Brownies si kue coklat favoritku hehehe gak fix sih, tapi semoga fix *plin plan bgt* 

Oke deh, tanpa berlama-lama curcolnya, happy reading! jangan lupa komen2 ya. Tapi jangan marah2 ya sama aku :p hahahaha lope lope buat kalian semua…………..

1

Seperti biasa, Julie, yang setiap pagi harus melintasi jalanan-jalanan Manhattan yang macet untuk pergi bekerja. Ia bersyukur selalu minum kopi karena jika tidak, mungkin ia sudah tertidur di mobil selama kemacetan berlangsung. Tak lupa ia selalu mengaktifkan mode silent pada ponselnya karena tak henti-hentinya nomor-nomor berbeda menelponnya setiap hari.

Julie menganggap dirinya adalah orang paling berantakan saat pergi bekerja. Ia selalu kesiangan dan tak sempat mendandani dirinya sendiri. Paling sempat yang ia lakukan biasanya hanya menyisir atau mengikat rambutnya dengan gaya pony tail. Tetapi Julie bingung kenapa semua orang masih sempat-sempatnya memanggilnya “Hai, Cantik” di tempat kerja.

Sesudah memarkirkan mobil Ford Fiesta merahnya di parkiran tempat kerjanya, Julie langsung berlari menuju toilet untuk benar-benar merapikan dirinya. Rambut cokelat gelapnya diikat pony tail, memakai kacamata minus-nya lalu merapikan kemeja dan blazernya. Tak lupa ia memoles wajahnya dengan bedak dan lipstik berwarna tak jauh dari warna asli bibirnya.

Julie menyusuri koridor tempat kerjanya menuju ruangannya yang terbagi-bagi dengan karyawan lainnya. Wanita itu menatap meja kerjanya yang penuh dengan kertas-kertas ujian yang berlogo “Juilliard School” di atasnya.

“Kau terlihat segar, Julie,” kata Edward.

“Kau sangat menghiburku…” Julie menatap name tag lelaki itu, “… Edward Sheeran.”

“Caramu menatap name tag-ku selalu garang, Julie. Sampai kapan kita akan selalu begini?”

“Ayolah, Ed, jadilah profesional. Aku tidak suka murid-murid mengetahui lebih tentang kehidupan kita. Kita tidak perlu menunjukkannya kepada mereka. Berhentilah bercerita kepada mereka seolah-olah kau sangat menginginkanku.”

“Baiklah, Miss Julissa Collins,” lalu Ed menatap meja kerja Julie, “Apa kau butuh bantuan untuk menyelesaikan itu?”

“Tidak usah, aku akan menyelesaikannya nanti,” tolak Julie.

“Oke. Aku hanya ingin bilang aku sangat merindukan kita yang dulu.” Ed langsung meninggalkan ruang kerja.

Julie masih terduduk diam memikirkan hubungannya dengan Ed. Ia putus dengan lelaki itu setelah pesta kelulusannya dari Juilliard School bergelar Bachelor of Music—sama seperti Ed—beberapa tahun lalu. Tetapi lelaki itu masih sangat mengharapkannya setelah ia mencium Clarissa, teman baik Julie. Setelah insiden ciuman itu, Clarissa menghilang entah kemana.

Julie mendapatkan tawaran menjadi dosen di Juilliard karena kemahirannya mengajar piano para juniornya pada masa itu. Tak hanya itu, Julie juga menciptakan beberapa lagu yang ia promosikan lewat Youtube. Beberapa ada yang ia nyanyikan sendiri, ada juga beberapa yang dinyanyikan oleh beberapa muridnya yang bersuara emas. Setahun setelah Julie menjadi dosen, Ed tiba-tiba menjadi dosen juga di Juilliard. Tak jauh berbeda dengan Julie, Edward mengandalkan gitar sebagai pendamping dirinya saat menciptakan lagu. Pria dan wanita ini pun menjadi dosen termuda di Juilliard.

Setelah makan siang, Julie menilai semua kertas ujian yang sudah menumpuk di atas meja kerjanya. Ia malas membawa kertas-kertas itu ke apartemennya karena berat dan tak ingin kertas-kertas itu menghambat dirinya saat menciptakan lagu.

Tiba-tiba seorang pria yang tak Julie kenal serta Pimpinan tertinggi Juilliard yaitu Mr. Joseph masuk ke dalam ruang kerja karyawan menuju sebuah ruang kerja kosong yang dulu ditempati Ma’am Perry karena mengundurkan diri.

“Selamat bekerja, Mr. Scott,” kata Mr. Joseph.

“Terima kasih,” kata lelaki itu.

Mungkin dosen baru, pikir Julie.

Karena ruang kerja sedang kosong, Julie memutuskan untuk menyapa lelaki tersebut.

“Permisi, kau dosen baru?” tanya Julie.

Lelaki itu terlihat sedang sibuk merapikan meja kerjanya lalu membalikkan badan, “Iya,” katanya sambil tersenyum tipis.

Dia masih muda dan tampan, batin Julie.

“Aku Scott Redding,” lelaki itu mengulurkan tangannya pada Julie.

Julie menyambutnya, “Aku Julissa Collins, senang bertemu denganmu.”

“Aku juga,” kata Scott. “Kau jadi dosen apa?”

“Aku memfokuskan dalam bidang piano. Bagaimana denganmu?” tanya Julie.

Well, aku mengajarkan dance di sini.”

“Pantas kau terlihat bugar dan atletis,” kata Julie sambil tertawa kecil.

“Ya, jika itu menurutmu, aku sangat berterima kasih,” balas Scott serta tersenyum lebar.

Oh, Tuhan. Tampan sekali dosen ini, puji Julie dalam hati. “Baiklah, aku mau menyelesaikan pekerjaanku dulu. Selamat datang di Juilliard.” Lalu Julie kembali ke meja kerjanya.

“Julissa!” panggil Scott.

“Ya?” Julie membalikkan badannya, “Kau bisa memanggilku Julie.”

“Hmm… Julie, kau ada di Youtube, ya?” tanya Scott ragu-ragu.

“Menurutmu?” Julie balik bertanya dengan muka jahil.

“Suara, lagu, dan permainan pianomu luar biasa,” puji lelaki itu.

“Jika itu menurutmu, aku sangat berterima kasih,” kata Julie sambil tersenyum lalu kembali melanjutkan perjalanannya menuju meja kerjanya.

Scott tersenyum kagum melihat Julie berjalan menuju meja kerjanya.

***

Setiap tahun Juilliard selalu mengadakan pentas drama musikal akbar yang menggabungkan murid-murid dari setiap peminatan, yaitu drama, musik dan tari. Semua scenario pun yang menyusun adalah para murid. Dosen memberikan saran jika diminta oleh para murid mereka, ikut membantu dan membimbing  proses mereka dalam membangun drama musikal ini. Meski terserah para murid, tetapi semua dalam drama ini dinilai ketat oleh para dosen bahkan beberapa sutradara atau produser secara diam-diam bisa duduk di suatu tempat saat pementasan berlangsung dan dapat menghubungi Mr. Joseph jika ada murid yang mereka minati.

“Tentu dulu kau selalu mengikuti pentas ini,” kata Scott pada Julie yang sedang memerhatikan murid-murid yang sedang bersiap-siap. “Tapi kenapa kau tidak ditawari oleh orang-orang misterius yang memakai kacamata hitam itu?” Yang dimaksud Scott adalah para sutradara dan produser itu.

Julie menatap Scott lalu menunjukkan ponselnya, layarnya menampilkan nomor tak dikenal sedang meneleponnya. “Kau lihat? Ini yang aku rasakan sejak pentas pertamaku di Juilliard hingga sekarang.”

“Itu sebabnya aku heran mengapa kau tidak ditawari kontrak oleh mereka. Sangat tidak mungkin. Kenapa kau tak menerima salah satunya?” tanya Scott.

“Aku hanya ingin menjadi orang biasa, Scott. Hobiku adalah bermusik, tetapi untuk menjadi seorang bintang, aku tidak siap menerima segala beban dan resiko. Tapi aku ingin murid-muridku bisa melebihi aku,” jelas Julie.

“Wow,” kata Scott singkat.

Julie tertawa kecil, “Tak perlu begitu kaget. Sebenarnya aku ini aneh, bukan? Tidak mau menjadi bintang setelah sekolah tinggi-tinggi dan mahal-mahal di Juilliard.”

“Kau tidak aneh. Aku menghargai keputusanmu itu. Menurutku itu hebat,” kata pria itu. “Bagaimana dengan Ed? Dia seangkatan denganmu juga, bukan? Apa prinsip hidupnya sama sepertimu?” Scott menyerbu Julie dengan pertanyaan-pertanyaannya.

“Tidak tahu, aku tidak mengerti. Dia menghilang selama setahun setelah lulus, lalu kembali lagi dan menjadi dosen. Aku tak tertarik dengan kehidupannya.”

Continue reading

6

Oneshot: Another You

Entah kenapa lagi bernafsu bikin oneshot aja. Karena lagi malas bikin yang seri-seri hahaha.

Happy reading 🙂

 

another you

Liburan musim panas. Yah, seperti biasa aku dan teman-teman mengadakan acara camping untuk bersenang-senang. Padang rumput yang setiap tahun kami datangi ini mungkin sudah bosan dengan kedatangan kami.

Tahun ini ada suasana baru, Maverick membawa seorang temannya. Dia bilang itu adalah teman masa kecilnya yang sudah lama tidak ia temui.

“Callista!” panggil Maverick.

Aku yang sedang merapikan tenda langsung menghampiri sahabatku yang lebih akrab disapa Mack itu, “Ada apa?”

“Ini, kenalkan, Dylan O’ Brien. Teman masa kecilku dulu, sulit sekali menemukan orang Amerika ini,” Mack tertawa begitu juga Dylan.

Dylan mengulurkan tangannya padaku sambil tersenyum, “Dylan O’ Brien.”

Jujur, senyumnya sungguh menawan. Aku menyambut tangannya, “Callista Gabreel.”

***

Malam mulai tiba. Para lelaki mulai sibuk menyusun kayu bakar untuk menyalakan api unggun. Kami para wanita, menyiapkan bahan-bahan untuk barbeque.

“Dylan tampan, ya,” kata Bianca.

“Iya, dia manis sekali dan kelihatannya baik,” jawabku.

“Kau tertarik dengannya?” tanya Bianca.

“Mungkin, aku tidak tahu juga.”

“Kau belum pernah jatuh cinta, aku harap kali ini kau bisa jatuh pada Dylan.”

“Ah, aku ‘kan baru mengenalnya, aku bisa berharap apa?”

“Semua butuh proses, Lista,” kata Bianca sambil menepuk bahuku. “Ayo kita ke sana, mereka sudah siap.”

Aku dan Bianca duduk di sebuah batang kayu yang melintang dekat api unggun. Batang-batang kayu besar itu disusun mengelilingi api unggun agar kami bisa duduk di sana.

Alex, temanku yang gayanya bak seorang musisi itu mulai memetik gitarnya mengalunkan lagu-lagu santai. Ada yang berbincang-bincang, bercanda, ada juga yang memilih tetap di dalam tenda.

Saat aku sedang bernyanyi-nyanyi bersama Alex, aku merasa ada yang menatapku sedari tadi. Aku melihat ke seberang kananku, Dylan jelas sedang memerhatikan diriku.

Wajah menawannya tidak sedikit pun berkurang di saat kegelapan malam, bahkan malah terlihat lebih menarik hanya dengan pencahayaan dari api unggun. Bola matanya menatapku tajam, tapi tersirat kelembutan di dalamnya.

Karena haus, aku memutuskan mengambil minuman dekat tendaku. Saat ingin kembali, tak sengaja aku tersandung pasak tenda. Aku mungkin sudah tersungkur malu di tanah jika Dylan tidak sigap menangkapku.

“Kau harusnya membawa senter,” katanya.

“Tendanya ‘kan tidak begitu jauh,” kataku gugup.

“Tetap saja, pasak-pasak ini tidak dapat menyala dalam kegelapan, bukan?”

Aku tertunduk malu, “Iya, aku akan berhati-hati.”

“Mau cokelat panas?” tawarnya. “Sepertinya tanganmu kedinginan.”

Aku mengangguk pelan.

Selama satu malam itu kami mulai mengobrol dan bercanda satu sama lain. Kami bercerita tentang pengalaman yang pernah kami alami satu sama lain, mulai dari yang lucu hingga sedih.

“Kenapa kau dulu meninggalkan Mack?” tanyaku.

Continue reading

0

Oneshot: Find You

Hai hai!! Aku siap dicelotehin kalian karena ga nongol-nongol di blog xixixi sebagai pengobat rasa rindu *cieileh* ini ada oneshot. Biasa aja sih ceritanya. Alurnya juga pendek dan rada gajelas gitu dehhh. Mungkin aku baru akan ngelanjutin ff lainnya di bulan Desember alias hari libur yeyyy. Oke deh kalo begitu, happy reading ya!

find you

I believe that two people are connected at the heart, and it doesn’t matter what you do, or who you are or where you live; there are no boundaries or barriers if two people are destined to be together.” – Julia Roberts

Alex menatap Carol yang sedang fokus pada laptop-nya. Bukan dengan tatapan biasa, tetapi tatapan yang lekat dan tersirat penuh harap di dalamnya.

Caroline Bartra, gadis pujaan hati lelaki itu sedari kecil. Persahabatan mereka yang tumbuh seiring dengan dewasanya Alex dan Carol, membuat lelaki itu jatuh cinta pada sahabatnya sendiri. Entah sedari kapan, lelaki itu tak tahu. Waktu membiarkannya mencintai gadis itu, hingga tak terukur seberapa besar cintanya pada Carol.

Carol adalah gadis yang pintar, cantik, dan berhati lembut. Tak pernah ia membiarkan Alex kesepian. Aku akan selalu di sini untukmu, adalah kata-kata yang selalu Alex ingat dari Carol.

“Sampai kapan kau mau menatapku seperti itu, Alex?” tanya Carol yang masih belum berhenti menatap laptopnya.

“Aku tidak tahu, aku ingin membuatmu merasa kalau aku ada di sini,” jawab Alex.

“Kau selalu ada untukku, kapan aku pernah merasa kalau kau tidak bersamaku?” gadis itu menatap Alex sambil tersenyum.

Entah sudah berapa puluh ribu atau jutaan kali Alex melihat senyum itu, rasanya tak akan pernah bosan. Lelaki itu selalu mengagumi setiap senyum yang dibuat Carol padanya. Alex membalas senyuman Carol, “Aku sangat senang kalau kau berkata seperti itu.”

“Tentu saja kau harus senang, kau sahabatku yang paling aku sayangi, Alex.”

Sahabat. Sebuah kata yang menggambarkan bahwa hubungan mereka hanya sebatas sahabat. Sebenarnya hati Alex sakit mendengar kata itu. Tak pernahkah aku bisa menjadi lebih dari itu? batinnya.

Sesaat setelah Carol menutup laptopnya, seorang lelaki datang lalu memeluk gadis itu dari belakang.

“Hai, Cantik,” sapa lelaki itu lembut. “Hai, Lex,” lelaki itu menyapa Alex juga.

“Hai, Danny,” balas Carol.

Alex hanya melempar senyum kepada lelaki bernama Danny itu.

Sudah tiga bulan Carol berpacaran dengan Danny. Mereka jadian setelah pesta kelulusan SMA mereka selesai. Sedihnya, Alex adalah saksi peresmian hubungan itu.

Danny Kent adalah cowok terpopuler di SMA-nya waktu itu. Sebenarnya otak lelaki itu enggak pintar-pintar amat, tetapi memang wajahnya cukup membuat gadis-gadis di sekolah hampir pingsan ketika Danny lewat di koridor sekolah. Carol pun seperti tersihir akan pesona Danny. Tak hanya tampan, Danny juga terkenal baik dan berprestasi dalam hal olah raga. Semua jenis olah raga hampir semuanya dikuasai Danny; mulai dari basket, sepakbola, tennis, voli, bulu tangkis, dan sebagainya. Di rumahnya pun berjejer berbagai penghargaan seputar olah raga.

Berkebalikan dengan Danny, Alex mengoleksi berbagai penghargaan seputar science dan tetek bengeknya. Wajah Alex juga tampan, bahkan tak kalah dengan Danny. Tetapi, Alex lebih menutup dirinya ketimbang Danny yang suka menebar pesonanya ke mana-mana. Satu lagi kelebihan Alex adalah kemahirannya dalam bermusik. Padahal ia tidak terlahir dari keluarga bermusik. Ia menguasai piano, keyboard, gitar dan drum; sekarang ia sedang belajar saksofon yang ia beli dari hasil tabungan uang jajannya.

Keputusan Carol yang menerima Danny secara cuma-cuma cukup membuat Alex kecewa. Entah tak hanya karena cemburu, tapi Alex yakin ada hal buruk yang ditutupi oleh Danny; sisi buruk yang tak pernah dilihat semua orang saat sekolah dulu.

Sekarang mereka semua sudah menginjak bangku perkuliahan. Alex mengambil jurusan Arsitektur, Carol mengambil Kedokteran karena ia terlahir di keluarga dokter, sedangkan Danny mengambil beasiswa sekolah bulu tangkis. Alex dan Carol berada di universitas yang sama.

***

Alex melihat Carol yang duduk tertunduk di bangku taman kampus.

Kumohon jangan lagi, batin lelaki itu dalam hati. Lalu ia menyusul gadis itu.

Alex duduk di sebelah Carol, “Hey? Kau kenapa?”

Carol langsung memeluk sahabatnya itu dengan terisak, “Dia melakukannya lagi, dia jahat padaku.”

“Sudahlah, sampai kapan kau mau bertahan dengannya? Kurang banyak apa dia menyakitimu? Kau selalu melarangku untuk memperingatkan bajingan itu!”

“Tolong jangan lakukan apapun padanya, aku…”

“Carol!” bentak Alex. “Kau tak tahu sudah berapa lama kau seperti ini?”

Continue reading

5

Pastelería: Macaroon

Maaf semuanya baru post sekarang! Padahal janjinya minggu kemaren 😦 soalnya udah mulai kuliah dan sibuk banget aaaaa bakal jadi jarang nulis. Tapi i’ll try the best buat menghibur kalian semua dengan cerita-ceritaku hehehe :p 

Oke, enjoy!!

macaroon

“I’m in love with you,” he said quietly.

“Augustus,” I said.

“I am,” he said. He was staring at me, and I could see the corners of his eyes crinkling. “I’m in love with you, and I’m not in the business of denying myself the simple pleasure of saying true things. I’m in love with you, and I know that love is just a shout into the void, and that oblivion is inevitable, and that we’re all doomed and that there will come a day when all our labor has been returned to dust, and I know the sun will swallow the only earth we’ll ever have, and I am in love with you.”
John Green, The Fault in Our Stars

Kylie keluar dari dapur membawa nampan berisi cup-cup Tiramisu yang tampak menggiurkan. Ia menyusunnya di lemari display yang dingin.

Hari ini Khenna menemani Alvaro bertemu klien di Bandung, jadi hari ini Kylie tidak dibantu adik kesayangannya itu. Tapi, nanti malam Khenna akan tetap pulang ke Jakarta.

Saat sedang menyusun, lonceng pintu kafe Kylie berbunyi, menandakan ada pelanggan yang masuk. Ternyata bukan pelanggan yang masuk…

“Hai, Sayang!” Gadis itu seumuran Kylie, memakai gaun merah muda ukuran selutut tak berlengan bercorak polkadot putih serta flat shoes berwarna hitam dan tas mewah ber-merk Hermes.

Kylie mengernyit jijik pada gadis itu.

“Aku sudah bilang, JANGAN ke tempat kerjaku,” Stefan membuat penekanan pada kata ‘jangan’.

“Ya, aku hanya mau menghampiri TUNANGANKU,” gadis itu menekankan kata ‘tunanganku’ pada Kylie.

“Hah,” dengus Kylie yang masih merapi-rapikan lemari display-nya.

“Lagian kamu ngapain masih kerja di sini? Mau godain manajer kamu? Iya?” oceh gadis itu.

“Alexa, mending sekarang kamu pergi. Jangan ganggu aku kerja. Jangan bikin ribut siang-siang di sini,” kata Stefan.

“Ya justru karena kafe ini sepinya pas siang, makanya aku datangnya siang. Kamu harusnya senang tunangan kamu ke sini,” kata gadis bernama Alexa itu.

“Senang? Geli aku, Lex,” balas Stefan sambil menyeringai jijik pada Alexa.

“Dasar jahat.” Alexa berjalan menuju pintu tetapi ia berhenti sebentar di depannya, “Ada makan malam di rumah aku, aku harap kamu datang.”

“Bodo amat,” gumam Stefan yang sebenarnya terdengar oleh Alexa.

Alexa mendengus kesal lalu langsung meninggalkan kafe.

Kylie yang sudah selesai dengan pekerjaannya, langsung kembali ke dapur.

“James,” panggil Stefan.

“Hmm?” jawab James yang sedang mencuci blender.

“Jaga station bentar. Mau ke belakang.”

“Oke,” balas James.

Di dalam dapur kafe Kylie ada satu ruangan yang tidak terlalu besar. Ruangan itu adalah ruangan pribadi Kylie, tempat gadis itu mengatur keuangan serta data-data kafenya. Ruangan itu berisi meja kerja, sofa, juga rak buku. Di atas meja kerja itu terdapat sebuah laptop, printer, telepon dan mesin fax. Sedangkan rak bukunya berisi berkas-berkas tentang kafe dan beberapa novel favorit Kylie. Jadi, kalau tak ada kerjaan, Kylie bisa membaca novel-novelnya.

Stefan masuk ke dalam ruangan itu.

“Aku heran kenapa kau punya tunangan kayak dia,” oceh Kylie yang sedang berkutat pada laptopnya.

“Siapa yang mau?” Stefan duduk di atas sofa ruangan Kylie. “Harusnya kamu yang jadi tunangan aku, bukan dia.”

“Ya hubungan kita hancur karena dia.”

“Kamu berjuang juga dong buat kita. Dulu kamu malah ngelepasin aku gitu aja sama si cewek enggak jelas begitu.”

“Aku harus gimana lagi? Sudahlah, hubungan kita sudah selesai.”

“Kamu gampang bilang begitu,” Stefan mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangannya, “Aku kerja di sini karena siapa? Karena ada kamu.”

Kylie hanya diam. Yang terdengar hanyalah suara ketikan keyboard laptop Kylie.

“Aku sudah dari dulu coba move on. Tapi enggak bisa, Ky. Ka―kamu terlalu berarti buat aku. Kamu terlalu hebat dan sempurna di mata aku. Susah buat aku lupain kamu gitu aja.”

Tiba-tiba Kylie berhenti mengetik mendengar pernyataan Stefan.

“Kamu enggak tahu rasanya waktu aku lihat kamu dekat sama Scott, sahabat aku sendiri. Aku khawatir banget soalnya dia suka mainin cewek. Setiap kamu dekat sama lelaki mana pun, aku khawatir. Aku takut mereka enggak bisa jaga kamu baik-baik.”

“Stef, please, cukup. Percuma kamu kayak gini, enggak akan merubah apapun,” suara Kylie mulai bergetar.

Stefan menghampiri meja Kylie, “Kamu masih sayang sama aku, Ky.”

“Enggak, Stef.”

“Jangan bohong. Lihat aku, Ky.”

“Stefan, please!” Kylie berdiri sambil menggebrak meja kerjanya. “Can you justgo? Aku pusing. Jangan bikin aku makin banyak pikiran.”

Okay, I’ll go. I think we can build this relationship again. Think it, Ky,” lalu Stefan langsung keluar dari ruangan Kylie. Ia agak sedikit membanting pintu ruangan gadis yang ia sayangi itu.

Kylie terduduk di kursi kerjanya, “We can’t,” gumamnya.

***

“Varo…” panggil Khenna yang sedang memotong coklat batangan.

“Alvaro?” panggil gadis itu lagi.

Khenna melihat ke belakang dan melihat lelaki itu duduk tertidur di lantai dapur sambil bersandar pada lemari.

“Morata!”

Alvaro langsung terkesiap bangun, “Iya, Pak!”

Khenna langsung tertawa terbahak-bahak melihat kelakuan Alvaro. Maklum, lelaki itu takut jika sudah dipanggil dengan nama belakang oleh manajernya di kantor.

“Kamu jahat banget. Aku ngantuk tahu,” kata Alvaro sambil mengucek-ngucek matanya.

“Iya, maaf. Kamu mending bantuin aku biar enggak ngantuk. Hari ini kamu masuk jam 1 ‘kan?”

“Iya, aku masuk jam 1. Justru aku masuk siang biar bisa bangun siang. Bukannya bangun pagi begini.” Alvaro melihat jam tangannya, “Jam 6 pagi begini kamu sudah suruh aku ke kafe.”

“Oh, jadi kamu enggak mau temenin aku?” raut muka Khenna berubah masam.

“Ya, mau.”

“Terus? Kamu belakangan ini sibuk banget. Jarang ke kafe juga. Gimana aku enggak minta ditemenin terus?” oceh Khenna.

Alvaro bangun lalu melingkarkan lengannya di pinggang Khenna, “Maaf aku terlalu sibuk. Soalnya lagi ada order yang banyak dari klien, mau gak mau aku harus bantuin Bos aku terus.” Lelaki itu mengelus rambut panjang Khenna, “Kamu mau aku ambilin apa?” tanyanya lembut.

“Mangkuk kaca yang ada di lemari yang kamu sandarin tadi.”

Okay,” kata Alvaro sambil mengambil mangkuk yang dimaksud Khenna.

Morning,” Kylie masuk ke dapur lalu menghampiri Khenna dan Alvaro.

“Coklat yang dark?” tanya Khenna pada Kylie.

“Enakan dark, itu bagus banget coklatnya. Mahal, sehat,” kata Kylie. “Dan pahit banget,” lanjutnya.

“Aku campur cream lagi kali ya? Ini pahit banget tahu, Ky. Kamu mau nyuruh pelanggan diet pakai coklat kamu ini?” kata Khenna sambil tertawa.

“Ya, enggak sih. Kamu tahu aku perfeksionis banget. Serba ber-ku-a-li-tas!”

“Siap, Bos!” seru Khenna.

Saat sedang mengaduk coklat, Khenna merasa ada yang tidak enak pada hidungnya. “Kamu aduk bentar, Var.” Khenna langsung berlari menuju kamar mandi.

Continue reading

4

Pastelería: Red Velvet

red velvet

Being deeply loved by someone gives you strength, while loving someone deeply gives you courage.”
― Lao Tzu

 

Kylie sedang memanggang croissant buatannya untuk disajikan ke pelanggan-pelanggannya. Syukurlah dalam tiga tahun terakhir ini, usahanya di bidang pastry terbilang sukses. Awalnya, bakery yang ia namai Pastelería ini memulai usahanya lewat online shop yang sedang marak sekarang ini. Karena melihat kegigihan putrinya, ayah Kylie memberi Kylie modal untuk usaha ini.

Keluarga Kylie terbilang terpandang dan kaya. Tapi, Kylie selalu mencoba untuk hidup sederhana. Makanya, ia tertarik untuk membuka usaha sendiri hingga sekarang.

Sebenarnya Kylie tidak kuliah di jurusan yang berhubungan dengan pastry, bahkan kuliner. Kylie lulus dengan gelar S1 bidang Psikologi. Ia mempelajari semua resep dari internet lalu memodifikasinya sedemikian rupa. Bahkan ia menerima pesanan request dari pelanggan-pelanggannya. Terutama dalam hal kue ulang tahun. Tangan Kylie sangat mahir dalam memainkan icing untuk kue. Ia bisa membentuk berbagai macam karakter dengan icing tersebut. Entah bakat dari mana asalnya.

Sesudah menunggu croissant-nya matang, ia langsung menyajikannya di meja display untuk memajang berbagai roti dengan aneka rasa. Kylie lebih suka kue-kue klasik macam croissant, baguette dan kawan-kawannya untuk disajikan ke bakery-nya yang sudah seperti kafe dan selalu ada saja pelanggan yang bersantai di kafenya.

Karyawannya pun sudah lumayan banyak; 3 orang pembuat minuman, 2 orang penjaga kasir, 3 orang asisten Kylie di dapur, serta 4 pelayan untuk melayani pengunjung dan juga membantu membereskan meja display.

Saat ingin kembali ke dapur, Kylie melihat sosok misterius yang duduk di salah satu meja kafenya.

“Jeanette,” Kylie memanggil salah satu pelayannya.

“Ada apa, Ky?” tanya Jeanette.

“Orang itu sudah kau layani?” Kylie menunjuk sosok yang sedang memakai snapback hitam bertuliskan “BOY” berwarna putih, rambutnya diselipkan ke dalam topinya, kemeja kotak-kotak berwarna biru campur hijau yang melapisi tank top-nya yang berwarna putih, celana jins berwarna biru navy, serta sepatu kets berwarna hijau tua.

“Sudah, tapi dia hanya diam saja dan menunduk seperti itu,” jawab Jeanette.

“Aku akan coba bertanya,” lalu Kylie menghampiri gadis misterius itu.

“Apakah anda mau memesan?” tanya Kylie.

Seketika gadis itu melepaskan topinya lalu mendongakkan kepalanya pada Kylie. Tak disangka, Kylie langsung menjitak kepala gadis itu.

“Dasar kau tukang onar,” kata Kylie sambil tertawa.

“Sakit, Ky!” omel gadis itu sambil mengusap kepalanya.

“Kau ngapain balik ke sini, Nona Khenna Jevonnia?”

“Oh… Jadi kau tidak merindukan adikmu yang cantik ini, Kylie Jevonnia?”

“Aku hanya punya adik yang tukang bikin orang repot!” jawab Kylie. “Sudah puas kabur ke Singapura? Apa nanti mau balik lagi? Untung Papa masih memberimu uang. Coba kalau tidak? Menghubungiku saja kau hampir tidak pernah,” protesnya.

“Apa masa lalu kita masih tidak menjelaskan kenapa aku kabur?”

“Baiklah, kita tidak perlu membahasnya.” Kylie duduk berhadapan dengan Khenna, “Kau kuliah, ‘kan?”

“Tentu, aku bahkan jadi mahasiswi terbaik di sana,” pamer Khenna.

“Wah, benarkah? Mana buktinya?”

Khenna mengeluarkan iPhone-nya lalu menunjukkan foto wisudanya yang sedang bersalaman dengan Pemimpin tertinggi kampus tersebut. Ia memegang secarik sertifikat bertuliskan:

CULINARY INSTITUTE OF AMERICA

SINGAPORE CAMPUS

Congratulations for Mrs. JEVONNIA, Khenna

BEST STUDENT OF THE YEAR

Kylie menatap foto itu dengan kagum. Ia tidak menyangka akhirnya adiknya bisa bangkit dari masa lalu.

“Aku tidak menyangka kau masuk ke kuliner. Bukannya waktu itu Papa memasukkanmu ke bisnis?” tanya Kylie heran.

“Ya, memang. Aku meminta Papa untuk memindahkanku. Awalnya dia tak senang, tapi ternyata dia tetap mengabulkannya.”

“Kau mau Green Tea Frappe?” tawar Kylie sambil tersenyum.

“Kau menyediakannya di sini? Oh, tentu saja aku mau,” seru Khenna.

“Stefan! Tolong Green Tea Frappe untuk adikku ini,” teriak Kylie.

“Siap!” balas Stefan yang berwajah ganteng itu.

Khenna memperhatikan kafe kakaknya itu, “Semua karyawanmu ganteng-ganteng dan cantik-cantik. Dari mana kau dapatkan mereka?”

“Mereka semua teman-temanku, Khen. Kau mungkin hanya lupa pada mereka.”

Stefan datang membawa pesanan Kylie untuk Khenna.

“Wah, wah, tumben nganterin langsung,” goda Kylie.

“Ya, lagi enggak gitu ramai, kok. Sambil kenalan sama calon adik ipar,” balas Stefan.

“Tunggu,” sela Khenna. “Kau mantan Kylie waktu SMA ‘kan?”

Kylie hanya tersenyum malu. Begitupun Stefan yang mengedipkan satu matanya pada Khenna dan Kylie lalu kembali ke station-nya.

Daebak!” seru Khenna. “Stefan mengalami masa pubertas yang dahsyat. Kau harus kembali padanya.”

“Ah, aku tidak bisa. Dia sudah bertunangan,” wajah Kylie tampak sedih.

Khenna yang sedang menyeruput Frappe-nya tersedak, “Apa?! Dengan siapa? Dari dulu aku selalu mendukung hubunganmu dengannya.”

“Dia dijodohkan,” Kylie menyibak rambut panjangnya ke belakang, “dengan yang merusak hubunganku waktu itu.”

Khenna mendengus sebal, “Si Alexa itu? Yang pernah menjambak-jambak rambutmu?”

“Iya, dan kau membalasnya dengan menguncinya di toilet sekolah.” Kylie tertawa mengingat kelakuan adiknya waktu itu. “Lalu bagaimana denganmu? Kau tak dapat pacar di sana?”

“Ah, entah aku malas. Aku tidak mau membahas tentang jodoh.” Khenna mengaduk-ngaduk Frappe-nya, “Boleh aku meminjam dapurmu untuk berlatih?”

“Oh, tentu saja boleh. Kau bahkan boleh menambahkannya ke daftar menu-ku,” jawab Kylie. “Kau tertarik di bagian apa?”

“Sama denganmu, pastry.” Khenna melihat ke dinding yang ditempel oleh bingkai foto ukuran 40×50 cm bergambar seorang wanita cantik yang memakai baju koki sambil memegang kue Sachertorte (chocolate sponge cake with apricot jam and chocolate icing on top) berdiameter 20 cm.

“Sama dengan Mama, lebih tepatnya. Kita adalah duplikat Mama, bukan Papa,” Kylie ikutan memandang wanita di bingkai foto yang ternyata ibu mereka.

Continue reading

8

FF: The Genius One #11

“Life’s hard. It’s even harder when you’re stupid.”
― John Wayne

 

Seorang wanita duduk di sofa yang membelakangi Valen. Setelah Valen berjalan dengan langkah pelan menuju sofa, wanita itu berdiri lalu berbalik melihat Valen.

“Ini Valen?” tanya wanita itu pada Molly yang berada di belakang Valen.

“Iya, Nyonya,” jawab Molly.

Valen yang dari tadi berdiri diam, tersadarkan oleh jawaban Molly tadi. “Nyonya?” tanyanya heran.

Wanita itu kira-kira berumur 40-an. Ia tinggi bak seorang model, ditambah dengan sepatu pump heels berwarna hitam yang dipakainya. Rambut sebahunya yang tampak anggun di wajahnya yang mungil dicat berwarna coklat agak terang. Wajahnya dilapisi make-up secara natural. Raut wajahnya tegas dan berwibawa―persis dengan Valen. Ia memakai kemeja putih yang dilapisi blazer berwarna merah muda pucat dan celana panjang yang berwarna senada dengan blazer-nya. Keanggunannya dilengkapi dengan perhiasan di leher, telinga, juga pergelangan tangannya. Sangat cantik untuk ukuran seorang ibu.

“Kau sudah besar,” ucap wanita itu pada Valen.

“Untuk apa kau ke sini?” tanya Valen dingin.

Saat wanita itu mendekatinya, Valen berjalan mundur menjauhi wanita itu.

“Memang tidak boleh? Aku ini Christina―ibumu,” jawab wanita itu santai. Sangat jelas, wataknya angkuh seperti Valen.

Valen mendengus lalu tersenyum sinis. “Aku tidak punya ibu. Aku tidak punya orang tua.”

“Aku tidak mengerti kenapa anakku tumbuh seperti ini,” wanita itu memijat dahinya. “Seharusnya kau berterima kasih padaku. Kau masih hidup karena aku masih rutin memberimu uang.”

“Aku tidak meminta kau untuk memberiku uang,” jawab Valen cuek lalu ia mengalihkan pandangannya pada Molly, “Makan malam dibawa ke kamar saja, aku tak mau makan bersamanya.” Valen berjalan melewati wanita itu dan menuju ke kamarnya.

“Kau sangat tahan, Molly?” tanya wanita itu.

“Aku sudah bisa mengontrolnya, Nyonya.”

“Hebat sekali,” puji Christina. “Duduk, Molly,” suruhnya.

“Ada apa?” tanya Molly.

“Aku tidak bisa menghubungi anakku yang satu lagi. Kau pikir aku akan ke sini jika anakku tidak kabur ke sini?”

“Jadi, anda ke sini bukan untuk Valen?” tanya Molly cemas.

“Aku sudah membuang Valen, Molly. Aku hanya perlu membiayai dia hidup,” jawab Christina.

Molly memejamkan matanya sebentar, ia tak menyangka ada seorang ibu seperti ini. “Berhentilah seperti itu. Anda tidak tahu betapa seringnya Valen menangis akibat anda?”

Christina tidak peduli dengan perkataan Molly.

“Anda juga sudah menikah lagi, bukan? Untuk apa memikirkan masa lalu? Saat itu Valen masih kecil, dia masih belum tahu banyak. Tiba-tiba ibunya meninggalkannya sendirian bersama para pembantu di rumah bertahun-tahun dan hanya mengirim uang tanpa menelepon anaknya?” lanjut Molly. “Meninggalkan anaknya yang Amnesia tanpa kasih sayang dari orang tuanya? Pikir baik-baik, Nyonya. Seharusnya Anda bersyukur mendapat anak seperti Valen. Dia jenius dan betapa bangganya aku setiap kali mengambil hasil nilai-nilainya di sekolah.”

Christina masih terdiam.

“Kau lebih menyayangi anak Anda yang kabur dari Amerika ke sini yang juga menghamburkan uang Anda? Selalu bolos sekolah atau apapun yang selalu kau ceritakan kepadaku waktu itu?” Molly menghela nafasnya sebentar, “Valen tidak seperti itu, Nyonya. Dia angkuh dan galak, tak banyak yang mau dekat dengannya di sekolah. Tapi prestasinya gemilang, dia tidak pernah menghamburkan uang, dia juga tidak pernah memamerkan harta kekayaan yang diam-diam selalu Anda kirimkan setiap bulan kepada teman-temannya.”

Christina menutup mukanya dengan kedua tangannya. “Aku tidak bisa menerimanya lagi seperti itu saja, Molly. Hatiku masih terlalu sakit, ditinggal oleh suami yang begitu aku cintai. Aku menikah lagi agar anak-anakku bisa hidup dengan layak,” jawab Christina.

“Untuk apa layak tetapi menjadi tidak karuan? Bagaimana cara Anda mendidik mereka? Maaf aku menjadi lancang, Nyonya.”

“Tak apa, Molly. Kau lebih dari seorang pembantu bagiku.”

“Sekarang Lucia sedang berkeliaran di Barcelona?” tanya Molly.

“Iya. Tapi dia tidak akan menoleh jika dipanggil Lucia,” jawab Christina gugup.

“Anda mengubah namanya?” Molly memegang dadanya karena terkejut. “Separah itukah Anda menyembunyikan semuanya dari Valen?”

“Aku hanya menambah namanya,” Christina buru-buru menambahkan, “Aku pikir Valen akan mencari tahu tentang adiknya jika sudah besar nanti.”

Molly mengusap lehernya. “Sayangnya dia bahkan tak pernah mencari anda. Siapa namanya? Dimana dia?”

“Aku belum mengecek keberadaannya sekarang. Ia tak mau mengangkat teleponku. Aku akan menelepon bank untuk mencari tahu dia sudah melakukan transaksi dimana saja. Namanya Bianca Lucia Lewis.”

Valen melempar tas ranselnya dengan kasar ke lantai kamarnya yang berlapiskan karpet. Ia berjalan kesana kemari, “Untuk apa wanita itu datang ke sini?” lalu Valen merebahkan badannya di kasur.

Rasanya tak pantas bagi Valen untuk memanggil wanita itu Mama. Dulu Bibi Molly bilang kalau Mama bersikap kepada keluarganya, sifat angkuhnya tidak pernah keluar.

Tapi, sekarang? tanyanya dalam hati.

“Aku sudah dibuang,” gumam Valen.

***

Lusa akhirnya tiba. Valen sedang bersiap-siap untuk makan malam bersama Dani dan Karen. Saat Valen sedang memoles tipis wajahnya dengan bedak, ponselnya berbunyi dan meninggalkan pesan SMS dengan nama Marc Marquez tertera di sana. Ia mengambil ponselnya lalu membaca SMS itu.

Aku sudah di depan rumahmu. Cepat.

Valen meletakkan kembali ponselnya. Sesudah ia memakai bedak, Valen menuju ke salah satu lemarinya untuk mengambil sepatu kets Nike kesayangannya yang berwarna merah marun dengan lambang Nike yang berwarna kuning. Sekali lagi ia menatap dirinya di kaca pintu lemarinya. Valen tampil simple dengan kaus Polo berkerah berwarna hijau muda serta celana jins berwarna biru gelap. Rambutnya ia kuncir ekor kuda seperti di sekolah. Valen mengambil tas selempang yang biasa ia pakai untuk berjalan-jalan, tak lupa juga ponselnya yang ia kantungi di dalam celana jinsnya lalu langsung bergegas menemui Marc.

Saat Valen melintasi ruang tamunya, Christina sedang duduk di sofa sambil menonton TV. Kelihatannya dia sedang menonton telenovela.

“Mau kemana?” tanya Christina lalu menyeruput sedikit teh di cangkir yang sepertinya daritadi belum ia minum.

“Bukan urusanmu,” jawab Valen dingin sambil tetap berjalan menuju pintu rumahnya.

Christina meletakkan cangkirnya kembali lalu mengedikkan bahunya, seperti tidak peduli dengan sikap anaknya.

Ketika sampai di depan pintu rumahnya, dari kejauhan Valen melihat Marc sedang berdiri menyandar pada mobil sedan Volvo-nya yang berwarna hitam metalik. Marc memakai kaus lengan panjang berwarna biru tua polos dan celana jeans berwarna sama dengan Valen. Rambutnya juga seperti biasa tampil acak-acakan seperti baru bangun tidur, tapi justru itu membuatnya terlihat seksi. Kali ini Valen tidak bisa menyembunyikan perasaannya kalau Marc benar-benar ganteng spektakuler. Ini membuat Valen harus melancarkan rencananya malam ini.

Valen berjalan menuju mobil Marc lalu langsung kena omelan darinya.

“Lama. Dandannya setebal apa? Heran sama cewek,” oceh Marc dengan tampang bete.

“Ya sudah, maaf. Ayo buruan,” jawab Valen dengan wajah biasa saja.

Maaf? pikir Marc. Seketika ia merasa heran lagi karena belakangan ini dia jarang berkelahi hebat dengan Valen.

Setelah Marc memasang sabuk pengamannya, ia langsung berangkat bersama Valen menuju restoran Bianchi.

Suasana Bianchi tak ramai seperti biasanya, karena hari ini hari biasa, bukan hari libur yang biasanya sampai harus memesan tempat dulu untuk bisa mendapatkan meja. Bianchi adalah restoran Italia paling terkenal di Barcelona, bahkan mungkin di seluruh Spanyol. Restoran ini sangat besar bernuansa warna krem yang hangat dengan campuran gaya arsitektur zaman Renaisans dan Romawi kuno abad ke-14. Didekorasi ala Italia seperti bendera hijau-putih-merah vertikal yang berarti bendera negara Italia, hiasan pizza, keju bahkan spageti yang menempel di beberapa sisi tembok restoran yang membuat restoran ini terkesan lucu dan unik. Para pelayan yang melayani pun berseragam khas bumi Italia.

Mata Valen dan Marc mencari-cari keberadaan Dani dan Karen, mata Marc tertuju pada Dani yang sedang melambaikan tangannya ke arah Marc dan Valen. Dani duduk di meja yang dekat dengan panggung live music. Terlihat Dani dan Karen baru memesan minuman karena menunggu Marc dan Valen datang.

“Akhirnya kalian datang, ayo cepat langsung memesan. Aku dan Karen baru saja memesan,” ajak Dani lalu ia memanggil pelayan.

“Aku mau beef lasagna, minumnya ice lemon tea saja,” pesan Valen pada pelayan.

“Sama,” kata Marc singkat kepada si pelayan.

Si pelayan mengangguk lalu langsung menuju tempat koki untuk menyampaikan pesanan Valen dan Marc.

Kira-kira lima belas menit setelah mereka memesan, akhirnya pesanan mereka tiba. Seketika celotehan mereka berhenti untuk menikmati makanan mereka masing-masing. Setelah selesai makan, Dani mengajak Marc untuk meminum bir.

“Ayolah, besok ‘kan kita libur. Guru-guru kita rapat, kau tidak perlu khawatir,” goda Dani.

“Baiklah, hanya satu kaleng. Aku menyetir,” kata Marc.

“Kalian gila,” ucap Karen. “Tidak mungkin hanya satu kaleng, percayalah padaku,” Karen mengedipkan satu matanya pada Valen. Valen hanya membalas dengan tertawa.

Benar saja, Dani dan Marc memesan berkaleng-kaleng bir hingga pembicaraan mereka mulai tak karuan. Valen dan Karen sudah mulai heran melihat Dani dan Marc.

“Kau tahu, Sayang? Dulu Marc itu dijahatin terus sama Valen,” kata Dani pada Karen. “Benar, Marc?”

“Betul,” kata Marc setengah tersadar. Ia mengalihkan pandangannya pada Valen yang ada di sebelahnya. “Kau tak tahu betapa jahatnya dirimu padaku, sekarang kau tidak mengingatku seperti orang yang habis terkena Amnesia.”

Valen hanya menatap Marc dalam diam. Perasaannya mendadak kacau karena perkataan Marc. Jadi, karena itulah selama ini ia merasa bersalah kepada Marc.

Karen menatap Valen dengan iba, “Habis bayar bill, kita pulang membawa dua bocah ini. Kau sudah lumayan lancar menyetir?”

Valen mengangguk, “Sudah, aku bahkan sudah punya SIM.”

Sesudah membayar tagihan restoran, Karen mengantar Dani sedangkan Valen mengantar Marc yang sudah seperti orang yang ingin kehilangan nyawa.

Dalam perjalanannya mengantar Marc, Valen sesekali menatap pria itu. Pria itu sudah tertidur semenjak Valen memasang sabuk pengamannya.

Marc terbatuk-batuk pelan. “Kau jahat, Valentina Garcia,” ucapnya yang masih dalam keadaan mata yang terpejam.

“Maafkan aku,” kata Valen pelan.

“Kau tak tahu rasanya jadi aku, terus dibilang bodoh olehmu,” Marc menelan ludahnya, “aku sangat tidak beruntung karena berkali-kali sekelas denganmu.”

Valen menatap lurus ke jalanan, tetapi tetap mendengar celoteh pria mabuk itu.

“Aku menyukaimu, tapi apakah kau pernah menyadarinya?” lanjutnya. “Hatiku semakin sakit saat kau tidak mengingatku. Mungkin kau hanya mengingatku seperti bocah ingusan yang bodoh, culun, dan menjijikkan. Betapa…”

Valen tiba-tiba menghentikan mobilnya di dekat taman kompleks rumahnya yang sepi karena sudah malam. Beberapa lampu jalanan menerangi taman itu, untuk itu Valen mematikan lampu sorot mobil Volvo milik Marc.

“Memangnya kita sudah sampai?” tanya Marc dengan tampang tak berdosa.

“Sepertinya kau sudah tidak terlalu mabuk.” Valen melihat ke sekitar taman untuk memastikan tidak ada orang disana. Jam di mobil Marc sudah menunjukkan pukul 10 malam, sudah dipastikan kompleks rumah mereka ini memang sudah sepi layaknya kuburan di atas jam 10. “Keluarlah,” suruh Valen pada pria itu.

“Untuk apa?” kali ini Marc sudah sedikit membuka matanya.

“Kalau kau penasaran, keluarlah.” Valen langsung keluar dari mobil Marc. Tak lupa ia membawa tasnya.

Marc menatap Valen dari kaca mobil yang sedang berjalan masuk ke dalam taman lalu berhenti di dekat air mancur yang berada di tengah taman itu. Ia mengusap kepalanya yang masih sedikit pusing akibat efek alkohol. Bahkan Marc mulai menyadari ucapan-ucapan yang ia lontarkan pada Valen saat ia tengah mabuk. “Apa yang sudah kukatakan padanya?” gumamnya. Akhirnya ia memutuskan untuk menemui Valen di luar.

Marc langsung berdiri berhadapan dengan Valen.

“Aku tak peduli apa yang kau ucapkan di mobil tadi ada di dalam atau luar alam sadarmu,” Valen menghela nafasnya sejenak lalu mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya.

Marc membelalakkan matanya karena terkejut oleh benda yang dipegang Valen. Itu adalah burung-burungan kertas yang pernah ia berikan pada Valen sewaktu kecil. “Kau masih menyimpannya? Apa sekarang kau sudah ingat padaku?”

“Tidak,” kata Valen pelan. “Aku tidak akan bisa mengingat siapapun dalam masa laluku.”

Marc menatap Valen dengan tatapan “kenapa”.

“Tidakkah Dani memberitahumu kalau aku pernah Amnesia atau kecelakaan atau semacamnya? Seperti yang kau bilang di restoran tadi. Ya, aku mengalaminya. Aku minta maaf pernah menyiksamu, aku minta maaf sering mengataimu bodoh dan sebagainya, aku minta maaf karna aku selalu kasar padamu, aku minta maaf…”

Marc langsung memeluk Valen tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Ia pun menghapus air mata yang mulai membasahi pipi Valen.

“Sudah, diamlah.” Marc kembali menghapus air mata Valen yang kelihatannya semakin deras. “Aku sebenarnya tidak mau memikirkan masa lalu itu, tapi makin lama aku makin kesal karena kau tidak mengingatku sama sekali. Aku juga minta maaf karena aku tidak tahu kau pernah Amnesia,” Marc melepaskan pelukannya lalu memijat pelipisnya pelan, “Tapi kapan?” tanyanya heran.

“Apa ini juga darimu?” Valen mengeluarkan secarik kertas yang ia temukan di jendela kamarnya waktu itu.

“Iya,” Marc mengambil kertas itu, “ini juga dariku.”

“Sepertinya semenjak kau meninggalkan kertas itu.”

“Benarkah?” tanya Marc dengan nada kaget.

“Memang kenapa?” tanya Valen heran.

“Sepertinya, sehabis kau kecelakaan, keesokannya aku pergi ke Amerika. Aku minta maaf, a―aku tidak tahu.”

“Ah, tidak. Itu bukan salahmu,” kata Valen sambil tersenyum.

“Apa kau mencoba mengingatku belakangan ini?” tiba-tiba Marc menggoda Valen.

“A―apa?” Valen mendadak salah tingkah. “Ya, jujur, pernah.” Ia mengingat rasa sakit kepala yang pernah ia alami waktu itu. “Sampai-sampai aku hampir pingsan karena dirimu.”

“Wah, benarkah? Apa aku sudah bisa mengisi hatimu?” canda Marc.

Valen tertawa, “Dasar kau. Setidaknya kita sudah bisa terbuka sekarang.”

“Bukannya kau dulu bisa main piano? Kayaknya kau jarang ke ruang musik.”

“Bagaimana aku mau main piano, Marc? Hilang sudah semua kunci yang pernah kupelajari. Sepertinya dulu aku lebih hebat darimu,” sombong Valen.

“Aku lebih hebat darimu asal kau tahu saja.”

“Apa kau dulu pernah memainkan lagu yang saat di ruang musik kau mainkan?” Valen duduk di bangku taman dekat air mancur.

“Ya, aku bahkan memainkannya di depanmu,” jawab Marc yang masih berdiri sambil memasukkan kedua tangannya ke kantung celana jinsnya. “Atau lebih tepatnya kau yang datang melihatku waktu itu,” lanjutnya.

“Aku datang melihatmu? Ya ampun.”

“Ya sehabis itu kau menghinaku seperti biasanya. Aku tidak pernah melewatkan satu momen tentangmu di kepalaku, Garcia,” kata Marc sambil menyunggingkan senyum miringnya.

Valen mengeluarkan sebuah foto berukuran 4R dari tasnya. “Kau yang mana?” tanya Valen sambil menyerahkan foto itu pada Marc.

Marc mencari-cari dirinya dalam foto itu, foto kelas waktu kelas 5 SD. Tapi ia enggan memberi tahu, “Carilah,” ia menyerahkan surat itu pada Valen lagi.

Valen mengambilnya kembali lalu mengamati foto itu dengan saksama. Perlahan raut muka Valen berubah bingung.

“Kau benar-benar tidak ingat, ya? Aku bocah paling jelek disana,” kata Marc.

Valen menggelengkan kepalanya. Akhirnya matanya tertuju pada bocah yang memakai kacamata dan sedang tersenyum menunjukkan deretan giginya yang berkawat. Tak sadar Valen tertawa geli lalu menatap Marc.

Marc tersenyum lalu mengedikkan bahunya, “Sepertinya kau sudah menemukannya.”

“Kau memang sangat culun.”

“Memang.” Marc berbalik menatap air mancur, “Aku berubah karenamu.”

“Diriku?”

“Ya, dirimu. Aku berubah karena aku tidak ingin terus diinjak-injak olehmu.”

“Apakah aku sejahat itu?” raut muka Valen berubah bingung.

“Apa kau tidak pernah menyadarinya?” Marc bertanya balik pada Valen. “Bahkan aku sempat berpikir kau tidak akan seperti dulu saat aku kembali ke sini, aku ingin mencoba bersamamu lagi. Tapi semua pikiran itu kandas di awal kita bertemu lagi di sekolah.” Marc menggelengkan kepalanya, “Kau makin parah.”

Valen masih terdiam, ia tidak berani menatap Marc meskipun lelaki itu sedang membelakanginya.

“Aku akui kau memang pintar, kau―kau amat brilian,” lanjutnya. “Tapi, attitude-mu,” Marc berbalik menatap Valen yang duduk tertunduk, “Nol, Valen.” Lelaki itu mengusap lehernya, “Kau sudah besar, aku tidak mau menasihatimu seperti ini, tapi aku menahannya dari dulu. Aku mencoba melupakanmu, aku pacaran dengan orang lain, tapi aku tetap memikirkanmu.”

“Dani selalu memberiku info tentangmu, bagaimana perkembanganmu saat kau jauh dariku. Tetapi sepertinya hanya percuma. Kecelakaanmu pun tak merubah apapun.”

“Ini semua karena ibuku,” kata Valen dengan suara pelan.

“Maaf?” tanya Marc heran.

“Ibuku.” Valen menghela nafasnya pelan. “Ibuku tiba-tiba kembali dan sepertinya ingin mengacaukan hidupku lagi.”

“A―aku tidak mengerti, apa yang terjadi dengan keluargamu sebenarnya? Memangnya ibumu selama ini tidak di rumah? Adikmu? Ka―kau… Kenapa hidupmu sepertinya berubah hancur?” tanya Marc bertubi-tubi, suaranya berubah panik.

“Ibuku pergi, Marc! Ayahku meninggal!” teriak Valen. Ia tidak peduli jika ada orang yang mendengar suaranya. “Ibuku pergi sehabis aku pulang dari rumah sakit. Ia menyalahkanku, ia membuangku! Dia bilang karena aku, ayahku meninggal, sedangkan saat itu aku Amnesia, aku tidak ingat apa yang aku alami! Dia membawa semua adikku, pergi begitu saja,” cerita Valen dengan penuh amarah. Seketika amarahnya pun mencair dalam bentuk air mata.

Marc menghampiri Valen, membantunya berdiri lalu mengajaknya masuk ke dalam mobil. Kali ini Marc sudah mampu menyetir.

“Kau mau aku temani?” tanya Marc pelan.

Valen mengangguk lemah.

Marc langsung menuju rumah Valen lalu membantunya turun juga menemaninya masuk ke dalam rumah. Seperti biasa, di ruang tamu duduklah Christina.

Saat Christina hendak angkat bicara, Valen langsung menyelaknya, “Tidak perlu perhatian.”

“Kau siapa?” tanya Christina pada Marc.

“Aku yang tinggal di blok sebelah, Tante. Aku Marc Marquez,” jawab Marc.

“Oh, Marquez,” Christina berpikir sejenak, “Anaknya Roser! Ya ampun, kau sangat tampan,” serunya.

Valen memutar bola matanya, tanda meremehkan ibunya.

“Terima kasih,” ucap Marc sambil tersenyum. “Aku boleh menemani Valen?”

“Oh, tentu, dulu ibumu juga sering ke sini dan dia sudah kuanggap seperti saudariku. Berarti kau juga sudah seperti keponakanku,” kata Christina.

“Tak usah basa-basi. Ayo,” Valen menggandeng tangan Marc dan menuntun menuju kamarnya. Sekarang Valen menambah daftar lelaki yang boleh masuk ke kamarnya, yaitu Marc.

 

to be continued…

 

agak kurang greget ya? :p sabar deh masih pemula lol. Okay like always, comments below or mention on my cutie twitter @felpercy.

Adiossssssssss